Categories
anak antibiotika COVID-19 dokter Healthy Life HIV-AIDS Malaria UHC

2023 Hari Kesehatan Dunia

12 Ucapan Hari Kesehatan Sedunia 7 April 2023 dalam Bahasa Inggris dan  Artinya: Happy World Health Day

HARI  KESEHATAN  DUNIA  2023

fx. wikan indrarto

Ringkasan tulisan ini telah dimuat di harian nasional Kompas digital Jumat, 7 April 2023 pada link :

https://www.kompas.id/baca/opini/2023/04/05/fokus-ke-layanan-kesehatan-primer

Pada Jumat, 7 April 2023 diperingati sebagai Hari Kesehatan Dunia, bertepatan dengan hari jadi WHO yang ke-75. Apa yang menarik?

.

Pada tahun 1948 didirikan WHO untuk mempromosikan kesehatan, menjaga keamanan dunia, dan melayani warga yang rentan. Peringatan 75 tahun WHO dengan tema ‘Health For All’ memiliki visi bahwa semua orang akan memiliki derajat kesehatan yang baik dan tinggal di dunia yang damai, sejahtera, dan berkelanjutan. Hak atas kesehatan adalah hak dasar manusia, sehingga setiap orang harus memiliki akses ke layanan kesehatan yang mereka butuhkan kapan dan di mana mereka membutuhkannya, tanpa kesulitan keuangan, yang disebut cakupan kesehatan semesata atau  ‘Universal Health Coverage’ (UHC).

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2021/01/04/2020-uhc/

.

Saat ini masih ada sekitar 30% dari populasi global tidak dapat mengakses layanan kesehatan esensial. Hampir dua miliar orang menghadapi bencana keuangan atau pengeluaran untuk kesehatan yang memiskinkan, dengan ketidaksetaraan yang signifikan mempengaruhi mereka yang berada di lingkungan yang paling rentan.

Untuk mewujudkan kesehatan untuk semua, dunia membutuhkan akses ke layanan kesehatan berkualitas tinggi, agar setiap orang dapat menjaga kesehatan mereka sendiri dan keluarga mereka. Selain itu, juga dokter dan tenaga kesehatan terampil, yang memberikan layanan medis berkualitas dan berpusat pada orang, serta pembuat kebijakan yang berkomitmen untuk berinvestasi dalam UHC. Bukti menunjukkan bahwa sistem kesehatan yang didukung oleh pendekatan layanan kesehatan primer (PHC) adalah cara yang paling efektif dan hemat biaya untuk mendekatkan layanan kesehatan dan kesejahteraan kepada masyarakat.

.

Hari Kesehatan Sedunia 2023, Memperingati 75 Tahun WHO dan Mendorong  Kesehatan untuk Semua - Media Priangan

Namun demikian, pandemi COVID-19 memundurkan kemajuan setiap negara menuju #HealthForAll. Pandemi COVID-19 dan keadaan darurat kesehatan lainnya, krisis kemanusiaan dan iklim yang tumpang tindih, kendala ekonomi, dan perang, telah membuat perjalanan setiap negara menuju #HealthForAll menjadi lebih mendesak. Sekaranglah waktunya bagi para pemimpin untuk mengambil tindakan dalam memenuhi komitmen cakupan kesehatan universal mereka dan bagi masyarakat sipil untuk meminta pertanggungjawaban para pemimpin. 

.

Kemajuan perlu dipercepat jika SDG terkait kesehatan ingin dipenuhi. Tuntut hak Anda untuk mengakses layanan kesehatan yang Anda butuhkan tanpa mengalami kesulitan keuangan!

Pencapaian global adalah indeks cakupan layanan UHC (indikator SDG 3.8.1) meningkat dari 45 pada tahun 2000 menjadi 67 pada tahun 2019. Namun demikian, masih ada hampir 2 miliar orang menghadapi bencana keuangan atau pengeluaran kesehatan yang memiskinkan (indikator SDG 3.8.2). Pada hal pandemi COVID-19 semakin mengganggu layanan medis esensial di 92% negara. Untuk membangun kembali sistem kesehatan dengan lebih baik, rekomendasi WHO adalah memfokuskan kembali sistem kesehatan kepada layanan kesehatan primer atau Primary Health Care (PHC). Sebagian besar (90%) dari intervensi UHC esensial dapat diberikan melalui PHC dan 75% proyeksi peningkatan luaran kesehatan dari SDGs dapat dicapai melalui PHC.

