Categories
Istanbul

2020 WASTING PADA ANAK

Wasting Pada Anak, Apa Saja Penyebab dan Bagaimana Mengatasinya? | Kabar  Tangsel

WASTING  PADA  ANAK

fx. wikan indarto*)

Pada 2015 segenap pemimpin dunia berkomitmen untuk memberantas  kekurangan gizi pada 2030 sebagai bagian dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Untuk mencapai hal ini, SDGs memasukkan target Majelis Kesehatan Dunia ke-65 dalam mengurangi proporsi anak dengan kekurangan gizi akut atau kurus (wasting) menjadi <5% pada tahun 2025 dan <3% pada tahun 2030. Namun, sejak target tersebut diadopsi, proporsi anak dengan wasting di banyak bagian dunia tetap tidak berubah. Apa yang membahayakan?

Saat ini, diperkirakan 7,3% (50 juta) dari semua anak balita menderita wasting. Tiga perempat dari anak ini tinggal di lingkungan berpenghasilan rendah, sedangkan sisanya terkena dampak krisis kemanusiaan,termasuk resesi karena pandemi COVID-19. Wasting mempengaruhi anak di hampir setiap benua, dengan jumlah terbesar tinggal di Asia Selatan dan Tenggara.

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2018/06/04/2018-campak-dan-gizi-buruk/

.

Kemajuan dalam mengurangi separoh jumlah anak yang mengalami wasting atau terhambat pertumbuhannya, dan dalam mengurangi jumlah bayi yang lahir dengan berat badan lahir rendah, terbukti terlalu lambat, sehingga membuat target nutrisi SDG 2 menjauh dari jangkauan. Pada saat yang sama, justru terjadi tambahan tantangan, karena kelebihan berat badan dan obesitas terus meningkat di semua wilayah, terutama pada anak usia sekolah dan orang dewasa muda. Selain itu, peluang mengalami rawan pangan lebih tinggi terjadi pada wanita daripada pria di setiap benua, dengan kesenjangan terbesar di Amerika Latin. Tindakan untuk mengatasi tren yang meresahkan ini harus lebih berani, tidak hanya dalam skala, tetapi juga dalam hal kolaborasi multisektoral. Hal ini melibatkan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), Dana Internasional untuk Pengembangan Pertanian (IFAD), Dana Anak PBB (UNICEF), Program Pangan Dunia (WFP) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2020/10/13/2020-makanan-sehat-saat-covid-19/

.

Kelaparan yang meningkat terjadi di banyak negara, terutama di mana pertumbuhan ekonomi tertinggal dan terdampak resesi karena pandemi COVID-19, yaitu di negara berpenghasilan menengah dan negara yang sangat bergantung pada perdagangan komoditas primer internasional. Laporan tahunan PBB 2019 juga menemukan bahwa ketimpangan pendapatan juga meningkat di banyak negara di mana kejadian kelaparan meningkat, menjadikannya semakin sulit bagi orang miskin, rentan atau terpinggirkan, untuk mengatasi perlambatan dan penurunan pertumbuhan ekonomi di negara tersebut.

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2020/01/02/2020-menurunkan-angka-kematian-anak/

.

Untuk itu, semua negera seharusnya mendorong program transformasi struktural yang berpihak pada kaum miskin dan inklusif. Selain itu, juga berfokus pada orang dan komunitas khusus, agar menjadi pusat kegiatan dalam mengurangi kerentanan ekonomi, sehingga banyak negara akan mampu berada pada jalur untuk mengakhiri kelaparan, kerawanan pangan, dan segala bentuk kekurangan gizi.

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2019/07/26/2019-kelaparan-masih-ada/

.

Situasi kelaparan yang paling mengkhawatirkan terjadi di Afrika, karena wilayah ini memiliki tingkat kelaparan tertinggi di dunia. Selain itu, juga terus meningkat secara perlahan namun pasti, di hampir semua sub-wilayah. Di Afrika Timur khususnya, hampir sepertiga dari populasi (30,8 persen) kekurangan gizi. Selain perubahan iklim dan konflik bersenjata, ternyata perlambatan dan penurunan pertumbuhan ekonomi mendorong peningkatan kelaparan. Sejak tahun 2011, hampir setengah negara di mana kelaparan meningkat, terjadi karena perlambatan pertumbuhan ekonomi atau stagnasi di Afrika.

