Categories
anak COVID-19 Healthy Life Jalan-jalan resisten obat UHC

2023 Pedoman Baru Melawan COVID-19

Universitas Nasional - Universitas Nasional

PEDOMAN  BARU  MELAWAN COVID-19

fx. wikan indrarto*)

Pada hari Jumat, 13 Januari 2023 WHO telah memperbarui pedoman melawan COVID-19. Dalam hal ini menyangkut tentang pemakaian masker di komunitas, perawatan COVID-19, dan manajemen klinis. Apa yang menarik?

.

Pedoman baru ini adalah bagian dari proses berkelanjutan dalam evaluasi rutin pedoman global dan bekerja sama pakar internasional independen. Pedoman disusun dengan mempertimbangkan bukti penelitian terbaru yang tersedia dan data epidemiologi yang terus saja berubah.

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2022/01/28/2022-obat-baru-untuk-covid-19/.

Pertama, masker terus menjadi alat utama melawan COVID-19

WHO terus merekomendasikan penggunaan masker, terlepas dari situasi dan data epidemiologi lokal, mengingat penyebaran COVID-19 saat ini masih berlangsung secara global. Masker sangat direkomendasikan pada seseorang setelah terpapar COVID-19, dicurigai menderita COVID-19, dan berisiko tinggi terkena COVID-19 parah. Selain itu, masker juga sebaiknya digunakan untuk siapapun di dalam ruangan yang padat, tertutup, atau berventilasi buruk.

WHO juga menyarankan bahwa otoritas lokal, regional dan nasional terus melakukan penilaian risiko secara berkesinambungan. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan termasuk tren epidemiologi lokal atau peningkatan tingkat rawat inap, tingkat cakupan vaksinasi COVID-19 dan kekebalan di masyarakat, dan situasi di mana orang berada.

.

6 Langkah Mudah Melawan Covid-19 | Portal News
gunakan masker dengan benar

.

Kedua, pengurangan jangka waktu isolasi untuk pasien COVID-19

WHO menyarankan bahwa pasien COVID-19 dapat keluar dari ruang isolasi lebih awal, jika mereka dites sudah negatif menggunakan tes cepat berbasis antigen, bukan lagi PCR. Namun demikian, tanpa tes antigen, untuk pasien dengan gejala klinis isolasi cukup selama 10 hari sejak tanggal timbulnya gejala. Pedoman sebelumnya adalah pasien dapat dipulangkan 10 hari setelah timbulnya gejala, ditambah setidaknya tiga hari tambahan, sejak gejala klinisnya hilang.

Bagi orang yang dites positif COVID-19 tetapi tidak memiliki tanda atau gejala apa pun, WHO sekarang menyarankan cukup 5 hari isolasi, dibandingkan 10 hari pada pedoman sebelumnya. Isolasi untuk orang dengan COVID-19 adalah langkah penting dalam mencegah orang lain terinfeksi. Ini dapat dilakukan di rumah atau di fasilitas khusus, seperti rumah sakit, klinik atau shelter. Bukti menunjukkan bahwa orang tanpa gejala jauh lebih kecil kemungkinannya untuk menularkan virus dibandingkan mereka yang memiliki gejala. Meskipun kepastiannya sangat rendah, bukti juga menunjukkan bahwa orang dengan gejala yang dipulangkan pada hari ke 5 setelah timbulnya gejala, berisiko menularkan orang tiga kali lebih banyak daripada mereka yang dipulangkan pada hari ke 10.

.

TETAP SEMANGAT UNTUK SEMUA YANG SEDANG BERJUANG MELAWAN COVID-19 – Dinas  Kesehatan Kabupaten Karangasem
isolasi diri secara benar

.

Ketiga, pengobatan COVID-19. WHO telah memperluas rekomendasi kuatnya untuk penggunaan nirmatrelvir-ritonavir (Paxlovid). Ibu hamil atau menyusui dengan COVID-19 yang tidak parah harus berkonsultasi dengan dokter, untuk menentukan apakah mereka harus menggunakan obat ini, karena ‘kemungkinan manfaatnya’ dan terjadinya efek samping obat yang telah dilaporkan.

