Categories
anak COVID-19 dokter Healthy Life vaksinasi

2023 Penangan COVID-18 pascapandemi

PENANGAN COVID-19  PASCA  PANDEMI

fx. wikan indrarto

Tulisan ini dimuat di Harian Nasional Kompas edisi cetak halaman 7 Kolom Opini pada hari Kamis, 23 November 2023.

https://www.kompas.id/baca/opini/2023/11/22/penanganan-covid-19-pascapandemi

Pada Jumat, 10 November 2023 WHO telah memperbaharui pedoman penanganan dan terapi COVID-19, setelah stetatus pandemi dicabut. Pedoman ini adalah rekomendasi untuk pasien dengan COVID-19 yang tidak parah, yang merupakan pembaruan ke-13. Apa yang menarik?

.

WHO masih merekomendasikan pemakaian masker sebagai alat utama melawan COVID-19. Penggunaan masker tetap direkomendasikan untuk masyarakat dalam situasi tertentu, misalnya di dalam areal RS, terlepas dari situasi epidemiologi wilayah setempat, mengingat penyebaran COVID-19 secara global saat ini masih ada. Penggunaan masker disarankan dilakukan setelah seseorang terpapar COVID-19, ketika seseorang mengidap atau mencurigai dirinya mengidap COVID-19, ketika seseorang berisiko tinggi terkena COVID-19 parah, dan bagi siapa saja yang berada di ruangan yang ramai, tertutup, atau berventilasi buruk. Sebelumnya, rekomendasi WHO tentang masker didasarkan pada situasi epidemiologi wilayah setempat.

.

Rekomendasi juga tentang pengurangan masa isolasi mandiri pasien COVID-19. Untuk pasien dengan gejala, pedoman baru menyarankan isolasi 10 hari sejak hari timbulnya gejala. Sebelumnya, WHO menyarankan agar pasien dipulangkan dari RS 10 hari setelah timbulnya gejala, ditambah setidaknya tiga hari tambahan sejak gejalanya hilang. Bagi mereka yang dinyatakan positif COVID-19 tetapi tidak menunjukkan tanda atau gejalaapa pun, WHO kini menyarankan isolasi cukup 5 hari saja, tidak harus selama 10 hari seperti rekomendasi sebelumnya. Pasien dapat dipulangkan dari isolasi di RS lebih awal, jika hasil tesnya negatif pada tes cepat berbasis antigen. Isolasi terhadap orang yang mengidap COVID-19 merupakan langkah penting dalam mencegah orang lain tertular. Hal ini dapat dilakukan di rumah atau di fasilitas khusus, seperti rumah sakit atau klinik.

.

baca juga : 2023 Pedoman Baru Melawan COVID-19

.

Bukti menunjukkan bahwa orang yang tidak memiliki gejala klinis, jauh lebih kecil kemungkinannya untuk menularkan virus, dibandingkan mereka yang memiliki gejala. Meskipun tingkat kepastiannya sangat rendah, bukti juga menunjukkan bahwa orang yang dipulangkan pada hari ke 5 setelah timbulnya gejala, berisiko menularkan penyakit masih tiga kali lebih banyak, dibandingkan mereka yang dipulangkan pada hari ke 10.

.

Varian virus COVID-19 yang ada saat ini cenderung menyebabkan penyakit yang lebih ringan sementara tingkat kekebalan tubuh lebih tinggi karena vaksinasi, sehingga telah mampu menurunkan risiko penyakit parah dan kematian bagi sebagian besar pasien. Panduan WHO terbaru mencakup tingkat risiko memerlukan rawat inap di rumah sakit, pada pasien dengan COVID-19. Perkiraan risiko akan membantu dokter dan tenaga profesional layanan kesehatan untuk mengidentifikasi pasien yang berisiko tinggi, sedang, atau rendah untuk dirawat inap di rumah sakit, dan mendapatkan pengobatan sesuai dengan pedoman WHO.

.

Risiko tinggi dirawat inap adalah orang yang mengalami imunosupresi jika tertular COVID-19, dengan perkiraan tingkat rawat inap sebesar 6%. Kategori risiko sedang mencakup orang yang sebelumnya dianggap berisiko tinggi, termasuk orang lanjut usia berusia di atas 65 tahun dan atau mereka yang memiliki kondisi penyakit kronis seperti obesitas, diabetes, penyakit paru obstruktif kronik, penyakit ginjal atau hati, kanker, dan penyandang disabilitas, dengan perkiraan tingkat rawat inap sebesar 3%. Sedangkan risiko rendah adalah orang yang tidak termasuk dalam kategori risiko tinggi atau sedang untuk dirawat di rumah sakit (0,5%). Kebanyakan orang berisiko rendah.

.