Namun demikian, jumlah terbesar orang kurang gizi (lebih dari 500 juta) justru tinggal di Asia, sebagian besar di Asia selatan. Secara bersama-sama, Afrika dan Asia menanggung bagian terbesar dari semua bentuk malnutrisi, terhitung lebih dari sembilan dari sepuluh anak pendek, kekurangan gizi kronis atau stunting, dan lebih dari sembilan dari sepuluh anak kurus atau wasting di seluruh dunia. Di Asia selatan dan Afrika sub-Sahara, satu dari tiga anak adalah pendek. Selain tantangan stunting dan wasting, wilayah Asia dan Afrika juga merupakan rumah bagi hampir tiga perempat dari semua anak yang kelebihan berat badan di seluruh dunia, sebagian besar didorong oleh peningkatan konsumsi makanan yang tidak sehat.

 

Pita LiLA membantu keluarga melindungi anak dari kondisi gizi buruk selama  pandemi | UNICEF Indonesia

Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam, Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) Arifin Rudiyanto, pada 10 April 2019 menyatakan bahwa tahun 2018 lalu, konsumsi makanan per kapita di Indonesia meningkat sekitar 5 persen, dan bahkan konsumsi kalori pada masyarakat berpendapatan rendah meningkat sekitar 8 persen. Dalam kondisi ini, tingkat stunting untuk anak balita di Indonesia turun 7 persen dibanding kondisi tahun 2013, menjadi 30,8 persen tahun 2018. Prevalensi kekurangan berat badan (wasting) pada anak balita juga turun 2 persen, menjadi 10 persen selama periode yang sama. Indonesia berada dalam kondisi transisi ekonomi, dengan pertumbuhan pendapatan lebih dari 5 persen per tahun, dan permintaan akan makanan tumbuh lebih dari empat persen. Perubahan ini tidak bisa dihindari, karena adanya pertumbuhan ekonomi yang cukup cepat, urbanisasi, dan perubahan gaya hidup.

Masalah Gizi Buruk di Indonesia | Kitabisa.com

Laporan Keamanan Pangan PBB tahun 2017 yang lalu mengidentifikasi tiga faktor di balik meningkatnya kelaparan, yaitu konflik bersenjata, perubahan iklim, dan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Sampai tahun 2020 ini, ketiganya tetap berpengaruh dalam ketahanan pangan, nutrisi global, dan meningkatnya wasting pada anak, sehingga ketiganya harus kita cegah terjadi di Indonesia, terutama dampak resesi terkait pandemi COVID-19.

Sudahkah kita bertindak?

Sekian

Yogyakarta, 8 Desember 2020

*) Dokter spesialis anak di RS Panti Rapih, Lektor di FK UKDW Yogyakarta, dan Alumnus S3 UGM, WA: 081227280161

Categories
Healthy Life

2020 Kematian Anak karena COVID-19

Kematian Anak Akibat COVID-19 Tak Terelakkan | Asumsi

KEMATIAN  ANAK  KARENA  COVID-19

fx. wikan indrarto*)

Pandemi COVID-19 belum juga reda dan penyebaran virus corona masih sangat tinggi. Dengan tingkat kematian sekitar 11 ribu anak dan pernah mencapai 2,5 persen, Indonesia memegang rekor buruk tertinggi di Asia Pasifik. Di Amerika Serikat dengan kasus kematian tertinggi akibat COVID-19, angka kematian pasien terkait COVID-19 untuk warga di bawah 25 tahun adalah 0,15% (data diakses 2 Juli 2020) dan di China, angka kematian pada individu berusia 19 tahun ke bawah hanya 0,1%. Penyebab mortalitas pada anak Indonesia adalah pneumonia atau infeksi pernapasan akut, yang lebih tinggi dibandingkan India, Myanmar dan Pakistan. Apa yang menarik?

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2020/09/26/2020-kematian-anak-terkait-covid-19/

.

Pada awal September 2020 telah terjadi penurunan persentase mortalitas anak Indonesia. Jumlah kematian pasien COVID-19 sebanyak 7.505 orang, 145 (1,9%) di antaranya adalah anak dan remaja berusia kurang dari 18 tahun. Meskipun telah terjadi penurunan persentase, terdapat tiga hal yang menjadi pemicu masih tingginya angka kematian COVID-19 pada anak di Indonesia. 1. Tingkat pemeriksaan rendah 2. Banyak anak memiliki penyakit bawaan dan menderita gizi buruk 3. Penanganan yang terlambat. 