.

Program Kerja Umum Ketigabelas WHO bertujuan agar 1 miliar lebih banyak orang mendapat manfaat dari UHC pada tahun 2025, sekaligus berkontribusi pada target 1 miliar lebih banyak orang terlindungi dengan lebih baik dari keadaan darurat kesehatan dan 1 miliar lebih banyak orang menikmati kesehatan dan kesejahteraan yang lebih baik.

.

Selama pandemi COVID-19, sekitar 92% negara melaporkan gangguan pada layanan medis esensial. Sekitar 25 juta anak balita tidak mendapat imunisasi rutin. Terdapat kesenjangan yang mencolok dalam akses ke vaksin COVID-19, dengan rata-rata hanya 24% populasi yang divaksinasi di negara berpenghasilan rendah dibandingkan dengan 72% di negara berpenghasilan tinggi. Intervensi perawatan darurat, kritis, dan operatif yang berpotensi menyelamatkan jiwa juga menunjukkan peningkatan gangguan layanan, yang kemungkinan menghasilkan dampak jangka pendek yang signifikan pada luaran bidang kesehatan.

.

Sekitar 930 juta orang di seluruh dunia berisiko jatuh miskin karena pengeluaran sektor kesehatan sebesar 10% atau lebih dari anggaran rumah tangga mereka. Meningkatkan intervensi layanan kesehatan primer (PHC) di negara berpenghasilan rendah dan menengah dapat menyelamatkan 60 juta nyawa dan meningkatkan harapan hidup rata-rata sebesar 3,7 tahun pada tahun 2030. Pencapaian target PHC membutuhkan tambahan investasi sekitar US$ 200-370 miliar per tahun untuk paket layanan kesehatan yang lebih komprehensif. WHO merekomendasikan agar setiap negara mengalokasikan atau merealokasi tambahan 1% dari PDB ke PHC dari sumber pendanaan pemerintah.

.

PHC memerlukan tiga komponen yang saling terkait dan sinergis, termasuk: pelayanan kesehatan terpadu yang komprehensif yang mencakup layanan medis primer, kebijakan dan tindakan multisektoral untuk mengatasi faktor penentu derajat kesehatan di sektor hulu, dan melibatkan atau memberdayakan individu, keluarga, dan masyarakat, dalam meningkatkan partisipasi sosial dan kemandirian dalam kesehatan.

.

Agar UHC menjadi benar-benar tercapai, diperlukan pergeseran fokus dari sistem kesehatan yang dirancang untuk mengatasi penyakit dan pembentukan institusi, menuju sistem kesehatan yang dirancang untuk melayani manusia. PHC mengharuskan pemerintah di semua tingkatan untuk bertindak dengan pendekatan secara menyeluruh, termasuk aspek kesehatan dalam semua kebijakan yang dikeluarkan, fokus yang kuat pada pemerataan dan intervensi kesehatan yang mencakup seluruh kehidupan manusia.

.

PHC menangani faktor risiko gangguan kesehatan yang luas dan berfokus pada aspek kesehatan dan kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang komprehensif dan saling terkait, tidak hanya untuk penanganan serangkaian penyakit tertentu. Layanan kesehatan primer memastikan setiap orang akan menerima layanan komprehensif yang berkualitas, mulai dari promtif (anjuran) dan preventif (pencegahan), sampai dengan kuratif (pengobatan), rehabilitatif (pemulihan) dan perawatan paliatif, sedekat mungkin dengan lingkungan sehari-hari masyarakat. PHC adalah pendekatan yang paling inklusif, adil, hemat biaya, dan efisien untuk meningkatkan kesehatan fisik dan mental masyarakat, serta kesejahteraan sosial. Bukti dampak luas dari investasi di PHC terus berkembang di seluruh dunia, terutama di saat krisis seperti pandemi COVID-19.