Nirmatrelvir-ritonavir pertama kali direkomendasikan oleh WHO pada April 2022. WHO sangat merekomendasikan penggunaannya pada pasien COVID-19 ringan atau sedang yang berisiko tinggi untuk dirawat inap di rumah sakit. Pada Desember 2022, produsen obat generik nirmatrelvir-ritonavir untuk pertama kalinya telah diprakualifikasi oleh WHO.

WHO juga menganalisis bukti manfaat pada dua obat lain, sotrovimab dan casirivimab-imdevimab. Pedoman baru terus mempertahankan rekomendasi kuat untuk penggunaannya dalam mengobati COVID-19. Obat-obatan antibodi monoklonal ini terbukti mampu mengurangi aktivitas varian virus COVID-19 yang beredar global saat ini. Obat baricitinib dan sotrovimab dalam rekomendasi kali ini, yang merupakan pembaruan kedelapan pedoman WHO tentang terapi COVID-19, didasarkan pada bukti dari tujuh uji klinis yang melibatkan lebih dari 4.000 pasien dengan COVID-19 derajat yang tidak parah, parah, dan kritis.

.

Indonesia.go.id - Melawan Covid-19

Saat itu ada beberapa pilihan pengobatan yang terbukti baik untuk pasien COVID-19. Terdapat tiga jenis pengobatan untuk mencegah rawat inap pada orang berisiko tinggi dan tiga di antaranya terbukti mampu menyelamatkan nyawa pada pasien dengan penyakit parah atau kritis. Obat lain adalah baricitinib, sangat direkomendasikan untuk pasien COVID-19 derajat parah atau kritis. Obat dalam kelas inhibitor Janus Kinase (JAK) ini mampu menekan stimulasi berlebihan dari sistem kekebalan tubuh. WHO merekomendasikan agar diberikan dengan kortikosteroid. Baricitinib adalah obat oral atau ditelan, yang selama ini telah digunakan untuk pengobatan radang sendi atau rheumatoid arthritis. Baricitinib ini mirip dengan obat radang sendi lain dalam kelas penghambat reseptor Interleukin-6, yang sebelumnya telah direkomendasikan oleh WHO pada Juli 2021.

Panduan penggunaan masker dan pengurangan masa isolasi pasien COVID-19 tentu tidak sulit kita lakukan. Sebaliknya untuk pengobatan terbaru COVID-19 adalah hal yang subngguh sulit, karena kecuali kortikosteroid, akses ke obat anti COVID-19 lainnya tetap tidak memuaskan secara global. 

Sudahkah kita bertindak bijak dalam pengendalian dan pengobatan COVID-19?

Sekian

Yogyakarta, 16 Januari 2023

*) Dokter spesialis anak di RS Panti Rapih Yogyakarta, Lektor FK UKDW, Alumnus S3 UGM, WA: 081227280161

Categories
anak COVID-19 dokter Istanbul kanker UHC vaksinasi

2023 Hari Pendengaran

Hari Pendengaran Sedunia 2022, Guru Besar UI: Kasus Bayi Lahir Tuli 1 per  1.000 Kelahiran di Indonesia

HARI  PENDENGARAN  DUNIA 2023

fx. wikan indrarto*)

Hari Pendengaran Dunia (World Hearing Day) dirayakan pada Jumat, 3 Maret 2023 dengan tema : Peduli Telinga dan Pendengaran untuk Semua! Kita diingatkan akan pentingnya mengintegrasikan perawatan telinga dan pendengaran di fasilitas kesehatan primer, sebagai komponen penting dari cakupan kesehatan semesta atau UHC (universal health coverage). Apa yang menarik?

.

Pada tahun 2050, hampir 2,5 miliar orang diproyeksikan akan mengalami gangguan pendengaran pada tingkat tertentu dan setidaknya 700 juta akan membutuhkan rehabilitasi fungsi pendengaran. Lebih dari 1 miliar orang dewasa muda berisiko mengalami gangguan pendengaran permanen yang sebenarnya dapat dihindari, karena praktik kebiasaan mendengarkan yang tidak aman. Investasi tambahan tahunan sekitar US $ 1,40 per orang diperlukan untuk meningkatkan layanan perawatan telinga dan pendengaran secara global. Selama periode 10 tahun investasi, program ini menjanjikan pengembalian hampir US $16 untuk setiap dolar AS yang diinvestasikan.

