TIDAK AUS DI ASUTRALIA 2013
fx. wikan indrarto*)
Pada hari Jum’at, 23 Agustus 2013, kami berdua berangkat dari Yogyakarta pk. 14.30, dengan GA252 Boeing 737-800 menuju ke Denpasar. Setelah jalan-jalan ke Kuta dan berdoa sebentar di Gereja Katolik St. Fransiskus Xaverius Kuta dengan ditemani adik tercinta, Wahyu Prasetyaningtyas, kami melanjutkan penerbangan dengan GA 718 Air Bus A330-200. Selama 5 jam 10 menit di langit malam, kami sepesawat dengan Dr. Mei Neni Sitoresmi, PhD, SpA(K) dan Dr. Edy Supriyadi, PhD, SpA(K), keduanya dari RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, mendarat di Tulamarin International Airport Melbourne, Australia.
|
|
Saat mendarat di Tulamarin International Airport Melbourne, Australia
|
Dalam Sky Bus dari Tulamarin International Airport ke kota Melbourne
|
MELBOURNE
Melbourne adalah ibu kota negara bagian Victoria di Australia. Melbourne merupakan kota terpenting kedua dari segi bisnis, kedua terbesar di Australia, serta kota terbesar di Negara Bagian Victoria. Pada bulan Juni 2011, Melbourne memiliki populasi 4.1 juta jiwa. Melbourne terletak di dekat teluk alami yang besar, yaitu ‘Port Philip Bay’. Pusatnya berada di muara sungai Yarra, dengan kawasan pinggiran di sekitar teluk ke arah timur dan barat. Melbourne dirikan pada tahun 1835, setelah 47 tahun kolonisasi Inggris di Australia, dan merupakan ibu kota Australia dalam rentang tahun 1901-1927. Melbourne dinyatakan sebagai kota oleh Ratu Inggris Victoria pada tahun 1847. Pada masa ‘Victorian gold rush’ tahun 1850-an, Melbourne menjadi kota paling besar dan kaya di seluruh dunia. Melbourne sudah empat kali mendapatkan predikat “The World’s Most Liveable Cities” (kota paling nyaman untuk ditinggali) dari majalah The Economist, yaitu pada 2002, 2004, 2011, 2012 dan 2013.
|
|
Dengan menggunakan myki card (pre paid card) seharga $8, saat kami naik tram
|
Jalur tram di dalam kota Melbourne yang rapi, moder, dan teratur
|
Pada pk. 7.25 kami keluar dari gerbang bandara international yang artistik tersebut, untuk menuju pusat kota dengan naik SkyBus, sebuah bis gandheng, warna merah menyala, bertarif $AUD 17, yang melaju kencang ke Southern Cross Train Station hanya dalam waktu 20 menit. Di stasiun KA yang besar itu, kami membeli myki card (pre paid card) seharga $8, yang akan kami gunakan untuk naik tram. Kami menuju Victoria Hotel di Litlle Collins Street untuk early check in dan menitipkan tas di lockerlock seharga $ 5 untuk 6 jam. Oleh karena kamar belum bisa kami masuki, kami lanjutkan perjalanan menuju Melbourne Convention and Exhibition Centre (MCEC), tempat International Conggres of Pediatric (IPC) 2013 yang akan kami ikuti. Kami menggunakan tram jalur 96 dari Bourke Street, melewati Southern Cross Train Station dan menyeberang Yarra River, untuk terus menuju ke St. Kilda Beach. Setelah selesai proses registrasi, kami sempatkan mengagumi arsitektur bangunan MCEC yang megah, futuristik, bertiang miring dan hemat energi. MCEC mentereng gagah di tepian Yarra River, yang membelah kota Melbourne, di seberang Crown Casino yang padat penjudi.
|
|
Di sekitar Victoria Hotel di Litlle Collins Street, di kawasan padat Melbourne |
International Conggres of Pediatric 2013 di Melbourne Convention and Exhibition Centre (MCEC) |
Transportasi umum di Melbourne dilayani kereta api, tram, dan bus. Layanan ini sudah terintegrasi dalam jaringan bernama PTV sehingga satu karcis myki dapat digunakan untuk ketiga layanan tersebut. Stasiun utama kereta api Melbourne adalah Flinders Street Train Station, dan kerata api antarnegara bagian berangkat dari Southern Cross Train Station. Jalur kereta api pertama dibangun antara kota Melbourne dan Sandhurst pada tahun 1853. Sekarang, daerah metropolis memiliki 200 stasiun dan 16 jalur yang berpusat di ‘City Loop’, bagian jalur bawah tanah yang mengelilingi pusat kota. Dari stasiun Southern Cross, ada jalur langsung ke kota Sydney dan Adelaide, serta Geelong, Ballarat, Bendigo, Bairnsdale dan Seymour dengan kerata api yang dikelola V/Line.
