TANTANGAN JKN
fx. wikan indrarto*)
Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sudah berjalan 5 tahun. Namun demikian, tantangannya tidak juga terurai, baik dalam aspek kebijakan ataupun praktis di lapangan. Apa saja yang perlu dicermati?
.
baca juga : https://dokterwikan.wordpress.com/2018/11/14/2018-tarif-tunggal-jkn/
.
Berdasarkan hasil audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tahun 2018, defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp. 19,41 triliun. Kemudian pemerintah menyuntikkan bantuan keuangan senilai Rp. 10,29 triliun, sehingga posisi defisit atau gagal bayar menyusut menjadi Rp. 9,1 triliun. Defisit diprediksi akan lebih besar di tahun 2019 ini yakni hingga Rp. 28 triliun, berdasarkan hitungan selisih iuran yang diterima dan pelayanan kesehatan yang dibayarkan. Kondisi ini sudah membahayakan secara finansial, untuk keberlanjutan program JKN dan perlu dicarikan solusi komprehensif segera.
.
baca juga : https://dokterwikan.wordpress.com/2019/02/04/2019-dengue-dalam-era-jkn/
.
Pada hari Selasa, 30 Juli 2019 Wakil Presiden Jusuf Kalla di Kantor Wakil Presiden, di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, menjelaskan bahwa pemerintah telah sepakat untuk menaikkan premi atau iuran BPJS Kesehatan. Hal ini merupakan upaya dari pemerintah untuk menekan defisit JKN yang terjadi beberapa tahun belakangan. Presiden Joko Widodo juga telah mengintruksikan untuk meningkatkan perbaikan manajemen dan sistem kontrol di tubuh BPJS Kesehatan, bahkan akan mendesentralisasi BPJS Kesehatan. Dengan kata lain BPJS Kesehatan itu akan diotonomkan ke daerah, sama dengan sistem pemerintahan, karena tidak mungkin suatu instansi akan mampu mengontrol 200 juta lebih anggotanya. Kedua mekanisme tersebut melengkapi berbagai langkah lain, yang diprediksi akan mampu memperkecil terjadinya defisit.
.
baca juga : https://dokterwikan.wordpress.com/2018/10/19/2018-batuk-pada-anak-dalam-era-jkn-2/
.
Sebagian RS sudah berhutang ke bank, karena klaim belum juga cair. Dalam hal ini RS menggunakan mekanisme SCF (Supply Chain Finance), yaitu skema yang melibatkan 3 pihak, RS, BPJS Kesehatan, dan perbankan. Pada hal, BPJS Kesehatan sebenarnya mampu membayar klaim RS sampai sebesar Rp. 11 triliun, karena telah terbit PMK Nomor 33 Tahun 2019. PMK itu berisi tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan dan Pertanggungjawaban Dana Iuran Jaminan Kesehatan Penerima Bantuan Iuran (PBI), sehingga memberikan kepastian likuiditas bagi BPJS Kesehatan, karena pada prinsipnya memungkinkan pemerintah membayar iuran lebih cepat untuk tagihan 5 bulan ke depan, bagi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI).
.
baca juga : https://dokterwikan.wordpress.com/2018/10/01/2018-rujukan-jkn-on-line/
.
Para dokter di fasilitas kesehatan sering dituduh melakukan fraud dan diaudit secara berulang, yaitu melakukan 12 jenis penyimpangan dalam pelayanan kesehatan menurut PMK No. 36 Tahun 2015. Padahal sebenarnya fraud juga dapat dilakukan oleh peserta JKN, BPJS Kesehatan, Kemkes dan pemerintah, tetapi rasanya tidak perlu dilakukan audit. Fraud oleh BPJS Kesehatan yang seharusnya diaudit dan dicegah adalah tindakan memperlambat proses verifikasi, memperlambat pembayaran klaim, tidak membayar klaim, membayar tidak sesuai tarif INA-CBG, membayar klaim tidak sesuai hak kartu peserta, mengganti kode diagnosis yang sudah benar, penunjukkan Faskes yang tidak layak, atau mengubah harga yang tidak sesuai e katalog. Fraud yang seharusnya juga diaudit dan dicegah karena dilakukan oleh supplier Farmasi dan Alkes, dapat berupa tidak mengirimkan pesanan obat sesuai kebutuhan pasien JKN atau mengubah harga, sehingga tidak sesuai e katalog. Bahkan fraud dapat juga dilakukan oleh peserta JKN, misalnya dengan cara tidak membayar urun biaya saat naik kelas perawatan. Oleh sebab itu, audit BPKP dan kejaksaan juga seharusnya ditujukan untuk melihat dugaan fraud yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan, setara dengan proses audit yang telah sering dilakukan pada para dokter dan RS.