Pengobatan untuk orang terinfeksi COVID-19 yang tidak parah direkomendasikan menggunakan kombinasi nirmatrelvir dengan ritonavir (juga dikenal dengan merek dagangnya ‘Paxlovid’), yaitu orang yang berisiko tinggi dan sedang untuk dirawat di rumah sakit. Rekomendasi tersebut menyatakan bahwa nirmatrelvir-ritonavir dianggap sebagai pilihan terbaik bagi sebagian besar pasien yang memenuhi syarat, mengingat manfaat terapeutiknya, kemudahan pemberiannya, dan lebih sedikit kekhawatiran mengenai potensi bahayanya. Nirmatrelvir-ritonavir pertama kali direkomendasikan WHO pada April 2022. Jika nirmatrelvir-ritonavir tidak tersedia untuk pasien berisiko tinggi dirawat di rumah sakit, WHO menyarankan penggunaan molnupiravir atau remdesivir. Namun demikian,  molnupiravir dan remdesivir tidak boleh digunakan untuk pasien dengan risiko sedang, mengingat potensi bahayanya lebih besar daripada manfaat. Bahkan bagi orang yang berisiko rendah untuk dirawat di rumah sakit, WHO tidak merekomendasikan terapi antivirus jenis apa pun. Gejala seperti demam dan nyeri dapat diatasi dengan obat analgesik seperti parasetamol.

.

WHO juga merekomendasikan untuk tidak menggunakan antivirus baru (VV116) pada pasien, kecuali dalam uji klinis. Sebaliknya, rekomendasi  penggunaan ivermectin untuk pasien dengan COVID-19 yang tidak parah tetap berlaku. WHO terus menyarankan bahwa pada pasien dengan COVID-19 yang parah atau kritis, ivermectin hanya boleh digunakan dalam uji klinis saja. WHO memberikan rekomendasi yang kuat dua obat lain untuk  COVID-19, yaitu sotrovimab dan casirivimab-imdevimab. Obat antibodi monoklonal ini kurang atau berkurang aktivitasnya melawan varian virus yang beredar saat ini. Saat ini terdapat 6 pilihan pengobatan yang terbukti untuk pasien COVID-19, tiga pilihan pengobatan mencegah rawat inap pada orang yang berisiko tinggi dan tiga pilihan pengobatan yang menyelamatkan nyawa pasien dengan penyakit parah atau kritis. Kecuali kortikosteroid, akses terhadap obat yang lain masih belum memuaskan secara global.

.

Sudahkah kita bertindak bijak dalam pengobatan COVID-19 paska pandemi?

Sekian

Yogyakarta, 18 November 2023

*) Dokter spesialis anak di RS Panti Rapih Yogyakarta, Alumnus S3 UGM, WA: 081227280161

Categories
anak dokter vaksinasi

2023 Radang Otak

RADANG  OTAK

fx. wikan indrarto

.

Ringkasan tulisan ini dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta Minggu, 26 November 2023, kolom HUSADA

.

Lima anak diduga mengidap Japanese Encephalitis (JE) atau radang otak (Ensefalitis) di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kelima kasus ini tercatat muncul sepanjang 2023. Satu kasus suspek dari anak itu akhirnya meninggal dunia. Apa yang perlu dicemaskan?

.

baca juga : 2023 Panduan Antibiotika

Virus Japanese Encephalitis (JE) adalah penyebab utama ensefalitis yang dapat dicegah dengan vaksin di Asia dan Pasifik bagian barat, termasuk Indonesia. Kebanyakan orang yang terinfeksi JE tidak menunjukkan gejala atau hanya mengalami gejala ringan. Namun, sebagian kecil orang yang terinfeksi mengalami peradangan otak (ensefalitis), dengan gejala termasuk sakit kepala mendadak, demam tinggi, disorientasi, koma, gemetar, dan kejang. Sekitar 1 dari 4 kasus berakibat fatal. Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia atau WHO, diperkirakan terdapat sejumlah 67.900 kasus baru per tahun di 24 negara di kawasan Asia dan Oceania.

.

Di Indonesia kasus konfirmasi JE dalam periode tahun 2014 sampao 2023 dilaporkan sejumlah 145 kasus. Case Fatality Rate (CFR) atau tinfkat kematian penyakit ini mencapai 30%, tetapi 50% dari penderita yang mampu bertahan hidup akan mengalami gejala sisa seperti lumpuh atau kejang, perubahan perilaku, hingga kecacatan berat.

.

Radang otak ini disebabkan virus JE yang merusak otak. Sekalipun dapat menginfeksi siapa saja, kasusnya banyak ditemukan pada anak di bawah 15 tahun. Infeksi virus ini memunculkan gejala demam tinggi di hari-hari awal hingga terjadi kejang, penurunan kesadaran dan bahkan dapat meninggal. Memang tidak mudah mendiagnosis JE, sehingga setiap RS  diwajibkan memiliki sebuah tim untuk melakukan penapisan atau skrining kasus. Definisi kasus suspek JE atau Acute Encephalitis Sindrome (AES), yaitu adanya demam atau riwayat demam yang disertai dengan penurunan kesadaran dan atau kejang. Dalam hal ini tidak termasuk kejang demam sederhana (KDS), tetapi disertai gejala awal meningkatnya iritabilitas dan atau kelemahan otot tungkai atau paralisis.

