Categories
Istanbul

ETIKA IMUNISASI

Hasil gambar untuk imunisasi

ETIKA IMUNISASI

Dr. dr. Fx. Wikan Indrarto, SpA*)

Pada Rapat Kerja Menkes dengan Komisi IX DPR RI di Ruang Rapat Komisi IX DPR RI, Jakarta, Senin (30 Januari 2017), Menteri Kesehatan RI, Prof. Dr. dr. Nila Moeloek, Sp.M (K) menjelaskan bahwa imunisasi MR (Measles dan Rubela) akan melindungi anak Indonesia dari penyakit kelainan bawaan seperti gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, kelainan jantung dan retardasi mental yang disebabkan adanya infeksi rubella pada saat kehamilan. Imunisasi MR pada bulan Agustus 2017 akan diberikan untuk anak sekolah di SD, SMP dan sederajat, yaitu usia 7 sampai 15 tahun. Pada bulan September 2017 imunisasi MR diberikan untuk bayi usia 9 bulan sampai anak usia 7 tahun, yang dilaksanakan di Posyandu, Puskesmas dan Sarana Pelayanan Kesehatan lainnya. Pemberian imunisasi gratis dan wajib tersebut sering terhambat, karena dianggap dilematis dalam aspek etika biomedis. Apa yang sebaiknya diketahui?

Hasil gambar untuk imunisasi

Menurut Berten (2006) dalam bukunya ‘Etika Bimomedis’ terbitan Penerbit Kanisius Yogyakarta, paham paternalisme merupakan sudut pandang secara etika untuk menilai imunisasi. ‘Paternalisme’ berasal dari Bahas Latin ‘paternalis’ yang berarti ‘kebapakan’. Dalam hal ini paternalisme digunakan untuk menyebut semua tindakan yang memperlakukan orang lain seolah-olah seorang anak, yang harus menurut kepada bapak. Paternalisme menggunakan prinsip ‘Father knows best’. Tindakan medis, termasuk imunisasi yang dilakukan dokter, sebenarnya membatasi kebebasan atau otonomi seorang pasien, pada umumnya anak, karena dilakukan tanpa persetujuan anak.

Hasil gambar untuk imunisasi

Paternalisme dikembangkan oleh seorang filsuf Amerika Serikat, Gerald Dworkin, yang menjelasakannya sebagai ‘the interference with a person’s liberty of action justified by reasons fererring exclusively to the welfare, good, happiness, needs, interests or values of the person being coerced’. Inti paternalisme adalah paksaan (‘coerced’). Joel Feinberg adalah ahli etika Jerman yang moderat dan menerima aliran paternalisme, dengan membaginya menjadi lemah dan kuat (‘weak and strong’). Paternalisme lemah adalah setiap tindakan dokter yang dilakukan untuk mencegah terjadinya dampak buruk dan memperoleh manfaat untuk pasien, meskipun pasien tersebut pada dasarnya berada dalam posisi tidak bebas. Selain itu, juga semua tindakan dokter termasuk imunisasi, yang perlu dilakukan terlebih dahulu, tanpa menunggu kepastian apakah pasien dalam keadaan bebas atau tidak. Paternalisme lemah seperti ini secara etika dapat dibenarkan.

Hasil gambar untuk imunisasi

Sebaliknya, paternalisme kuat adalah setiap tindakan dokter yang mengabaikan kehendak pasien dalam keadaan bebas. Meskipun tindakan imunisasi dapat juga bersifat paternalisme kuat dan ‘melanggar’ etika, tetapi masih dapat dibenarkan apabila memenuhi syarat-syarat berikut ini.

Pertama adalah terjadinya dampak buruk yang dapat dicegah atau manfaat yang diberikan kepada pasien, harus melebihi kehilangan kemandirian pasien.