.
baca juga : https://dokterwikan.wordpress.com/2018/09/24/1819/
.
Rumitnya klaim oleh RS untuk kasus pertolongan persalinan, juga perlu dicermati. Sesuai PMK no Hk.02.02/Menkes/514/2015 tentang Panduan Praktek Klinis Bagi Dokter di FKTP, bahwa Asuhan Persalinan Normal dilakukan secara mandiri dan tuntas. Selain itu, sesuai Peraturan Presiden RI nomer 82 tahun 2018 tentang JKN pasal 52 ayat 1 dan 2, bahwa pelayanan kesehatan yang tidak dijamin, termasuk rujukan atas permintaan sendiri. Namun demikian, ketentuan bahwa persalinan normal tanpa penyulit tidak dapat dijamin di RS atau FKRTL, melainkan harus di FKTP tidak semudah yang dibayangkan. Hal ini disebabkan karena definisi persalinan tanpa penyulit adalah kondisi yang bersifat prospektif, yang artinya baru dapat disimpulkan sebagai normal setelah proses persalinananya selesai.
.
baca juga : https://dokterwikan.wordpress.com/2018/09/06/2018-medikolegal-jkn/
.
Meskipun ada ketentuan bahwa jika pesertra JKN yang datang ke RS tanpa melalui regulasi, maka tidak dapat dilakukan penjaminan, tetapi jalan keluar berupa aturan bahwa peserta JKN dapat menandatangani ‘informed consent’ sebagai pasien umum, tidaklah jalan keluar ideal. Sebaiknya layanan persalinan normal dijamin oleh program Jampersal (Jaminan Persalinan). Terdapat 4 sasaran subyek dalam pelaksanaan Jampersal, yakni: ibu hamil, ibu bersalin dan ibu nifas yang belum memiliki jaminan pembiayaan persalinan (pasca melahirkan sampai 42 hari) serta bayi baru lahir (0-28 hari).
.
baca juga : https://dokterwikan.wordpress.com/2018/09/06/2018-etika-biomedis-jkn/
.
Selain itu, para dokter yang tergabung di dalam IDI dan POGI (Persatuan Obstetri dan Ginekologi Indonesia) seharusnya secara cepat melakukan kajian ilmiah. Panduan Praktek Klinik (PPK) yang bersifat nasional dan praktis sebaiknya segera dirumuskan, agar para dokter dan bidan di FKTP dapat melakukan layanan persalinan normal secara tuntas dan tidak melakukan rujukan maternal yang terlambat. Persalinan normal serupa dengan kasus Dengue (DBD), yaitu bersifat prospektif dan kasus kematian pasien wajib dilakukan audit kematian secara rutin. Namun demikian, kasus Dengue yang juga wajib tuntas di FKTP, relatif sudah lebih tertata dan rujukan kasus ke RS yang tidak perlu, juga sudah dapat dikendalikan.
.
Tantangan dalam aspek kebijakan ataupun praktis di lapangan dalam program JKN, memerlukan pemikiran konstruktif dari segenap pihak. Dengan demikian, keberlanjutan program JKN yang bermanfaat bagi segenap warga Indonesia dapat terus diperbaiki.
Sudahkah Anda memberikan sumbang saran?
Sekian
Yogyakarta, 31 Juli 2019
*) Dokter spesialis anak di RS Panti Rapih, Lektor di FK UKDW Yogyakarta, dan Alumnus S3 UGM, WA: 081227280161