.

Di seluruh dunia, investasi di PHC meningkatkan pemerataan dan akses, kinerja perawatan kesehatan, akuntabilitas sistem kesehatan, dan hasil kesehatan. PHC juga penting untuk membuat sistem kesehatan lebih tahan terhadap situasi krisis, lebih proaktif dalam mendeteksi tanda-tanda awal epidemi dan lebih siap menghadapinya. Meskipun bukti masih berkembang, terdapat pengakuan luas bahwa PHC adalah “pintu depan” sistem kesehatan dan memberikan landasan untuk penguatan fungsi kesehatan masyarakat yang esensial untuk menghadapi krisis kesehatan masyarakat seperti COVID-19.

.

Momentum Hari Kesehatan Dunia, Jumat, 7 April 2023 yang bertepatan dengan hari jadi WHO yang ke-75, mengingatkan kita semua untuk mencapai UHC melalui PHC, yaitu cara yang paling efektif dan hemat biaya untuk mendekatkan layanan kesehatan dan kesejahteraan kepada masyarakat, sesuai dengan visi ‘Health For All’. 

Apakah kita sudah bertindak bijak?

Sekian

Yogyakarta, 3 April 2022

*) Dokter spesialis anak di RS Panti Rapih, Lektor FK UKDW Yogyakarta, Alumnus S3 UGM.

Categories
anak antibiotika COVID-19 dokter Healthy Life Malaria resisten obat UHC vaksinasi

2022 Pencegahan Malaria

Kemenkes Imbau Waspadai Malaria di Tengah Pandemi Covid-19 -

PENCEGAHAN  MALARIA  TERBARU

fx. wikan indrarto*)

Jumat, 3 Juni 2022 diterbitkan rekomendasi WHO yang telah diperbarui untuk pencegahan atau kemoprevensi malaria pada anak dan ibu hamil. Terdapat 3 rekomendasi pencegahan (kemoprevensi) malaria utama, yaitu musiman, perenial pada bayi dan intermiten pada kehamilan. Apa yang baru?

.

Kemoterapi preventif adalah penggunaan obat, baik tunggal atau dalam kombinasi, untuk mencegah infeksi malaria dan komplikasinya. Pemberian obat antimalaria ditujukan untuk populasi yang rentan, yaitu bayi, anak balita dan ibu hamil, pada periode waktu dengan risiko terinfeksi malaria terbesar, terlepas dari status infeksinya. Kemoterapi preventif termasuk pengobatan pencegahan intermiten pada bayi, anak sekolah dan wanita hamil, kemoprevensi malaria musiman, kemoprevensi malaria pasca pulang dari daerah endemis dan pemberian obat massal.

.

Di beberapa daerah, malaria sangat musiman, dengan sebagian besar kasus terjadi dalam waktu singkat selama musim hujan. Kemoprevensi malaria musiman dirancang untuk melindungi anak dari infeksi yang ada dan mencegah infeksi malaria selama musim tersebut. Hal ini dicapai melalui pemberian obat antimalaria setiap bulan, biasanya kombinasi sulfadoksin pirimetamin plus amodiakuin (SP+AQ), selama musim hujan berlangsung.

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2019/05/03/2019-vaksin-malaria/

.

Rekomendasi WHO yang diperbarui tentang kemoprevensi malaria musiman berbeda dari rekomendasi awal 2012 setidaknya dalam 2 hal yang signifikan, yaitu batas geografis dan dosis. Tidak ada lagi batasan geografis penggunaan hanya di subkawasan Sahel di Afrika. Sebelumnya tidak direkomendasikan kemoprevensi malaria musiman di luar Sahel, meski dengan penularan malaria musiman yang tinggi, seperti di Afrika bagian selatan, karena tingkat resistensi yang tinggi terhadap obat-obatan (SP dan AQ) di daerah tersebut. Rekomendasi yang diperbarui menyebutkan bahwa di bagian lain Afrika dengan variasi musiman yang tinggi dalam beban malaria, juga dapat memperoleh manfaat kemoprevensi malaria musiman, dan bahwa ketersediaan obat baru dapat menjadikannya intervensi yang layak.