.

juga dimuat di : https://www.kompas.id/baca/opini/2023/01/10/peduli-telinga-dan-pendengaran

.

Penyebab gangguan pendengaran adalah multi faktorial pada periode yang berbeda sepanjang rentang hidup. Pada periode prenatal, terdapat faktor genetik, yaitu gangguan pendengaran herediter dan non-herediter dan infeksi intrauterin dari ibu masuk ke janin, seperti virus rubella dan CMV (sitomegalovirus). Pada periode perinatal adalah asfiksia lahir (kekurangan oksigen pada saat lahir), hiperbilirubinemia (ikterus parah pada periode neonatal), berat badan lahir rendah (BBLR), morbiditas perinatal lainnya dan komplikasi penatalaksanaannya.

.

baca juga :https://dokterwikan.com/2022/03/07/2022-pendengaran-sehat/

.

Pada masa anak dan remaja adalah infeksi telinga kronis (otitis media supuratif kronis), pengumpulan cairan di telinga (otitis media nonsupuratif kronis), meningitis dan infeksi lainnya. Sedangkan pada usia dewasa dan lanjut berupa penyakit kronis, merokok, otosklerosis, degenerasi sensorineural terkait usia, dan gangguan pendengaran sensorineural mendadak

.

Faktor yang terdapat sepanjang rentang hidup seperti impaksi serumen (kotoran telinga yang menetap), trauma atau benturan pada telinga atau kepala, suara atau bunyi keras, obat ototoksik, bahan kimia ototoksik terkait pekerjaan, kekurangan gizi, infeksi virus dan kondisi telinga lainnya, onset tertunda atau gangguan pendengaran genetik progresif, dan dampak gangguan pendengaran yang tidak tertangani.

.

Jika tidak ditangani, gangguan pendengaran berdampak pada banyak aspek kehidupan. Di negara berkembang, banyak anak dengan gangguan pendengaran seringkali tidak dapat mengenyam pendidikan formal. Orang dewasa dengan gangguan pendengaran juga memiliki tingkat pengangguran yang jauh lebih tinggi. Di antara mereka yang bekerja, persentase yang lebih tinggi dari orang dengan gangguan pendengaran berada di tingkat pekerjaan dengan gaji yang lebih rendah dibandingkan dengan tenaga kerja umum. WHO memperkirakan bahwa gangguan pendengaran yang tidak tertangani menimbulkan biaya global tahunan sebesar US$ 980 miliar. Ini termasuk biaya yang dihabiskan dalam sektor layanan kesehatan (tidak termasuk biaya alat bantu dengar), biaya dukungan pendidikan, hilangnya produktivitas, dan biaya sosial. Pada hal 57% dari beban biaya ini harus ditanggung oleh negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Pencegahan gangguan pendengaran sangat penting sepanjang hidup, dari periode prenatal dan perinatal hingga usia yang lebih tua. Pada anak hampir 60% gangguan pendengaran disebabkan oleh penyebab yang dapat dihindari, yang dapat dicegah melalui penerapan langkah intervensi kesehatan masyarakat. Demikian pula, pada orang dewasa, penyebab gangguan pendengaran yang paling umum, seperti paparan suara keras dan obat ototoksik, sebenarnya dapat dicegah.

Strategi yang efektif untuk mengurangi gangguan pendengaran pada berbagai tahap kehidupan meliputi imunisasi, praktik pengasuhan anak yang baik, konseling genetik, identifikasi dan pengelolaan kondisi telinga yang umum. Selain itu, juga program konservasi fungsi pendengaran di tempat kerja untuk paparan kebisingan dan bahan kimia, strategi mendengarkan yang aman untuk mengurangi paparan suara keras di tempat rekreasi, dan penggunaan obat yang rasional untuk mencegah gangguan pendengaran ototoksik.