Setelah menikmati keelokan Yarra River dan panoramanya, kami pulang kembali ke hotel, untuk makan siang menu bekal dari Yogyakarta (mie gelas), lalu tidur nyenyak karena sepanjang malam tidak dapat tidur di pesawat. Sorenya kami jalan kaki memikmati Melbourne City Center (MCC) yang tertata rapi, kompleksnya berbentuk persegi, lansekapnya relatif mendatar dan mudah diingat. Yang sejajar Yarra River adalah Flinders, Collins, Bourke, Loundale dan Latrobe Streets. Sedangkan yang memotongnya adalah Spencer, King, William, Queen, Elizabeth, Swanston, Russell, Exhibition dan Spring Streets. Jalan raya di MCC sungguh lebar, begitu juga trotoar untuk pedestrian. Di tengah jalan digunakan untuk jalur tram 2 arah, di tepinya untuk halte penumpang, dan yang lebih luar lagi digunakan untuk jalur mobil, sepeda dan parkir mobil sejajar. Pejalan kaki dan penyeberang jalan, diberi jalur khusus dan sangat dihormati oleh pengemudi. Kami menyusuri Bourke untuk melihat Victoria Parliament House, Hotel Windsor yang artistik, St. Patrick Cathedral, Chinese Museum, dan menjelajah Chinatown, sekalian makan malam dengan menu spicy chicken wing $6, pickled cabbage and vermicellu soup $11.8, rice $1.5 di Hot Pot Restourant, yang sisanya kami bungkus untuk makan di kereta.
|
|
Jalan raya di Melbourne City Center (MCC) sungguh lebar, begitu juga trotoar untuk pedestrian. |
Patung di Bourke dekat Victoria Parliament House, Hotel Windsor, St. Patrick Cathedral, dan Chinese Museum |
Kami melanjutkan perjalanan dengan tram no 96 ke Southern Cross Train Station, membeli tiket XPT (Express Passenger Train) seharga $ 91.20/seat untuk penjelajahan ke Sydney pada kelas ekonomi (gambar 15). Keretaapi yang dioperasionalkan oleh NSW CountryLink Sydney, berangkat pk. 19.55 dan diperkirakan akan sampai di Sydney Central Station pk. 6.55, dini hari berikutnya. Lokomotif streamline dengan warna dominan biru tua dan garis angin kuning, biru muda dan putih, dilengkapi lambang CountryLink yang terkesan dinamis. Kami menyusuri rel double track melewati 2 stasiun ‘pick up only’, 2 stasiun ‘stops only if required’, 1 stasiun tidak berhenti, 2 stasiun ‘set down only’ dan 11 stasiun berhenti penuh. Gerbong kelas ekonomi keempat berkapasitas 50 kursi, malam itu hanya berisi 4 orang penumpang, dilengkapi pintu geser berpemindai, toilet berkompresi, air minum ‘self service’, penghangat ruangan, dan ruang bagasi ala pesawat terbang. Para awak kabin adalah karyawan yang sudah berusia lanjut, bekerja mandiri, dan umumnya seorang wanita.
SYDNEY
Tahun 1770, Letnan James Cook pimpinan armada kapal dari Inggris, mendarat pertama kali di Botany Bay di Semenanjung Kurnell. Sebuah permukiman para tahanan didirikan oleh Arthur Phillip, yang tiba di Botany Bay dengan armada 11 kapal pada tanggal 18 Januari 1788. Phillip kemudian memindahkan koloni di sepanjang pantai, di Sydney Cove di Port Jackson pada tanggal 26 Januari 1788. Ia menamainya sama dengan Menteri Dalam Negeri Inggris, Lord Thomas Townshend Sydney, atas peran Sydney dalam mengeluarkan perjanjian yang membolehkan Phillip mendirikan koloni tersebut. Saat ini Sydney dianggap sebagai sebuah kota dunia A+, menurut Universitas Loughborough tahun 2008 dan menempati peringkat ke-16 berdasarkan Global Cities Indextahun 2008 oleh Foreign Policy. Sydney juga menempati peringkat ke-10 kota yang pantas dihuni di dunia menurut Mercer Human Resource Consulting dan The Economist.
Setelah turun di Sydney Central Train Station, kami tidak membeli opal (pre paid card) untuk tiket elektronik kereta api, karena kami hanya akan tinggal sesaat, sehingga kami menggunakan uang tunai untuk membeli tiket Sub Urban Train paket PP, menuju ke Circular Quay Station seharga $4.8/orang. Kami berdua berangkat dari platfrom 17, naik keretaapi dengan gerbong bertingkat 2, yang melayani rute City Circle, melewati Town Hall dan Wynyard Station, sebelum kami turun di Circualar Quay.
|
|
Bangunan megah di sekitar Sydney Central Train Station |
Lokomotif streamline dilengkapi lambang Country Link di Sydney Central Station |
Kami menikmati Sydney Opera House (SOH) yang artistik, monumental, dan mengingatkan kita kepada arsitek Jorn Utzon (1918-2008) yang merancang dan membangunnya pada tahun 1999. Tersedia paket wisata gedung monumental tersebut selama 1 jam petualangan. Pengunjung akan diajak mengenang kreasi dan cerita pembangungan gedung yang ikonik dan telah menjadi World Heritage. Dengan tiket VIP, pengunjung dapat merasakan sendiri, bermain drama di panggung, disorot lampu dan menjadi pusat perhatian penonton. Bahkan dapat napak tilas tangga legendaris yang telah pernah dilalui Ella Fitzgerald, Pavarotti, Mikhail Barysnikov, Cate Blanchett, dan memasuki Concert-Hall yang paling bagus sedunia, berdiri di panggung conductor, bahkan sampai di ruang ganti pemain. Kami berdua tidak mampu menjangkau semuanya, apalagi ikut menonton pertunjukan yang sedang digelar.
|
|
Sydney Opera House (SOH) karya arsitek Jorn Utzon yang artistik dan monumental |
Sydney Bridge yang tidak kalah artistik dan diresmikan pada 19 Maret 1932 |
Selain SOH, kami juga mengunjungi the Royal Botanical Garden, di sisi timur SOH. Dari puncak bukit kebun konservasi tersebut, tampak sebuah kapal pesiar besar yang sedang berlabuh di Campbells Cove, di seberang SOH. Kebun alami yang terawat baik ini, tidak hanya dilengkapi berbagai tanaman, kursi santai dan jalur olah raga lari, tetapi juga banyak sekali karya seni instalasi luar ruang. Kami sempatkan bergaya dengan ‘The Satir’, patung manusia kuda dari perunggu, karya pematung terkenal Frank Lynch.