.

Kemenkes Ingatkan Waspada Malaria di Tengah Pandemi Covid-19

Rekomendasi awal menyatakan bahwa maksimal 4 dosis obat kemoprevensi malaria musiman harus diberikan selama musim hujan dalam penularan malaria yang tinggi. Panduan yang diperbarui menyatakan bahwa kemoprevensi malaria musiman harus diberikan selama musim puncak penularan malaria, tanpa menentukan jumlah siklus bulanan yang spesifik. Sementara rekomendasi lama membatasi penggunaan untuk anak balita, rekomendasi baru merekomendasikan intervensi ini untuk semua anak dengan risiko tinggi malaria berat, yang dapat meluas ke anak yang lebih tua di beberapa lokasi.

.

Di beberapa negara lainnya, malaria adalah penyakit sepanjang tahun, dan penularannya stabil tinggi. WHO telah merekomendasikan penggunaan pengobatan pencegahan intermiten pada bayi, sekarang disebut kemoprevensi malaria perenial di beberapa negara ini sejak 2010. Rekomendasi yang diperbarui berbeda dari rekomendasi 2010 setidaknya dalam 2 hal penting, yaitu dosis sesuai usia dan interval pemberian. Rekomendasi awal menyatakan bahwa tiga dosis obat SP harus diberikan hanya pada bayi usia 2, 3 dan 9 bulan melalui program imunisasi rutin, bersamaan dengan dosis ke-2 dan ke-3 vaksin DPT/Penta dan campak. Rekomendasi baru menghapus spesifikasi ketat ini untuk jumlah dosis, serta usia di mana mereka harus diberikan. Ini juga memperluas kelompok usia target untuk memasukkan anak berusia lebih dari 1 tahun di tempat di mana beban penyakit parah tinggi.

.

Rekomendasi terbaru adalah pengobatan pencegahan malaria intermiten selama kehamilan. Infeksi malaria selama kehamilan menimbulkan risiko besar tidak hanya untuk ibu, tetapi juga untuk janin dan bayi yang baru lahir. Bukti yang tersedia terus menunjukkan bahwa pengobatan pencegahan intermiten selama kehamilan dengan SP adalah strategi yang aman dan sangat hemat biaya untuk mengurangi beban penyakit pada kehamilan, serta hasil kehamilan dan kelahiran yang merugikan.

.

Rekomendasi terbaru tentang kemoprevensi malaria selama kehamilan berbeda dari rekomendasi awal 2012 setidaknya dalam 2 hal penting, yaitu prosedur pemberian dan usia kehamilan. Rekomendasi yang diperbarui tidak membatasi prosedur pemberian SP pada ibu hamil hanya pada saat kontrol heamilan (ANC) saja, oleh karena ada ketidakadilan dalam akses ke layanan ANC, sehingga metode pemberian lainnya, seperti melalui kader kesehatan di masyarakat, dapat diijinkan. Di daerah endemis malaria, kemoprevensi malaria selama kehamilan sekarang direkomendasikan untuk semua wanita hamil, berapapun jumlah paritas atau kehamilannya. Sebelumnya, direkomendasikan hanya pada ibu dengan kehamilan pertama dan kedua saja.

.

Jumlah kasus malaria di Indonesia pada tahun 2021 sebesar 304.607 kasus, jumlah ini menurun jika dibandingkan jumlah kasus pada tahun 2009, yaitu sebesar 418.439. Angka kasus kesakitan malaria, yang dinyatakan dengan indikator Annual Paracite Incidence (API) sebesar 1,1 kasus per 1000 penduduk. Sampai dengan tahun 2021, sebanyak 347 dari 514 kabupaten/kota atau 68% sudah dinyatakan mencapai eliminasi.

.

Penggunaan panduan terbaru kemoprevensi malaria musiman, perenial pada bayi dan intermiten selama kehamilan menggunakan obat kombinasi sulfadoksin pirimetamin plus amodiakuin (SP+AQ) untuk pencegahan malaria seharusnya dilakukan tanpa kendor, termasuk di Indonesia.