Identifikasi dini gangguan pendengaran dan penyakit telinga adalah kunci penatalaksanaan yang efektif. Program ini membutuhkan skrining sistematis untuk mendeteksi gangguan pendengaran dan penyakit telinga. Program ini sebaiknya dilakukan pada bayi baru lahir, bayi, anak usia pra sekolah dan usia sekolah. Selain itu, juga pada orang yang terpapar kebisingan atau bahan kimia di tempat kerja, pasien yang menerima obat ototoksik dan kemlompok usia lanjut.

Penilaian pendengaran dan pemeriksaan telinga dapat dilakukan di fasilitas kesehatan primer, rumah sakit dan layanan komunitas. Alat seperti aplikasi “hearWHO” dan solusi berbasis teknologi lainnya memungkinkan untuk uji saring penyakit telinga dan gangguan pendengaran. 

https://cdn.who.int/media/images/default-source/health-topics/deafness-and-hearing-loss/hearwho-banner-with-qr-code.tmb-1366v.png?sfvrsn=37b879bf_6

Aplikasi ‘hearWHO’ yang saat ini hanya tersedia dalam bahasa Inggris, Spanyol dan Mandarin, memiliki kompatibilitas pada perangkat iOS dan Android, serta didasarkan pada teknologi digit-in-noise yang tervalidasi. Aplikasi ini memberi masyarakat umum akses ke uji saring pendengaran untuk memeriksa status pendengaran dan memantaunya dari waktu ke waktu. Aplikasi ini mudah digunakan, dapat menampilkan hasil pemeriksaan, dan menyimpan status pendengaran dari waktu ke waktu. Aplikasi ini sangat direkomendasikan bagi mereka yang sering mendengarkan musik keras melalui perangkat audio pribadi, dan dapat digunakan oleh tenaga kesehatan untuk menyaring orang di komunitas untuk gangguan pendengaran dan merujuk mereka untuk tes diagnostik di RS, jika mereka gagal dalam skrining.

Unik, Alasan Tanggal 3 Maret menjadi Hari Kesehatan Telinga dan Pendengaran  Nasional | Medicalogy

Momentum Hari Pendengaran Dunia (World Hearing Day) 2023 mengingatkan kita bahwa masalah telinga dan fungsi pendengaran, merupakan salah satu masalah yang paling sering ditemui di masyarakat. Sebenarnya lebih dari 60% dari masalah ini dapat didiagnosis dan ditangani di fasilitas kesehatan primer. Untuk itu, integrasi perawatan telinga dan fungsi pendengaran ke dalam layanan kesehatan primer dimungkinkan, melalui pelatihan tenaga kesehatan dan pembangunan infrastruktur kesehatan. Integrasi semacam itu akan bermanfaat bagi masyarakat dan membantu negara bergerak menuju tujuan UHC. 

Apakah kita sudah melakukannya?

Sekian

Yogyakarta, 28 Desember 2022

*) Dokter spesialis anak di RS Panti Rapih Yogyakarta, Lektor FK UKDW, Alumnus S3 UGM.

Categories
anak COVID-19 dokter Healthy Life kanker UHC vaksinasi

2022 Dosis Vaksin HPV

Brilio - Vaksin ini masuk program imunisasi nasional dan wajib untuk anak  perempuan usia sekolah dasar kelas 5-6 SD. #infografikbrilio | Facebook

DOSIS   VAKSIN   HPV

fx. wikan indrarto

Selasa, 20 Desember 2022 WHO memperbaharui rekomendasi jadwal vaksinasi HPV (human papillomavirus). Apa yang baru? 

.

Kanker serviks adalah jenis kanker paling umum keempat pada wanita, dan lebih dari 95% kanker serviks disebabkan oleh HPV yang ditularkan secara seksual. Sering disebut sebagai ‘silent killer’ dan hampir seluruhnya dapat dicegah, kanker serviks adalah salah satu penyakit dengan ketidaksetaraan akses, karena 90% wanita dengankanker serviks ini tinggal di negara berpenghasilan rendah dan menengah.

.