|
|
‘The Satir’, patung manusia kuda dari perunggu, karya Frank Lynch. |
Di dalam Sydney Opera House (SOH) karya arsitek Jorn Utzon. |
Setelah itu, kami berjalan kaki menyusuri pelabuhan, yang setiap hari dipenuhi oleh ribuan pelancong. Wisatawan dari berbagai belahan kota dan dunia, ada yang kecil dalam kereta bayi dan yang lanjut dalam kursi roda atau tongkat penyangga, yang duduk dan yang narsis berfoto, yang makan dan yang minum di kafe deret, yang naik sepeda dan yang jogging, yang naik otopet dan yang digendong, semuanya menikmati pelabuhan Sydney yang bersih dan rapi. Kami segera menuju ke The Rocks Market (weekend only) di Goerge Street, dekat Metcalfe Arcade. Pasar kaget ini hanya buka pada hari Sabtu dan Minggu, di bawah lapak kaki lima, menjual aneka souvenir, di atas jalan raya beraspal lembut yang mendaki, dengan dikelilingi cafe kuno di teras rumah. Dinamakan The Rock, karena daerah tersebut berdiri di atas bukit padas yang keras dan besar. Letaknya persis di bawah Sydney Harbour Bridge. Jembatan Pelabuhan Sydney tersebut dibuka secara resmi pada tanggal 19 Maret 1932. Jembatan ini merupakan jalur utama untuk menyeberangi Pelabuhan Sydney yang menghubungkan distrik bisnis sentral Sydney (Sydney CBD) dengan wilayah utara (North Sydney) (gambar 20).
|
|
The Coathanger (Gantungan Baju), karena melengkung di bagian atas |
Kapal pesiar yang berlabuh dan bersandar di Sydney Harbour |
Di atas jembatan itu terdapat jalur kereta api, kendaraan bermotor, sepeda dan trotoar. Bersamaan dengan SOH, jembatan ini menjadi ‘ikon’ bagi kota Sydney, sekaligus Australia. Warga setempat menamai jembatan tersebut sebagai The Coathanger (Gantungan Baju), karena desainnya yang melengkung di bagian atas, meskipun sebutan tersebut semakin lama semakin jarang digunakan. Jembatan tersebut adalah bangunan tertinggi di Kota Sydney pada tahun 1967. Menurut Guinness World Records, jembatan itu merupakan yang terlebar di dunia, sekaligus sebagai jembatan lengkung berkerangka besi tertinggi di dunia, dengan puncaknya setinggi 134 m di atas permukaan pelabuhan.
Jembatan itu juga tercatat sebagai jembatan lengkung besi terpanjang nomor empat di dunia. Jembatan Sydney Harbour selesai dibangun pada 19 Januari 1932 dan 2 bulan kemudian, digunakan untuk pertama kalinya. Pengunjung dapat membeli tiket Bridge Climb, untuk memanjat jembatan tersebut, seperti yang pernah dilakukan Oprah Winfrey, Nicole Kidman, Justin Timberlaki, Cameron Diaz, Robert de Niro dan pemanjat ke 3 juta orang, Caitlin Mc Williams pada bulan April 2013 lalu. Diperlukan waktu 3,5 jam, termasuk persiapan dan penjelasan di ‘Climb Base’ di Cumberland Street dalam kawasan The Rock. Kami berdua juga hanya mampu melihatnya dan membayangkan pendakian tersebut dengan penuh kekaguman.
Di bawah jembatan besi tersebut, kami terkagum-kagum dengan Sydney Harbour Foreshore Authority. Kantor pergudangan tersebut tetap terawat baik, meskipun sudah hampir 150 tahun berdiri. Di halaman kantor tersebut, dibangun Dawes Point Park, sebuah dermaga kayu sekaligus menempel ke lobi sebuah hotel. Itu merupakan lokasi terbaik, untuk mengambil gambar SOH secara utuh dalam format lansekap, diselingi Sydney Cove yang ramai dengan lalu lalang kapal.
Kami membeli spring roll (sejenis lumpia) $3.5, donuts $4, banana mufin $3, dan teh panas $3 di dekat loket Captain Cook Cruises, sebagai menu makan siang. Di dermaga teluk Sydney tersedia banyak kapal pesiar, yang melayani paket wisata ke Taronga Zoo, Watsan Bay, Darling Harbour, Fort Denison, Shark Island, Luna Park, ataupun sekedar sightseeing, tergantung dari lama waktu dan dana yang tersedia. Pelabuhan Sydney adalahsebuah areal yang banyak teluk dan semenanjung, yang dibangun menjadi sebuah areal publik. Keindahannya dapat disaksikan menggunakan Sydney Explorer Bus Services, sebuah bis tingkat tanpa atap, berwarna merah menyala, bertarif $40. Bis yang dilengkapi pemandu wisata berbahsa Mandarin, Korea, Jepang, Perancis, Jerman, Spanyol dan Inggirs, akan menyinggahi 34 buah tempat wisata, selain Circular Quay (gambar 22). Kami berdua memilih menikmati keindahan areal Pelabuhan Sydney hanya dengan berjalan kaki, melawan hembusan angin dingin di akhir winter (musim dingin).