Sudahkah kita bijak?

Sekian

Yogyakarta, 18 Juni 2022

*) Dokter spesialis anak RS Panti Rapih, Lektor di FK UKDW Yogyakarta, Alumnus S3 UGM, WA : 081227280161

Categories
anak antibiotika COVID-19 dokter Healthy Life Malaria resisten obat tuberkulosis vaksinasi

2021 Waspada Resistensi Antimikroba

Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA) – HISFARSI DIY

WASPADA   RESISTENSI  ANTIMIKROBA

fx. wikan indrarto*)

Ringkasan tulisan tersebut di atas dimuat di Kompas Digital Jumat, 26 November 2021 :

https://www.kompas.id/baca/opini/2021/11/26/waspada-resistensi-antimikroba

Pekan Kesadaran Antimikroba Sedunia diadakan pada 18-24 November setiap tahun. Tema 2021 adalah ‘Spread Awareness, Stop Resistance’ (Sebarkan Kewaspadaan, Hentikan Resistensi) untuk menyerukan kepada pemangku kepentingan, pembuat kebijakan, penyedia layanan kesehatan, dan masyarakat umum, untuk terlibat dalam kewaspadaan tentang Resistensi Antimikroba (AMR). Apa yang menarik?

.

Resistensi antimikroba (AMR) adalah ancaman kesehatan dan pembangunan global. Hal ini membutuhkan tindakan multisektoral yang mendesak untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), karena AMR adalah salah satu dari 10 besar ancaman kesehatan masyarakat global yang dihadapi umat manusia. Antimikroba meliputi antibiotik, antivirus, antijamur, dan antiparasit, yaitu obat yang digunakan untuk mencegah dan mengobati infeksi pada manusia, hewan, dan tumbuhan.

.

Pada tahun 2019, indikator AMR baru dimasukkan dalam kerangka pemantauan SDG. Indikator ini memantau frekuensi infeksi darah atau sepsis, yang disebabkan karena dua patogen yang telah resistan terhadap obat tertentu, yaitu Staphylococcus aureus (MRSA) yang resistan terhadap methicillin dan E. coli resisten terhadap sefalosporin generasi ketiga (3GC). Pada tahun 2019, terdapat 25 negara memberikan data tentang infeksi aliran darah atau sepsis akibat MRSA dan 49 negara memberikan data tentang E. coli. Dengan demikian tingkat rata-rata MRSA adalah 12,11% dan 3GC adalah 36,0%.

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2021/09/25/2021-libas-tifus/

.

Strain Mycobacterium tuberculosis penyebab TBC yang resisten terhadap antibiotik mengancam kemajuan dalam mengatasi epidemi tuberkulosis global. Pada tahun 2018, ada sekitar setengah juta kasus baru TB yang resistan terhadap rifampisin (RR-TB), obat TB paling poten saat ini dan sebagian besar menjadi TB yang resistan terhadap berbagai obat (MDR-TB), suatu bentuk tuberkulosis yang resisten terhadap dua obat anti-TB yang paling kuat. Pada hal, hanya sepertiga dari sekitar setengah juta orang MDR/RR-TB pada tahun 2018 yang terdeteksi dan dilaporkan. MDR-TB memerlukan paket pengobatan yang lebih lama, kurang efektif dan jauh lebih mahal dibandingkan dengan TB yang tidak resistan. Selain itu, hanya kurang dari 60% MDR/RR-TB yang berhasil disembuhkan. Pada tahun 2018, diperkirakan 3,4% kasus TB baru dan 18% dari kasus yang sebelumnya diobati berubah menjadi TB-MDR/RR-TB dan munculnya resistensi terhadap obat TB ‘pilihan terakhir’ baru benar-benar merupakan ancaman besar.

.