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2020/01/02/2020-menurunkan-angka-kematian-anak/

.

Pertama, tingkat pemeriksaan yang rendah menyebabkan diagnosis COVID-19 menjadi cenderung terlambat. Adanya beberapa kendala yang menghambat pemeriksaan COVID-19, khususnya dalam tracing (pelacakan) adalah adanya resistensi dari masyarakat akibat stigma negatif terhadap penderita COVID-19, termasuk anak. Bersikap jujur dan suportif kepada petugas kesehatan adalah sikap yang penting dalam mensukseskan tingkat pemeriksaan COVID-19, sebagai langkah awal tata laksana yang menyeluruh.

.

baca juga :https://dokterwikan.com/2019/01/17/2019-kematian-anak/

.

Kedua, tentang penyakit bawaan dan gizi buruk. Komorbid atau penyakit penyerta dan penyebab kematian pada anak yang terinfeksi COVID-19 berbeda dengan orang dewasa. Pada orang dewasa, komorbid yang memperparah COVID-19 di antaranya hipertensi, obesitas, diabetes, dan penyakit jantung. Penyebab utama kematian pada anak yang terinfeksi COVID-19 adalah murni karena infeksi virus itu sendiri. Hanya sebagian kecil, sekitar 15 persen, yang disebabkan oleh penyakit penyerta atau komorbiditas. Kondisi yang memperparah COVID-19 pada anak dan menyebabkan peningkatan kematian adalah penyakit jantung bawaan, cerebral palsy, tuberkulosis, dan malnutrisi. Kondisi atau penyakit ini umum dijumpai pada anak Indonesia.

.

Berita Kasus Kematian Anak Terbaru Hari Ini : Anak-anak Indonesia  Terperangkap dalam 'Lingkaran Setan' Saat Pandemi, Gizi Buruk Penyebab  Kematian Covid-19

Derajad kesehatan anak Indonesia belumlah baik. Prevalansi stunting atau kurang gizi kronis di Indonesia yang berkisar di angka 30 persen, juga angka kurang gizi dan malnutrisi parah sebesar 18 persen (data 2018). Malnutrisi pada kelompok anak yang terinfeksi COVID-19, tentu daya tubuh atau imunitas mereka kurang baik, sehingga meningkatkan risiko kematian. 

.

Ketiga, selama pandemi COVID-19, kebanyakan orangtua menjadi ketakutan untuk membawa anak ke rumah sakit. Namun, hal ini justru memperlambat penanganan bila anak ternyata terpapar virus corona dan meningkatkan risiko kematian. Untuk itu, orangtua disarankan segera membawa anak ke rumah sakit, bila anak demam dan memiliki kontak dengan pasien positif corona, atau rumah tinggal berada di zona merah.  Gejala klinis COVID-19 yang umum seperti demam, batuk, pilek, dan kehilangan kemampuan penciuman serta perasa, harus dikenali oleh orangtua dan anak segera dibawa ke dokter atau rumah sakit, demi mendapatkan penanganan lebih lanjut. Infeksi COVID-19 yang lambat ditangani berisiko membuat gejala semakin parah, dan menimbulkan infeksi serius seperti pneumonia dan sepsis.

.

Peran orangtua dan masyarakat untuk menurunkan angka kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortalitas) anak karena COVID-19 perlu terus menerus ditingkatkan, yaitu dengan 3 M. M yang pertama adalah memakai masker. Penelitian WHO menyimpulkan, bahwa penggunaan masker dan menjaga jarak dapat mengurangi risiko penularan COVID-19 hingga 85 persen. WHO merekomendasikan setiap orang untuk selalu memakai masker saat berada di luar rumah, sambil tetap menjaga jarak. Namun demikian, rekomendasi tersebut perlu dikritisi untuk bayi dan anak.

.

Bagi anak di atas dua tahun, orangtua sebaiknya memberikan masker kain tiga lapis yang sesuai dengan ukuran anak. Sebaliknya, untuk anak di bawah dua tahun, orangtua dianjurkan agar tidak memberikan masker, sebab bayi tidak tahu bagaimana mengungkapkan gejala sesak nafas atau kesulitan bernapas, pada saat penggunaan masker. Selain itu, penggunaan masker tentu semakin membuat si kecil sulit mendapatkan oksigen bebas. Jika terpaksa membawa bayi keluar rumah, misalnya untuk imunisasi, orangtua dianjurkan menggunakan penutup pada ‘stroler’, ‘face shield’, dan tetap menjaga jarak, meskipun belum ada aturan yang mengatur tentang ‘face shield’.