|
|
Spring roll, donuts, banana mufin, dan teh panas di dekat loket Captain Cook Cruises |
Dermaga kapal di Sydney Harbour, yang dipenuhi kapal pesiar yang bersandar |
Dermaga kapal di Sydney Harbour langsung menghadap Museum of Contemporary Art. Kami sempatkan menikmati keindahan karya sastra 3 dimensi di museum 4 lantai tersebut, lalu melanjutkan perjalanan melewati The Argyl Store, sebuah rumah makan tempo dulu yang masih terawat baik, di kompleks The Rock. Oleh karena hari itu adalah hari Minggu, tujuan kami adalah mencari sebuah gereja, seperti yang terlihat pada peta dan penunjuk arah untuk wisatawan di setiap perempatan. Ternyata kami menemukan The Garrison Church, sebuah gereja Anglikan Australia yang dibangun pada tahun 1840. Sebenarnya kami mencari gereja Katolik. Setelah berdoa sebentar dan mengamati gaya artistiknya gedung gereja tersebut, kami berjalan kaki lagi menyusuri Nurses Walk, sebuah jalan kecil menuju sebuah bangunan bekas klinik, yang dibangun untuk mengenang Lucy Osburn (1835-1891), seorang perawat baik hati bagi kalangan para budak belian waktu itu.
Selanjutnya kami berbelanja Australia the Gift, sebuah toko souvenir, T shirts dan cindera mata, yang tegak berdiri di depan stasiun Circular Quay. Meskipun di toko megah, ternyata harga barangnya lebih rendah karena ‘Made in China’, dibandingkan cindera mata serupa ‘Hand Made by Australian’, yang dijual di kaki lima di areal pelabuhan ataupun The Rock Market. Di situlah kami mendapatkan informasi tentang gereja Katolik dari seorang pembeli lain. Setelah puas berbelanja, termasuk membeli bendera Australia untuk di meja, kami melewati patung Mr. Thomas Sutcliffe Mort, yang meninggal tahun 1879, dan merupakan pioner industri wool Australia yang telah mendunia. Setelah menyusuri George Street, kami berbelok ke Grosvenor Street, untuk menuju gereja Katolik di puncak bukit. Suster Dominikan dari Irlandia yang datang pada 4 September 1867, mendirikan St. Patrick’s Catholic Church Hill di Grosvenor Street. Kami mengukuti misa kudus hari Minggu di situ, yang hanya berlangsung 40 menit, dipimpin pastor yang sudah lanjut, dibantu seorang ibu sebagai prodiakon, dan tanpa ada misdinar seorangpun. Umatnyapun juga sudah tua-tua, sehingga seperti ada kekosongan panggilan pada kaum muda jaman ultra modern di situ.
|
|
Sydney Opera House (SOH) karya arsitek Jorn Utzon dari seberang Sydney Harbour |
Bangunan kolonial di Sydney Harbour yang tetap terawat baik |
Saat ini Sydney merupakan aglomerasi urban terbesar ke-3 di dunia (dengan populasi 3 juta jiwa) setelah Brasília (14.400 km²) dan Tokyo (13.500 km²). Pada sensus tahun 2006, dari 4.119.190 penduduk, 3.641.422 diantaranya menetap di wilayah urban Sydney. Inner Sydney adalah daerah yang paling padat di Australia dengan 4.023 jiwa per kilometer persegi. Nenek moyang penduduk Sydney yang paling umum adalah Australia, Inggris, Irlandia, Skotlandia dan Cina. Tiga negara sumber utama imigran di Sydney adalah Inggris, Cina dan Selandia Baru, diikuti oleh Vietnam, Lebanon, India, Italia dan Filipina.
Menjelang sore hari, kami pulang dengan naik keretaapi sub urban ke Sydney Central Station, melewati stasiun St. James dan Museum. Di Central Train Station yang dibangun Sir John See dan diresmikan pada tanggal 26 September 1903, kami mencari platform 10, untuk berjalan menyeberang ke ‘all paltform’, dan menuju loket intercity train. Kami membeli tiket di konter NSW Trainlink, dengan tujuan pulang ke Melbourne,dan berangkat pk. 20.40.
Perjalanan selepas gelap berlalu, melewati padang rumput yang sangat luas. Bahkan sepanjang mata memandanag, hanya terlihat rumput, domba dan sapi, yang seolah tanpa manusia seorangpun, di antara stasiun kota Benalla dan Seymour. Setelah melewati stasiun kota Broadmeadows, kami menikmati pemandangan daerah sub urban kota metropolitan Melbourne yang tertata, bersih, rapi, modern, dan mencerminkan kehidupan sebuah negara maju. Kami turun di Southern Cross Train Station platform 1 pada hari Senin pagi, 26 Agustus 2013, pk. 7.35 yang masih sepi penumpang.
|
|
Bis wisata di sekitar Sydney Harbour yang selalu padat pelancong |
St. Patrick’s Catholic Church Hill di Grosvenor Street di Sydney |
MELBOURNE
Kami menggunakan Tram no 96 dari East Brunswick ke St. Kilde Beach, naik di halte tram Bourke Street, untuk turun di Melbourne Convention and Exhibition Centre (MCEC). Tram no 96 ini termasuk generasi tram yang relatif baru, full electric dan informatif. Topik International Conggres of Pediatric (IPC) 2013 hari Senin, 26 Agustus 2013 yang menarik adalah ‘Adolescent Health’ dibawakan oleh Patton dari Australia, Vine dari Inggris dan Sawyer dari Australia dalam Plenary Session. Setelah itu, diteruskan dengan ‘Advance Immunisation in the Developing World’ oleh Grimwood dari Australia, Adlide dari USA, dan Thacker dari Nigeria pada sesi simposium di ruang 210.