Hati-hati! Sebelum Terapi Antibiotik, Pahami Dulu Tentang Resistensi  Antibiotik

Resistensi obat antivirus semakin mencemaskan, karena telah terjadi pada sebagian besar antivirus, termasuk obat antiretroviral (ARV) untuk HIV. Semua ARV, termasuk kelas yang lebih baru, berisiko menjadi sebagian atau seluruhnya tidak aktif karena munculnya HIV yang resistan terhadap obat (HIVDR). Pedoman ARV WHO terbaru sekarang merekomendasikan obat baru, dolutegravir, sebagai pengobatan lini pertama untuk orang dewasa dan anak. Munculnya jenis parasit yang resistan terhadap obat merupakan salah satu ancaman terbesar terhadap pengendalian malaria dan mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas malaria. Terapi kombinasi berbasis artemisinin (ACT) adalah pengobatan lini pertama yang direkomendasikan untuk malaria P. falciparum tanpa komplikasi, dan digunakan oleh sebagian besar negara endemik malaria. Prevalensi infeksi jamur yang resistan terhadap obat meningkat dan memperburuk situasi pengobatan yang sudah sulit. Banyak infeksi jamur memiliki masalah saat diobati seperti toksisitas, terutama untuk pasien dengan infeksi lain yang mendasarinya (misalnya HIV). Candida auris yang resistan terhadap obat, salah satu infeksi jamur invasif yang paling umum, sudah tersebar luas dengan meningkatnya resistensi yang dilaporkan terhadap flukonazol, amfoterisin B dan vorikonazol serta resistensi caspofungin yang muncul. Hal ini menyebabkan lebih sulit untuk mengobati infeksi jamur, kegagalan pengobatan, tinggal di rumah sakit lebih lama dan pilihan pengobatan yang jauh lebih mahal.

.

AMR merupakan masalah kompleks yang membutuhkan pendekatan multisektoral yang terpadu. Pendekatan ‘One Health’ menyatukan berbagai sektor dan pemangku kepentingan yang terlibat dalam kesehatan hewan, tumbuhan, dan manusia, baik yang hidup di darat dan air, juga produksi makanan, pakan hewan dan lingkungan. Diharapkan setiap negara akan mengembangkan rencana aksi nasional mereka sendiri, untuk mengatasi resistensi antibiotik sejalan dengan rencana global. Untuk mencapai tujuan ini, rencana aksi global menetapkan lima tujuan strategis: (1) meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang resistensi antibiotik; (2) memperkuat pengetahuan melalui surveilans dan penelitian; (3) mengurangi kejadian infeksi; (4) mengoptimalkan penggunaan obat antibiotik; dan (5) memastikan investasi berkelanjutan dalam melawan resistensi antibiotik.

.

Para dokter, apoteker dan petugas kesehatan lainnya dapat berperan dengan mencegah infeksi dengan memastikan tangan, instrumen medis dan lingkungan RS bersih, memberikan vaksinasi terbaru kepada pasien (up to date), ketika terjadi dugaan infeksi bakteri, melakukan kultur bakteri dan pemeriksaan penunjang medik lainnya untuk konfirmasi, hanya meresepkan dan mengeluarkan antibiotika ketika benar-benar dibutuhkan, pada dosis dan durasi pengobatan yang tepat. Para pejabat dan pembuat kebijakan kesehatan dapat bertindak dengan menyusun rencana aksi regional atau nasional yang kuat untuk mengatasi resistensi antibiotika, meningkatkan pengawasan infeksi bakteri yang telah resisten terhadap antibiotika, memperkuat langkah-langkah pencegahan dan pengendalian infeksi, juga mengatur dan mempromosikan penggunaan  obat antibiotika yang tepat dan berkualitas. Selain itu, juga membuat informasi tentang dampak resistensi antibiotika dan memberikan apresiasi atas pengembangan obat, vaksin serta alat diagnostik yang baru.

Resistensi Antibiotik, Kelak Infeksi Bakteri Pun Bisa Jadi Penyebab  Kematian Halaman 1 - Kompasiana.com
.