.

M yang kedua adalah menjaga jarak. Semampu mungkin anak harus beraktivitas dan bersekolah dari rumah. Kalau memang terpaksa harus sekolah secara langsung, harus dipastikan protokol kesehatannya wajib dijalankankan dengan baik, terutama dalam menjaga jarak aman lebih dari 1 meter antar teman.

M yang ketiga adalah mencuci tangan dengan air mengalir dan sabun. Orangtua dan keluarga haruslah mengajari, mendampingi dan selalu mengingatkan anak agar rajin cuci tangan secara benar.

Selain itu, untuk menjaga imunitas pada anak, anak harus mengonsumsi gizi yang seimbang, meliputi protein, lemak, karbohidrat, dan vitamin C. Vitamin C ini tidak harus dari suplemen, karena suplemen yang beredar di pasaran rata-rata dosis tinggi untuk dewasa, tetapi dapat diperoleh dari buah atau sayuran hijau. Buah itu tidak hanya jeruk, tetapi dapat kiwi, stroberi, pepaya. Orangtua juga diharapkan menyediakan menu makan yang penting untuk anak seperti daging hewani, hati sapi, dan hati ayam. Hati ayam banyak mengandung besi dan zinc yang bermanfaat untuk menjaga kekebalan tubuh. Selain itu, perlu tidur yang cukup, karena tidur dapat menjaga imunitas tubuh anak.

.

Sudahkah kita sebagai orangtua dan warga masyarakat bertindak bijak, dalam rangka menurunkan angka kematian anak karena COVID-19?

Sekian

Yogyakarta, 21 November 2020

*) Dokter spesialis anak di RS Panti Rapih, Lektor di FK UKDW Yogyakarta, Alumnus S3 UGM, Pengurus IDI Cabang Kota Yogyakarta dan IDI Wilayah DIY, WA : 081227280161

Categories
Healthy Life

2020 OBAT COVID-19

5 Hal Terkait Obat Covid-19 Baru Buatan Unair - News Liputan6.com

OBAT  COVID-19

fx. wikan indrarto*)

Telah dilakukan sebuah penelitian yang membandingkan efek beberapa jenis pengobatan untuk penyakit coronavirus 2019 (COVID-19). Penelitian yang dipimpin oleh Dr. Reed Siemieniuk dari McMaster University Canada, tersebut menggunakan sumber data dari database COVID-19 WHO dan sumber lain dalam berbagai bahasa yang komprehensif terkait COVID-19. Apa yang menarik?

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2020/07/10/2020-bukan-obat-covid-19/

.

Penelitian yang berjudul ‘Drug treatments for covid-19: living systematic review and network meta-analysis version’ dapat diakses pada link : https://www.who.int/publications/i/item/therapeutics-and-covid-19-living-guideline, yang diterbitkan pada 20 November 2020.

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2020/10/06/2020-ancaman-covid-19/

.

Meskipun upaya global untuk mengidentifikasi intervensi yang efektif untuk pencegahan dan pengobatan COVID-19, yang telah dihasilkan dari 2.400 uji klinis telah selesai atau sedang berlangsung, namun demikian bukti untuk pengobatan yang efektif masih terbatas. Para dokter di seluruh dunia sering kali terpaksa meresepkan obat di luar kemanfaatan utama (prescribing drugs off-label), yang hanya memiliki bukti dengan kualitas sangat rendah. Para dokter juga menghadapi tantangan, untuk menafsirkan hasil uji klinis yang sedang dilakukan atau telah dipublikasikan, pada tingkat yang belum pernah ditemukan sebelumnya. Dalam kondisi seperti ini perlu untuk menghasilkan ringkasan sementara, yang mampu untuk membedakan bukti yang dapat dipercaya dengan bukti lain yang kurang dapat dipercaya.

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2020/10/19/2020-covid-19-dan-anak/

.