Kedua, kondisi pasien anak dan orangtuanya dalam keadaan yang secara serius membatasi kemampuannya, dalam membuat pilihan yang otonom, dan

ketiga, pasien anak dan orangtuanya yang mengalami tindakan paternalisme tersebut telah menyetujui, atau kelak akan menyetujui saat anak sudah besar atau sudah rasional, karena tindakan tersebut dilakukan semata-mata demi kebaikannya.

Filsuf Inggris, John Stuart Mill (1806-1873) adalah tokoh anti paternalisme yang paling lantang. Dalam bukunya ‘On Liberty’, Mill menyebutkan bahwa kebebasan seorang pasien tidak pernah boleh ditentang atau dibatasi oleh dokter, kecuali kalau hal tersebut perlu untuk melindungi orang lain, bukan pasien itu sendiri, terhadap dampak buruk yang mungkin terjadi. Tindakan imunisasi dalam dimensi paternalisme medis dapat menyebabkan konflik kepentingan, antara prinsip dokter yang akan berbuat baik, dengan prinsip dokter yang harus menghormati kebebasan dan otonomi pasien.

Hasil gambar untuk imunisasi

Sebenarnya tindakan imunisasi tidak saja bermanfaat untuk terbentuknya kekebalan atau imunitas pada tubuh anak yang bersangkutan, tetapi juga untuk imunitas masyarakat di sekitarnya, sehingga dapat memberantas suatu penyakit infeksi tertentu. Dengan demikian, tindakan imunisasi menjadi boleh diwajibkan untuk semua anak, atau bahkan malah dipaksakan oleh dokter, dalam mempraktekkan paham paternalisme. Tindakan dokter ini berarti dokter mungkin saja bertindak melawan kehendak orangtua, tetapi dilakukan demi kebaikan anak dan masyarakat di sekitarnya. Hal ini Sebenarnya tetap dapat dibenarkan, meskipun menggunakan pendapat John Stuart Mill yang sangat anti-paternalisme sekalipun, karena imunisasi adalah tindakan yang juga akan mencegah kerugian bagi orang lain.

Hasil gambar untuk imunisasi

Meskipun demikian, untuk penyakit infeksi dengan kasus yang hanya muncul secara sporadis, insidensinya rendah dan risiko penularan penyakitnya tidak begitu besar, paksaan imunisasi dengan alasan demi kebaikan umum, tetap juga mempunyai risiko sosial. Dokter wajib memberikan informasi lengkap dan berimbang, tentang jenis imunisasi yang dapat mencegah penyakit penting dengan insidensi tinggi dan risiko penularan hebat, di wilayah dimana anak tinggal. Orangtua dan masyarakat berhak untuk memperoleh informasi tersebut secara memadai, dan mengambil keputusan dengan bebas. Pemberian imunisasi jenis tersebut pada anak, dapat dibenarkan dalam lingkup paternalisme kuat. Sebaliknya, pemberian imunisasi jenis lain untuk penyakit yang tidak penting di wilayah anak tinggal, atau adanya informasi dokter yang tidak berimbang tentang jenis imunisasi tersebut, adalah tindakan dokter yang kurang beralasan dalam aspek etika biomedis.

Hasil gambar untuk imunisasi

Kampanye imunisasi Measles Rubella (MR) adalah suatu kegiatan imunisasi secara massal, sebagai upaya untuk memutuskan transmisi penularan virus campak dan rubella, tanpa mempertimbangkan status imunisasi sebelumnya. Kampanye imunisasi MR pada bulan Agustus dan September 2017 ini menyadarkan kita semua bahwa program imunisasi perlu dikritisi, termasuk dalam aspek etika biomedis, meskipun tetap perlu disukseskan. Apakah kita sudah bijak?

RS Siloam Yogyakarta 1

Sekian

Yogyakarta, 3 Juli 2017

*) dokter spesialis anak di RS Panti Rapih dan RS Siloam Yogyakarta, Ketua IDI Cabang Kota Yogyakarta, Lektor FK UKDW, Alumnus S3 UGM, WA 081227280161