Pada jam makan siang, kami pulang naik tram 108 via Collin Street, untuk turun di Old Treasury Museum. Setelah menyusuri Spring Street dan melewati Hotel Windsor, kami berbelok ke kiri untuk makan siang di Shuji Sushi, Japanese Cafe di Bourke Street. Menu Yakitori yang berisi daging tusuk dengan saus teriyaki seharga $3.5, Yasai Udon yang berisi berbagai sayuran dan mie seharga $12.9 dan minu teh hangat. Luar biasa uenak. Kami melanjutkan jalan kaki di sekitar MCC (Melbourne City Circle) ke St. Patrick’s Cathedral yang sekarang ini dipimpin Uskup Mgr. Denis Hart dan berlokasi di McArthrur Street. Katedral ini digunakan sejak tahun 1858. Bangunan indah ini lengkung jendela barat digagas Mgr. Patrick Bonaventura Geoghegan, OFM pada tahun 1867. Menara tengah yang menjulang digunakan untuk menganang Mgr. Thomas Joseph, CARR, sedangkan 2 buah menara kembar di bagian tengah untuk mengenang Mgr. James Alipius Goold, OSA. Pintu masuk yang sangat besar dirancang Mgr. Mannix pada tahun 1839, organ akustik oleh Mgr. Simonds tahun 1964, renovasi sakristi oleh Mgr. Knox tahun 1972, dan altar utama oleh Kardinal John O’Connor 1997. Ornament di dalam katedral yang indah ini pernah dikunjungi Santo Sri Paus Johanes Paulus II pada tanggal 28 November 1986.
|
|
Southern Cross Train Station platform 1 di Melbourne, sepulang dari Sydney |
St. Patrick’s Cathedral di McArthrur Street, Melbourne |
Transportasi umum di dalam kota Melbourne dilayani kereta api, tram, dan bus. Layanan ini sudah terintegrasi dalam jaringan bernama PTV (Public Transport of Victoria) sehingga satu karcis myki dapat digunakan untuk ketiga layanan tersebut. Stasiun utama kereta api Melbourne adalah Flinders Street Train Station, dan kerata api antarnegara bagian berangkat dari Southern Cross Train Station. Jalur kereta api pertama dibangun antara kota Melbourne dan Sandhurst pada tahun 1853. Sekarang, daerah metropolis memiliki 200 stasiun dan 16 jalur yang berpusat di ‘City Loop’, bagian jalur bawah tanah yang mengelilingi pusat kota. Dari stasiun Southern Cross, ada jalur langsung ke kota Sydney dan Adelaide, serta Geelong, Ballarat, Bendigo, Bairnsdale dan Seymour dengan kerata api yang dikelola V/Line.
Melbourne juga memiliki jaringan trem listrik terbesar di dunia, dan satu-satunya di Australia yang terdiri dari beberapa jalur. Pada tahun 2010, ada 182,7 juta penumpang trem, pada jalur sepanjang 250 km, sebanyak 28 jalur dan melewati halte trem. Kebanyakan jaringan terletak di median atau tengah jalan, tapi ada bagian kecil yang memiliki jalur khusus. Trem Melbourne dianggap artefak budaya dan daya tarik yang ikonis. Selanjutnya kami menikmati Melbourne City Circle Tram, jalur 35, yang merupakan tram gratis karena ditujukan untuk para pelancong, dan lewat setiap 12 menit. Tram ini merupakan generasi tram pertama di Melbourne, dengan ornamen kayu dan kaca aseli yang masih terawat dengan baik. Kami melewati Spring Street dan menyusuri Yarra River, untuk turun Flinders Street. Kami berfoto di Flinders Street Train Station yang artistik, ikonik dan berfungsi baik, di seberang St Paul’s Cathedral, sebuah katedral ‘the Anglican Church of Australia’. Katedral ini bergaya High Gothic Revival dan dibangun pada tahun 1880-1891 dengan arsitek William Butterfield. Nama jalan ini mengingatkan kita akan penindasan Captain Matthew Flinders (1774-1814) seorang navigator kapal, yang gagah dan ganas. Selanjutnya kami berjalan-jalan di The Federation Square, River Terrace, Federation Wharf, dan Yarra Building yang terletak saling berdekatan dalam sebuah kompleks. Sore itu area publik tersebut dipenuhi oleh para wisatawan dan warga Melbourne yang menikmati keindahan. Setelah kedinginan di Federation Square karena angin musim dingin yang berhembus kencang, kami terpaksa pulang ke hotal, untuk mencari pehangat ruangan.
|
|
Sisi dalam St. Patrick’s Cathedral di McArthrur Street, Melbourne |
Melbourne City Circle Tram jalur 35, yang kuno, legendaris, tetapi masih hidup |
Salah satu acara IPC 2013 di MCEC hari Selasa, 27 Agustus 2013 yang menarik adalah ‘Meet the Expert : Kangaroo Mothercare’ oleh Jeffery dari Australia di ruang 212, diteruskan dengan satu plenary session tentang ‘Global Action Plan for Diarrhea and Pneumonia’ oleh Mulholland dari Inggris di ruang plenary 3, dan seminar tentang ‘Every Newborn Action Plan Needs Every Paediatrician, What Can You Do?’ oleh Chopra dari WHO dan UNICEF. Acara selanjutnya kami isi dengan naik tram no 96 ke Royal Exhibition Building and Carlton Garden World Heritage Site di Nicholson Street Carlton. Royal Building tersebut dibangun pada tahun 1880, untuk ajang sebuah pameran internasional pertama di Australia. Bangunan bergaya Gothic dan Klasik yang berkembang saat itu, telah menginspirasi Joseph Reed sebagai arsiteknya. Gedung tersebut pernah digunakan sebagai gedung Parlemen Federal Australia pertama. Selanjutnya kami mengunjungi Melbourne Museum di sebelahnya yang menyimpan sejarah Melbourne, budaya lokal, jejak ilmu pengetahuan setempat dan pameran Aborigin.