Data diambil sampai Senin, 27 Oktober 2020, termasuk enam basis data penelitian berbahasa China. Dalam uji klinis yang menggunakan subyek pasien terduga (suspek) dan COVID-19 yang telah dikonfirmasi, kemudian diacak untuk dibedakan dalam kelompok pengobatan baru atau plasebo, dengan mendapatkan perawatan standar. Dalam meta-analisis dengan menggunakan modifikasi risiko Cochrane bias 2.0 dan kekuatan bukti klinis dinilai menggunakan ‘the grading of recommendations assessment, development and evaluation’ (GRADE). Untuk setiap hasil, intervensi medis diklasifikasikan dalam kelompok dari yang paling bermanfaat, hingga yang paling tidak menguntungkan atau berbahaya, mengikuti GRADE.

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2020/09/26/2020-kematian-anak-terkait-covid-19/

.

Dari 85 uji klinis yang dihimpun, terdapat 41.669 pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Dari 50 (58,8%) uji klinis diperoleh 25.081 (60,2%) pasien. Sebanyak 75 uji klinis terkontrol secara acak memenuhi syarat untuk dilakukan analisis pada 21 Oktober 2020, dan 43 (50,6%) uji klinis ini memenuhi ambang batas minimal untuk dianalisis. Dibandingkan dengan pengobatan standar, pemberian obat dexamethasone, sebuah kortikosteroid, mungkin mengurangi kematian (perbedaan risiko 17 lebih sedikit per 1.000 pasien dengan interval kepercayaan 95%), menurunkan penggunaan alat ventilasi mekanis (29 lebih sedikit per 1.000 pasien), dan memotong hari bebas dari bantuan alat bantu napas mekanis (2,6 lebih sedikit).

.

Dampak penggunaan obat antivirus remdesivir pada tingkat kematian, penggunaan alat ventilasi mekanis, lama rawat inap, dan durasi gejala klinis adalah tidak pasti (uncertain) lebih baik. Namun demikian, sedikit meningkatkan (it probably does not substantially increase) efek samping obat yang berat, yang menyebabkan penghentian obat. Obat lainnya, seperti Azitromisin, hydroxychloroquine, lopinavir dan ritonavir, interferon beta, dan tocilizumab, semuanya mungkin tidak mengurangi risiko kematian atau berpengaruh pada hasil klinis yang penting lainnya. Efek buruk untuk semua intervensi lainnya rendah atau sangat rendah.

.

Obat corona: Klaim temuan 'kombinasi obat' Covid-19, berapa lama penelitian  harus dilakukan sebelum obat dinyatakan aman dan efektif? - BBC News  Indonesia

.

Obat dexamethasone mengurangi mortalitas dan penggunaan alat ventilasi mekanis pada pasien COVID-19, dibandingkan dengan pengobatan standar. Namun demikian, obat lainnya, yaitu azitromisin, hydroxychloroquine, interferon beta, dan tocilizumab mungkin tidak mampu mengurangi keduanya (may not reduce either). Sedangkan manfaat obat anti virus remdesivir untuk memberi atau tidak manfaat penting bagi pasien, tetaplah tidak pasti (remains uncertain).

.

“Dexamethasone adalah pengobatan pertama yang menunjukkan manfaat untuk mengurangi angka kematian pada pasien dengan COVID-19 yang membutuhkan dukungan oksigen atau ventilator,” kata Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal WHO. Dexamethasone pertama kali dibuat pada 1957 dan telah digunakan di Inggris pada awal 1960an. Karena obat ini sudah lama ada, maka tidak ada lagi hak patennya. Dexamethasone adalah salah satu jenis steroid, yaitu obat untuk mengurangi peradangan dengan meniru hormon anti-inflamasi yang diproduksi oleh tubuh.

.

Dexamethasone ini bekerja untuk meredam sistem imun tubuh. Infeksi virus corona memicu inflamasi saat tubuh mencoba melawan virus. Inflamasi adalah peradangan efek dari mekanisme tubuh dalam melindungi diri dari infeksi mikroorganisme asing, seperti virus, bakteri, dan jamur. Namun demikian, terkadang sistem imun bekerja berlebihan dan reaksi dapat berbahaya, karena reaksi yang semestinya dirancang untuk menyerang penyebab infeksi, pada akhirnya juga menyerang sel-sel tubuh normal, sebagaimana diduga terjadi pada pasien COVID-19.

.

Sudahkah kita bijak menggunakan obat dexamethason dan menghindari penggunaan obat azitromisin, hydroxychloroquine, interferon beta, dan tocilizumab, pada saat pandemi COVID-19 ini?

Sekian

Yogyakarta, 27 November 2020

*) Dokter spesialis anak di RS Panti Rapih Yogyakarta, Alumnus S3 UGM, WA: 081227280161