Para petugas sektor pertanian dapat bertindak dengan memberikan antibiotika pada hewan, hanya saat digunakan untuk mengobati penyakit menular dan di bawah pengawasan seorang dokter hewan, vaksinasi hewan untuk mengurangi kebutuhan antibiotika dan mengembangkan alternatif tindakan, selain penggunaan antibiotika pada tanaman yang terinfeksi. Selain itu, mempromosikan dan menerapkan praktek yang baik di semua tahap produksi ataupun pengolahan makanan dari sumber hewan dan tumbuhan, mengadopsi sistem yang berkelanjutan dengan meningkatkan kebersihan, biosecurity dan penanganan hewan bebas infeksi, melaksanakan standar internasional untuk penggunaan antibiotika yang bertanggung jawab, yang ditetapkan oleh OIE, FAO dan WHO. Para pelaku industri bidang kesehatan dapat membantu dengan berinvestasi untuk pengembangan antibiotika, vaksin, dan alat diagnostik baru.

.

Momentum Pekan Kewaspadaan Antibiotik Sedunia (World Antibiotic Awareness Week) pada 18–24 November 2021, mengingatkan kita semua bahwa ‘Spread Awareness, Stop Resistance’ (sebarkan Kewaspadaan, Hentikan Resistensi) tergantung pada niat dan usaha kita bersama.

Sudahkah kita menyadari?

Sekian

Yogyakarta, 16 November 2021

*) Dokter spesialis anak RS Panti Rapih, Lektor di FK UKDW Yogyakarta, Alumnus S3 UGM, WA : 081227280161

Categories
Healthy Life Malaria UHC vaksinasi

2021 Bebas Malaria

2018 MM Bebas Malaria – Berita Terbaru, Akurat & Terpercaya

BEBAS  MALARIA

fx. wikan indrarto*)

Kamis, 25 Februari 2021 El Salvador disertifikasi bebas malaria oleh WHO. El Salvador adalah negara ketiga yang telah mencapai status bebas malaria dalam beberapa tahun terakhir di Amerika, setelah Argentina pada 2019 dan Paraguay pada 2018. Tujuh negara di wilayah tersebut telah disertifikasi dari tahun 1962 hingga 1973. Secara global, terdapat total 38 negara dan wilayah telah mencapai pencapaian ini, dengan Indonesia ditargetkan akan mencapainya tahun 2030 kelak. Apa yang perlu dicontoh?

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2020/04/24/2020-hari-malaria-sedunia/

.

Sertifikasi bebas malaria tersebut buah gemilang atas lebih dari 50 tahun komitmen pemerintah El Salvador dan masyarakatnya, untuk mengakhiri penyakit di negara dengan populasi padat dan geografi yang terbilang ramah terhadap malaria. “Malaria telah menyerang umat manusia selama ribuan tahun, tetapi negara-negara seperti El Salvador adalah bukti hidup dan inspirasi bagi semua negara yang berani memimpikan masa depan bebas malaria,” kata Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal WHO.

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2019/05/03/2019-vaksin-malaria/

.

Sertifikasi eliminasi malaria diberikan oleh WHO ketika suatu negara telah membuktikan, tanpa keraguan, bahwa rantai penularan malaria pada penduduk lokal telah terputus secara nasional setidaknya selama tiga tahun berturut-turut. Dengan pengecualian satu wabah pada tahun 1996, El Salvador terus mengurangi beban malaria selama tiga dekade terakhir. Antara tahun 1990 dan 2010, jumlah kasus malaria menurun dari lebih dari 9.000 menjadi tinggal 26. Negara ini telah melaporkan nol kasus penyakit malaria indegenous atau asli sejak 2017.

.

Upaya anti-malaria El Salvador dimulai pada 1940-an dengan pengendalian mekanis vektor malaria, yaitu nyamuk anopheles, melalui pembangunan saluran air permanen pertama di rawa-rawa, diikuti dengan penyemprotan dalam ruangan dengan pestisida DDT. Pada pertengahan 1950-an, El Salvador membentuk Program Malaria Nasional dan merekrut jaringan petugas kesehatan komunitas untuk mendeteksi dan mengobati malaria di seluruh negeri. Para relawan, yang dikenal sebagai “Col Vol,” mencatat kasus dan intervensi malaria. Data tersebut, yang dimasukkan ke dalam sistem informasi kesehatan oleh personel pengendalian vektor, sehingga memungkinkan program pengendalian yang strategis dan bertarget jelas di seluruh negeri.