|
|
Stasiun utama kereta api Melbourne adalah Flinders Street Train Station |
Building Graduate Centre, yang dirancang oleh Henry Bastow dan John Marsden |
Kami berdua melanjutkan perjalanan dengan naik sebuah Tram 96 yang terbaru, berwarna kuning gading, bersifat Stop Requested Tram, untuk menuju ke Swantson Street. Kami berganti Tram 72 ke University of Melbourne, melalui Lincoln Square dan turun Grattan Street, yang merupakan terminal terakhir tram tersebut, di areal kampus. Kami mampir di The Royal Dental Hospital of Melbourne, gerbang kampus, mengagumi 1888 Building Graduate Centre, yang dirancang oleh Henry Bastow dan John Marsden. Gedung indah tersebut dahulu merupakan asrama para dosen muda di University of Melbourne. Setelah menjelajah areal kampus, termasuk Fakultas Kedokteran dan RS Pendidikannya, kami naik Tram 55 di depan The Royal Melbourne Hospital ke Royal Childrens Hospital. Selanjutnya kami naik tram 57 ke Victoria Market, sebuah pasar yang dibangun tahun 1878. Queen Victoria Market merupakan pasar terbuka (open air) terbesar di belahan dunia selatan. Lokasinya di persimpangan Elizabeth and Victoria Street yang buka hanya pada Selasa, Kamis, Jumat dan Sabtu. Di pasar ini dijual segala macam barang dagangan, dari makanan segar, produk impor dan lokal, kosmetik, pakaian dan souvenir. Kami makan di Canton Malay Cuisine beef brisket noodle soup $9.8
|
|
Melbourne Museum berisi sejarah Melbourne dan pameran Aborigin. |
Turun dari tram 72 di dekat gerbang University of Melbourne |
Selanjutnya kami berdua kembali naik tram 19 menuju ke La Trobe Station, di seberang gedung pencakar langit Melbourne Central yang sangat tinggi sekali. Di situ kami berganti tram 35 ke Harbaour Esplenade and Central Pier. Setelah puas memandang dermaga dengan berbagai kapal dan jembatan, kami naik tram 70, melewati Harbour Side Dockland, Flinder Street, dan Federation Square, untuk menuju ke Melbourne Park, tempat Rod Laver Arena, stadion tenis lapangan yang terkenal dan berdiri begah di dekat stadion criket. Kami sempatkan keliling areal yang sedang direnovasi, mengagumi patung perunggu para juara Australia Terbuka tahun-tahun sebelumnya, dan bahkan bergaya seperti juara Australia Open 2013, salah satu grand slam tenis lapangan, yaitu Novak Djokovic (Serbia) dan Victoria Azarenka (Rusia).
|
|
Rod Laver Arena, stadion tenis lapangan yang sedang direnovasi |
Meniru teriakan Novak Djokovic (Serbia) juara Australia Open 2013 |
Kembali kami naik tram 70 ke Federation Square, untuk berganti tram 5 menuju ke The Shrine of Remembrance, yang berlokasi di St. Kilda Road and Birdwood Avenue. Makam pahlawan ini dibangun pada tanggal 11 November 1927 oleh Letkol Arthrur Herbert Tennyson Baron Somers. Bangunan megah bergaya Yunani abad pertengahan ini, telah menjadi landmark yang ikonik bagi Melbourne. Para pahlawan Australia, banyak yang disemayamkan di situ, karena yang gugur dalam Perang Dunia II di sekitar tahun 1939-1945. Bangunan World War II Forecourt, didirikan untuk mengenang para prajurit RAAF, AMF dan ANF, yang berperang di Yunani, Kreta, Siria, Mesir, Libia, Malaya, New Guenea, Pasifik dan Kalimantan. Kami hadir di situ saat upacara penurunan bendera nasional Australia pada pk. 17, oleh tentara angkatan darat, laut dan udara, sebagai tanda monumen tersebut tutup, dengan diiringi lagu kebangsaan Australia yang keras terdengar. Suasana hening di dalam kompleks makam monumental tersebut, yang berada dalam ketinggian lansekap bangunannya, mengingatkan tentang sejarah tentara Australia, keterlibatannya dalam perang, dan usahanya menciptakan perdamaian dunia. Dari balkon makam tersebut, kita dapat mengalihkan pandangan ke seluruh areal kompleks yang hujau, bahkan panorama pusat kota Melbourne. Dari situ kami kembali menikmati sore yang padat manusia pulang bekerja di Federal Square dan kembali ke hotel untuk bersitirahat.
|
|
World War II Forecourt bergaya Yunani abad pertengahan untuk makam para pahlawan Australia |
Melbourne dari balkon makam para pahlawan Australia di World War II Forecourt |
Hari selanjutnya, pada IPC 2013 di MCEC Rabu, 28 Agustus 2013, kami mengikuti ‘Meet the expert : Non-communicable diseases, a global perspective’ oleh Proimos dari Australia di ruang 210, kemudian ‘plenary session : Environmental impacts on Child Health’ oleh Sly Australia, Soder Swedia dan Wigg Australia di plenary 3, dan simposium ‘Global Infection: what’s new in HIV, TB, Dengue, Malaria?’ oleh Konstantopoulos dari Yunani dan Marais dari Australia.