Mencegah perkembangan kanker serviks dengan meningkatkan akses ke vaksin yang efektif, merupakan langkah yang sangat signifikan dalam mengurangi penyakit dan kematian yang tidak perlu. Rekomendasi baru ini didasarkan pada penurunan yang sangat memprihatinkan dalam cakupan vaksinasi HPV secara global. Antara 2019 dan 2021, cakupan vaksinasi HPV dosis pertama turun 25% menjadi 15%. Ini berarti 3,5 juta lebih banyak anak perempuan yang tidak mendapatkan vaksinasi HPV pada tahun 2021 dibandingkan dengan tahun 2019.

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2020/09/02/2020-bebas-kanker-serviks/

.

Optimalisasi jadwal HPV diharapkan dapat meningkatkan akses ke vaksin, menawarkan banyak negara dan wilayah kesempatan untuk memperluas jumlah anak perempuan yang dapat divaksinasi HPV. Selain itu, juga mengurangi beban tindak lanjut yang seringkali rumit dan mahal, yang diperlukan untuk menyelesaikan rangkaian vaksinasi. Penting bagi banyak negara untuk memperkuat program vaksinasi HPV mereka, mempercepat implementasi, dan membalikkan penurunan cakupan.

.

WHO sekarang merekomendasikan 3 jadwal. Pertama, jadwal satu atau dua dosis untuk anak perempuan berusia 9-14 tahun. Kedua, jadwal satu atau dua dosis untuk remaja perempuan berusia 15-20 tahun dan ketiga, dua dosis dengan interval 6 bulan untuk wanita di atas 21 tahun. Selain itu, rekomendasi tersebut menggarisbawahi pentingnya vaksinasi sebagai prioritas wanita dengan gangguan kekebalan, atau mereka yang hidup dengan HIV. Juga remaja perempuan dengan immunocompromised harus menerima minimal dua dosis, bahkan jika mungkin tiga dosis. Sasaran utama vaksinasi HPV adalah anak perempuan berusia 9-14 tahun, sebelum dimulainya aktivitas seksual. Vaksinasi target sekunder adalah anak laki-laki dan perempuan yang lebih tua, jika memungkinkan dan terjangkau.

.

Siap-siap! Vaksin Kanker Serviks Gratis Segera Dimulai di 8 Provinsi
.

“Vaksin HPV sangat efektif untuk pencegahan HPV serotipe 16 & 18, yang menyebabkan 70% kanker serviks,” ujar Dr Alejandro Cravioto, Ketua SAGE. “SAGE mendesak semua negara untuk memperkenalkan vaksin HPV dan memprioritaskan pengejaran kohort multi-usia dari kohort anak perempuan yang ketinggalan dan lebih tua. Rekomendasi ini akan memungkinkan lebih banyak anak dan remaja perempuan untuk divaksinasi dan dengan demikian mencegah mereka terkena kanker serviks dan semua konsekuensinya selama hidup mereka.” Rekomendasi dosis tunggal ini berpotensi membawa kita lebih cepat ke tujuan kita untuk mencapai 90 persen remaja perempuan divaksinasi sebelum usia 15 tahun pada tahun 2030.

.

Secara global, penyerapan vaksin penyelamat hidup adalah lambat dan cakupan di banyak negara jauh lebih rendah dari target 90%. Akibatnya, pada tahun 2020 cakupan global dengan 2 dosis hanya 13%. Beberapa faktor telah memengaruhi penyerapan yang lambat dan cakupan vaksin HPV yang rendah termasuk tantangan pasokan dan distribusi vaksin, serta tantangan program dan biaya terkait pemberian dua rejimen untuk anak perempuan yang lebih tua yang biasanya bukan bagian dari program vaksinasi di sekolah. Selain itu, biaya vaksin HPV adalah relatif mahal, terutama untuk negara berpenghasilan menengah.

.

Rekomendasi untuk hanya satu dosis vaksin HPV adalah lebih murah, lebih sedikit sumber daya dan lebih mudah untuk diberikan. Selain itu, rekomendasi ini juga memfasilitasi pelaksanaan kampanye susulan untuk berbagai kelompok umur, mengurangi tantangan yang terkait dengan melacak remaja perempuan untuk pemberian dosis kedua mereka, dan memungkinkan cadangan keuangan dan sumber daya manusia dialihkan ke prioritas kesehatan lainnya.