.

Bebas Malaria, Prestasi Bangsa – UPTD Puskesmas Wonogiri 1

Pada akhir 1960-an, kemajuan telah melambat karena nyamuk anopheles telah mengalami resistensi terhadap DDT. Ekspansi industri kapas di negara tersebut diperkirakan telah memicu peningkatan lebih lanjut kasus malaria. Sepanjang tahun 1970-an, terjadi lonjakan pekerja migran di perkebunan kapas di daerah pesisir dekat lokasi perkembangbiakan nyamuk, sehingga peningkatan kasus malaria sangat tajam, selain karena program penghentian penggunaan DDT. El Salvador mengalami kebangkitan kembali malaria, mencapai puncaknya hampir 96.000 kasus pada tahun 1980.

.

Dengan dukungan WHO, CDC, dan USAID, El Salvador berhasil mengubah orientasi program malaria, yang mengarah pada peningkatan sumber daya dan intervensi berdasarkan distribusi geografis kasus. Pemerintah juga mendesentralisasikan jaringan laboratorium diagnostiknya pada tahun 1987, sehingga kasus malaria dapat dideteksi dan ditangani dengan lebih cepat. Faktor tersebut yang terjadi bersamaan dengan runtuhnya industri kapas menyebabkan penurunan kasus yang cepat pada tahun 1980-an.

.

Reformasi kesehatan yang dimulai tahun 2009, yaitu mencakup peningkatan penting pada anggaran dan cakupan perawatan kesehatan primer, serta pemeliharaan program pengendalian vektor sebagai inti dalam intervensi malaria, telah berkontribusi pada keberhasilan El Salvador. Pemerintah El Salvador menyadari sejak awal bahwa pembiayaan domestik yang konsisten dan memadai akan sangat penting untuk mencapai dan mempertahankan tujuan pembangunan bidang kesehatan, termasuk untuk malaria. Komitmen ini telah tercermin selama lebih dari 50 tahun dalam anggaran nasional.

.

Meskipun melaporkan kematian terkait malaria terakhirnya pada tahun 1984, El Salvador telah mempertahankan besarnya investasi domestik untuk malaria. Pada tahun 2020, negara terus mengandalkan 276 orang petugas pengendalian vektor nyamuk, 247 buah laboratorium, perawat dan dokter yang terlibat dalam deteksi kasus, ahli epidemiologi, tim manajemen dan personel, dan lebih dari 3.000 petugas kesehatan masyarakat. Sebagai bagian dari komitmen El Salvador untuk mempertahankan nol kasus, penganggaran nasional untuk malaria telah dan akan terus dipertahankan, bahkan pada saat pandemi COVID-19 ini.

.

Lampung Masih Endemis Malaria, Kampanye Dinas Kesehatan Menuju Desa Bebas  Malaria Jangan Cuma Jargon | WARTA9.COM

Meskipun sebagian besar pembiayaan untuk malaria berasal dari sumber daya domestik, upaya eliminasi El Salvador mendapat manfaat dari hibah eksternal yang disediakan oleh Global Fund. Pembelajaran sertifikasi bebas malaria dari El Salvador dapat digunakan di Indonesia. Keseluruhan kasus malaria tahun 2019 di Indonesia masih sebanyak 250.644. Kasus tertinggi terjadi di Provinsi Papua sebanyak 216.380 kasus. Selanjutnya, disusul dengan Provinsi Nusa Tenggara Timur sebanyak 12.909 kasus dan Provinsi Papua Barat sebanyak 7.079 kasus.

Keberhasilan El Salvador merupakan upaya kolaboratif antara pemerintah, masyarakat sipil, akademisi, sektor swasta, dan komunitas untuk memberantas malaria tanpa kendor, bahkan pada saat pandemi COVID-19 ini.

Sudahkah kita mencontohnya?

Sekian

Yogyakarta, 5 Maret 2021

*) Dokter spesialis anak RS Panti Rapih, Lektor di FK UKDW Yogyakarta, Alumnus S3 UGM, WA : 081227280161