Tawaran wisata ke Eureka Tower Skydeck 88 di Riverside Quay Southbank, untuk melihat lansekap kota Melbourne (an experience above all else), Phillip Island Nature Park untuk melihat pinguin, Great Ocean Road untuk melihat batu karang indah, Sovereign Hill untuk merasakan nuansa penambangan emas (goldrush) di Australia sekitar tahun 1882, dan Mount Buller untuk melihat salju, semuanya hanya dapat kami bayangkan saja. Selain harga tiketnya paling tidak $100/orang tidak terjangkau, juga syarat dan ketentuan yang diperlukan tidak memungkinkan bagi kami berdua.
|
|
Menu makan siang yang hangat dan berkuah lezat di kantin |
Gerbang sederhana di depan The Royal Children Hospital di Melbourne |
Oleh sebab itu, segera kami naik tram 112 untuk pergi ke Gereja St Michel’s yang dibangun tahun 1867 dan merupakan bangunan gereja pertama di seluruh Melbourne. Rancangan interiornya dipengaruhi oleh gaya teatrikel galeri Florentine. Desain eksteriornya menggambarkan gaya Tuscan dengan perseptif Romawi, yang tidak ditemukan di seantero Inggris maupun Australia. Jendela kaca patri kembar, yang menggambarkan teologi visual, merupakan yang terbaik di belahan dunia selatan. Kapel ‘The Quiet Place’, pada sisi barat gereja, merupakan ruang penyimpanan abu jenazah dan doa oleh keluarga, yang setiap hari dikunjungi banyak peziarah. Letaknya di persimpangan Russel dan Collins Street. Nama jalan ini ditujukan untuk mengenang jasa Letkol David Collins, yang memimpin areal pelabuhan besar Port Phillip pada tahun 1803 dan membangun kota Hobart di Pulau Tasmania pada tahun 1804.
Sekedar mengingatkan, Melbourne terletak di bagian tenggara benua Australia dan terletak di sekitar Port Phillip. Daerah pinggiran Melbourne berkembang mengikuti aliran Yarra River ke arah Yarra dan Dandenong Ranges sedangkan di bagian selatan, perkembangannya terbagi ke dua arah disebabkan lokasi Melbourne sendiri. Ke arah barat terdapat Geelong yang terletak di Bellarine Peninsula sedangkan ke arah timur terdapat Frankston, dan berbagai kota yang terletak di pinggir pantai seperti Rye dan Sorrento. Ujung Bellarine dan Mornington Peninsula hanya dipisahkan sebuah selat kecil dan di antara kedua tanjung ini tersedia layanan penyeberangan. Kami putuskan untuk melihat-lihat keindahan daerah pinggiran (suburb) yang terjangkau dari Melbourne.
|
|
Istirahat sejenak di taman umum yang nyaman dan bersih |
Gereja St Michel’s (1867) gereja pertama di seluruh Melbourne. |
Untuk itu, selanjutnya kami melakukan penambahan dana (top up) myki card di Collins Pharmacy, sebuah apotek berbendera myki yang melayani jasa tersebut dengan bantuan petugas. Kami belum berani melakukan hal tersebut secara mandiri di mesin myki yang banyak terdapat di halte tram. ‘Top up’ kami lakukan untuk persiapan jalan-jalan ke sub urb dengan keretaapi Melbourne Metro, karena tarifnya $ 5,8 untuk zone 1. Akhirnya kami naik tram 72 bertiket 2c atau $ 1/5, menuju ke Flinders Street Train Station. Dari Flinders Street di platform 6, kami naik keretaapi METRO limited express zone 1 menuju ke Cranbourne.
Kami akan turun di Huntingdale, yang merupakan batas terjauh METRO sub urb zone 1. Rute METRO setelah Huntingdale, selanjutnya adalah Clayton sampai Cranbourne atau Pakenham, yang merupakan sub urb zone 2 dengan tiket yang lebih mahal. Kami akan menemui adik-adik tercinta Paulus Kuswandono (dosen FIP USD) dan isterinya Amelberga Vita (dosen Fisip UAJY), keduanya dari Yogyakarta dan sekarang mahasiswa S3 di Monash University Clayton. Kami meliwati stasiun Richmond, South Yarra, Hawksburn, Toorak, Armadale, Malvern, Caulifield, Camegie, Murrumbeena, Hughesdale dan Oakleigh. Semua bangunan stasiunnya berdinding warna merah bata, cukup sepi, bersih dan rapi. Kami melewati banyak rangkaian jalur METRO yang sibuk, teratur dan tepat waktu. Daerah sub urb yang kami lewati, pada umumnya terlihat rapi, nyaman, terbagi dalam blok dan berukuran serupa.
|
|
Dijemput adik Amelberga Vita (dosen Fisip UAJY) saat tutun dari METRO Zone 1 di Huntingdale Station. |
Dengan adik Paulus Kuswandono (dosen FIP USD) dan isterinya Amelberga Vita (dosen Fisip UAJY), di Clayton. |
Kami dijemput di gerbang stasiun Huntingdale setelah melakukan ‘top off’ myki card. Perjumpaan dengan kedua adik tercinta tersebut, sangat mengharukan sekali, karena hampir 5 tahun dik nDono tidak bertemu mbak Ririk, sementara kami pribadi belum pernah kenal dengan keduanya. Meskipun demikian, suasana akrab dan ‘chemistry’ spontan segera terjalin, dan ‘city tour’ di Clayton segera mulai dari areal kampus Monash University, beli bensin, kompleks perumahan, dan makan siang Peri-Perks Nando, menu ayam dan kentang gaya Portugis di depan pasar Clayton. Setelah mengobrol berbagai hal di rumahnya yang asri, juga ketemu 2 anak mereka, Nimas dan Martin, sepulang mereka dari sekolah, kami diantar dengan mobilnya ke Albert Park. Sungguh sayang, kami lupa berfoto dengan Nimas dan Martin, yang tetap berseragam sekolah mereka masing-masing, pada saat mereka main game digital, dan kami tinggal untuk jalan-jalan lanjutan.