.

Sorotan pertemuan lainnya dari pertemuan Strategic Advisory Group of Experts on Immunization (SAGE) 4-7 April 2022 meliputi 3 jenis vaksin lainnya. Pertama vaksin covid-19, SAGE merekomendasikan vaksin CanSino Bio (Ad5-nCOV-S) akan tersedia jika EUL WHO diberikan. Kedua vaksin Hepatitis A, SAGE merekomendasikan bahwa satu atau dua jadwal dosis vaksin hepatitis A yang tidak aktif dapat digunakan. Ketiga vaksin virus polio, SAGE mendukung untuk penghentian vaksin polio oral hidup yang dilemahkan atau Vaksin Polio Oral (OPV) dari program imunisasi rutin, guna mengantisipasi virus polio tipe liar. 

.

Secara global, diperkirakan penerapan strategi ini dapat mencegah 60 juta kasus kanker serviks dan 45 juta kematian selama 100 tahun ke depan. Di Indonesia sasaran vaksinasi HPV adalah anak perempuan kelas 5-6 SD atau usia 11-12 tahun. Saat ini program tersebut sudah diperluas di 11 kabupaten kota, setelah pada mulanya menjadi program percontohan di DKI Jakarta. Pandemi COVID-19 tidak menjadi alasan untuk menunda perluasan vaksinasi HPV yang tetap dapat dilakukan dengan memperhatikan protokol kesehatan. Kemenkes RI menargetkan perluasan imunisasi HPV untuk mencegah kanker serviks hingga berskala nasional pada 2023 dapat dicapai, apalagi dengan pemberian hanya dosis tunggal sesuai rekomendasi WHO terbaru tersebut.

Sudahkah kita terlibat membantu?

Sekian

Yogyakarta, 30 Desember 2022

*) Dokter spesialis anak di RS Panti Rapih Yogyakarta, Lektor FK UKDW, Alumnus S3 UGM, WA: 081227280161

Categories
anak COVID-19 Healthy Life Istanbul Jalan-jalan vaksinasi

2023 Sepak Bola dan Flu

Jadwal Lengkap Fase Grup Piala Dunia 2022 Qatar - Victory News - Halaman 4

SEPAK  BOLA  DAN  FLU

fx. wikan indrarto

Jutaan orang telah menonton Piala Dunia FIFA 2022 Qatar secara langsung di stadion atau nonton bareng di TV, sangat mungkin berisiko lebih tinggi terkena flu dan menyebarkannya. Apalagi segera disusul dengan Piala Mitsubishi Electric AFF 2022 saat Tim Nasional Indonesia masuk babak semifinal. Pastikan kita tahu cara melindungi diri sendiri dan orang lain.

.

Sebelum Piala Dunia diadakan pertama kali, influenza telah menyerang pemain sepak bola, manajer, dan penonton. Pada tahun 1918, pandemi influenza yang dikenal sebagai “Flu Spanyol” menginfeksi sekitar 500 juta orang. Saat itu masyarakat dipaksa untuk menerapkan tindakan luas, membatasi pertemuan besar, termasuk menonton olahraga seperti pertandingan sepak bola. Lebih dari seabad  kemudian, sebanyak satu miliar orang, baik penonton maupun pemain sepak bola profesional, masih terkena influenza musiman setiap tahun, dan dapat menyebabkan penyakit parah atau bahkan kematian.

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2019/10/16/2019-sepak-bola-sehat/

.

Gejala klinis influnza adalah demam, batuk (biasanya kering), sakit kepala, nyeri otot dan persendian, sakit tenggorokan dan pilek. Batuknya dapat parah dan bertahan 2 minggu atau lebih. Kebanyakan orang pulih dalam waktu seminggu tanpa memerlukan tindakan medis. Jika salah satu pesepakbola profesional terkena flu, mungkin tidak akan diijinkan bermain, meskipun mungkin tidak akan sakit parah. Namun demikian, bagi sebagian penonton sepak bola, terkena influenza menimbulkan ancaman rawat inap atau bahkan kematian yang jauh lebih serius. Penonton yang berisiko tinggi mengalami komplikasi influenza meliputi ibu hamil pada setiap tahap kehamilan, orang lanjut usia (berusia lebih dari 65 tahun), orang dengan kondisi medis kronis, tenaga kesehatan; dan anak usia 6 bulan sampai 5 tahun.