.

Pasien AES diambil spesimennya untuk pemeriksaan konfirmasi JE. Spesimen berupa cairan otak atau LCS lebih direkomendasikan, karena imunoglobulin M atau IgM sebgai reaksi terhadap infeksi JE pada LCS lebih awal dapat terdeteksi dan lebih tinggi  kadarnya daripada di dalam darah (bahkan 2 sampai 4 kalinya). Namun demikian, tingkat kesulitan dan risiko dalam tindakan pengambilan spesimen LCS memang lebih tinggi. Spesimen darah memang lebih mudah diperoleh, juga penyimpanan dan transportasi ke laboratorium lebih mudah dilakukan. Namun demikian, pengambilannya baru ideal bila dilakukan pada lebih dari hari kelima sejak timbulnya gejala klinis.

.

Paling baik spesimen yang dianalisis di laboratorium adalah cairan otak atau LCS, tetapi kalau tidak memungkinkan dapat juga diperiksa darahnya sebanyak 2-3 ml. Pemeriksaan spesimen saat ini hanya dapat dilakukan di Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BBTKLPP) Yogyakarta, berupa pemeriksaan ELISA IgM spesifik JE. Untuk deteksi IgM lebih baik dikirim sepasang (fase akut dan konvalescen).

.

Hasil pemeriksaan akan dilakukan umpan balik berupa laporan ke Subdit Arbovirosis Dinas Kesehatan setempat dan Rumah Sakit pengirim. Langkah selanjutnya adalah penyelidikan epidemiologi serta survei vector nyamuk, karena Virus JE umumnya dibawa oleh nyamuk Culex  tritaeniorhynchus, dan reservoir binatang peliharaan di sekitra rumah oleh Timja Arbovirosis Dinas Kesehatan setempat. Uji spesimen, hasil survei vector dan reservoir di Kabuaten Kulon Progo pada hari Selasa, 14 November 2023 dinyatakan tidak ditemukan IgM pada spesimen kasus, tidak ada virus JE pada nyamuk dan hewan di lingkungan penderita.

.

Penyakit JE merupakan penyakit yang bersumber dari binatang (zoonosis) dan disebar lewat hewan perantara, seperti nyamuk culex.  Nyamuk jenis ini biasa ditemukan di sekitar rumah, persawahan, kolam atau selokan. Reservoar virus adalah sapi, kerbau, kera hingga beberapa spesies burung.  Penyakit JE sejatinya bisa dicegah setelah mengetahui sumber dan penularannya. Masyarakat yang menerapkan pola perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) akan terhindar dari penyakit ini. Selain itu, juga menggunakan obat anti nyamuk, mengenakan kemeja lengan panjang dan celana panjang, dan mendapatkan vaksinasi atau imunisasi.

.

Pemerintah Indonesia berkomitmen tinggi untuk melindungi seluruh masyarakat dari kesakitan, kecacatan dan kematian akibat penyakit-penyakit berbahaya yang dapat dicegah dengan imunisasi. Salah satunya dengan menambahkan imunisasi JE ke dalam program imunisasi rutin di wilayah endemis penyakit tersebut.

.

Pemberian imunisasi JE telah lebih dahulu dilaksanakan di Provinsi Bali pada tahun 2018 dan mulai September 2023 di seluruh Kabupaten kota di Provinsi Kalimantan Barat, sebagai provinsi kedua. Berdasarkan rekomendasi WHO dan Komite Penasihat Ahli Imunisasi Nasional (ITAGI), sebelum penambahan imunisasi JE ke dalam program imunisasi rutin bagi bayi usia 10 bulan dimulai, maka diberikan imunisasi tambahan massal JE terlebih dahulu yang menyasar seluruh anak usia 9 bulan sampai dengan kurang 15 tahun, sebanyak 1,3 juta anak. Imunisasi tambahan massal JE diharapkan dapat selesai lebih cepat dan tepat sehingga pada akhir bulan November 2023 diharapkan sudah mulai imunisasi rutin pada anak usia 10 bulan di posyandu, puskesmas dan RS.

Vaksin JE yang digunakan merupakan virus hidup yang dilemahkan. WHO  merekomendasikan pemberian dosis tunggal vaksin JE di semua area endemis, sejak usia 9 bulan. Untuk perlindungan jangka panjang dapat diberikan booster 1-2 tahun berikutnya. Vaksin JE juga direkomendasikan untuk wisatawan yang akan tinggal selama lebih dari 1 bulan di daerah endemis.

Sudahkah anak di sekitar kita terlindungi dari JE?

Sekian

Yogyakarta, 15 November 2023

*) Dokter spesialis anak di RS RS Panti Rapih Yogyakarta, Alumnus S3 UGM,WA: 081227280161,