Melbourne dikenal sebagai kota yang gila olahraga. Olahraga yang populer di Melbourne adalah rugby, kriket, tenis, sepak bola dan bola basket, namun yang paling populer adalah Australian Football atau yang akrab dipanggil footy oleh warga Melbourne. Olahraga footy memang identik dengan kota ini dan negara bagian Victoria secara umum, bahkan lebih dari setengah tim-tim yang bermain di AFL (Liga Australian Football) berasal dari Melbourne. Menyebut football di Melbourne berarti merujuk kepada olahraga ini, berbeda dari Sydney atau Canberra, di mana kata tersebut merujuk kepada rugbi.
|
|
Kampus adik Amelberga Vita (dosen Fisip UAJY) saat S3 Monash University Clayton |
Sisa yang dibungkus dari sajian makan siang di Clayton |
Melbourne banyak menyelenggarakan kejuaraan olahraga internasional setiap tahunnya, mulai dari Formula 1, Australia Terbuka (tenis), Melbourne Cup (kejuaraan pacuan kuda paling bergengsi di dunia), hingga pertandingan kriket setiap bulan Desember yang terkenal. Pada tahun 2003, Melbourne merupakan salah satu kota yang menjadi tempat penyelenggaraan Piala Dunia Rugbi. Pada tahun 2006, Melbourne menyelenggarakan Pesta Olahraga Persemakmuran. Sebelumnya, kota ini pernah menyelenggarakan Olimpiade pada tahun 1956.
|
|
Rumah tinggal adik Paulus Kuswandono dan isterinya Amelberga Vita di Clayton. |
Bergaya di Albert Park, sirkuit balap mobil Formula 1 Grand Prix kelas dunia |
Kami akan buktikan nuansa gila olah raga tersebut di Melbourne. Untuk itu, segera kami diantar dengan mobil dik nDono memasuki ke kompleks Albert Park Golf Course, mengelilingi danau buatan dan merasakan sensasi tikungan sirkuit balap mobil paling bergengsi di dunia, Formula 1 Grand Prix. Ternyata track yang digunakan bukanlah sebuah jalur balap khusus seperti di Sentul (Bogor) atau Sepang (Malaysia), tetapi hanyalah merupakan jalan untuk mobil golf para pemain dan caddy yang kelelahan. Pada saat diadakan balapan mobil grandprix seri F1, areal tersebut disulap menjadi sirkuit internasional, lengkap dengan ‘pitstop’, ‘puddock’, jalur pengaman, dan bahkan kursi penonton bertingkat yang portabel. Tikungan tajam yang pernah ditaklukkan Fillipe Massa, Ayrton Senna, ataupun Fernando Alonso, bahkan lintasan lurus yang dijejak Lewis Hamilton, Michail Schumacher, ataupun Kimi Raikonen, telah kami rasakan, meski dengan kecepatan yang sangat jauh lebih rendah. Sensasi dan imaji yang spontan terjadi, sungguh sangat luar biasa. Perpisahan, kami lakukan di areal balap jet darat Albert Park tersebut dan mereka berdua kembali ke Clayton.
|
|
semilir angin laut dari arah Port Phillip Bay di Port of Melbourne. |
salam selamat datang yang kami cari-cari, yaitu tulisan Melbourne yang ikonik. |
Dengan Tram 112 dari West Beach, kami naik di Clarendon Street, persis di depan Melbourne Sports and Aquatic Centre di Albert Park. Kami ganti Tram 109 untuk menuju Beacon Cove. Rute menyeberangi Yarra River ini untuk menikmati Port of Melbourne. Di situlah kami menemukan salam selamat datang yang kami cari-cari, yaitu tulisan Melbourne yang ikonik. Selain itu, kami juga sempatkan melihat Spirit of Tasmania, sebuah ferri penyebarangan ke Hobart di Pulau Tasmania (gambar 51), yang akan berangkat dari Station Pier. Kami tunggu sampai matahari hampir terbenam dan malam menjelang, dalam dekapan semilir angin laut dari arah Port Phillip Bay yang membuat kami lapar dan mengantuk. Kami habiskan malam itu di City Loop, dengan jalan-jalan, melihat berbagai aktivitas warga kota yang damai, dan makan malam menu China di Red Mansion Exhibition Street di dekat Chinatown Precinct. Malam itu kami mampu tidur nyenyak dalam mimpi dan kepuasan batin, untuk persiapan pulang ke Yogyakarta.
|
|
Sky Bus warna merah jurusan Tulamarin International Airport ke kota Melbourne |
Gerbang sederhana dan kecil di depan Port of Melbourne yang besar. |
Tertima kasih kami sampaikan, kepada siapun juga yang telah memberikan dukungan dan kebersamaan, sehingga petualangan dan perjalanan di Melbourne dan Sydney yang melelahkan ini, telah terlaksana dengan baik dan tidak menimbulkan aus pada diri kami.
Sekian
Ditulis di kamar 4109 Victoria Hotel di Litlle Collins Street Melbourne, Australia
Dipancarkan dari free wifi Queen Victoria Market Melbourne
*) pelancong Jawa berdana cekak