.

Indonesia vs Vietnam pada Semifinal Leg 1 Piala AFF 2022 - Tenggulang Baru
.

Jika kita menonton sepak bola bulan Januari 2023, baik secara langsung bersama ratusan atau ribuan orang lainnya di dalam stadion, atau nobar di TV bersama keluarga dan teman, sangat mungkin berisiko lebih tinggi terkena flu atau menularkannya ke orang lain. Hal ini karena, seperti halnya COVID-19, influenza tumbuh subur di ‘tiga C’: ruang tertutup, tempat ramai, dan kontak dekat (closed spaces, crowded places, and close contact). Influenza dapat menyebar dengan cepat di antara para penonton sepakbola ketika seorang penonton yang terinfeksi batuk atau bersin, menyebarkan tetesan virus ke udara.

.

Influenza musiman adalah infeksi saluran pernapasan akut yang disebabkan oleh virus influenza yang beredar di seluruh belahan dunia. Terdapat 4 jenis virus influenza musiman, yaitu tipe A, B, C dan D. Virus influenza A dan B beredar dan menyebabkan wabah penyakit musiman.

.

Virus influenza A selanjutnya diklasifikasikan menjadi subtipe sesuai dengan kombinasi hemagglutinin (HA) dan neuraminidase (NA), protein pada permukaan virus. Saat ini yang beredar pada manusia adalah virus influenza subtipe A(H1N1) dan A(H3N2). A(H1N1) juga ditulis sebagai A(H1N1)pdm09 karena menyebabkan pandemi pada tahun 2009 dan kemudian menggantikan virus influenza A(H1N1) musiman yang telah beredar sebelum tahun 2009. Hanya virus influenza tipe A yang diketahui menyebabkan pandemi .

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2019/03/20/2019-lawan-influenza/

.

Virus influenza B tidak diklasifikasikan menjadi subtipe, tetapi dapat dipecah menjadi garis keturunan. Virus influenza tipe B yang beredar saat ini termasuk dalam garis keturunan B/Yamagata atau B/Victoria. Virus influenza C terdeteksi lebih jarang dan biasanya menyebabkan infeksi ringan, sehingga tidak menyebabkan gangguan kesehatan masyarakat. Sedangkan virus influenza D terutama menyerang ternak dan tidak diketahui menginfeksi atau menyebabkan penyakit pada manusia.

.

Derajad penyakit berkisar dari ringan hingga berat dan bahkan kematian. Rawat inap dan kematian terjadi terutama di antara kelompok risiko tinggi. Di seluruh dunia, epidemi tahunan ini diperkirakan mengakibatkan sekitar 3 hingga 5 juta kasus penyakit parah, dan sekitar 290.000 hingga 650.000 kematian. Di negara industri kebanyakan kematian karena influenza terjadi pada orang berusia 65 tahun atau lebih. Epidemi dapat mengakibatkan tingginya tingkat ketidak hadiran para pekerja, siswa di sekolah dan hilangnya produktivitas. Efek epidemi influenza musiman di negara berkembang tidak sepenuhnya diketahui, tetapi penelitian memperkirakan bahwa 99% kematian pada anak di bawah usia 5 tahun dengan infeksi saluran pernapasan bawah terkait influenza ditemukan di negara berkembang.

.

Sebagian besar kasus influenza manusia didiagnosis secara klinis. Namun, selama periode aktivitas influenza rendah dan di luar situasi epidemi, infeksi virus pernapasan lainnya, mis. rhinovirus, virus syncytial jalan napas, parainfluenza dan adenovirus juga dapat hadir sebagai Influenza-like Illness (ILI) yang membuat diferensiasi klinis influenza dari patogen lain menjadi sulit.

Pasien dengan derajat penyakit klinis parah atau progresif terkait dengan infeksi virus influenza yang dicurigai atau dikonfirmasi, yaitu sindrom klinis pneumonia, sepsis atau eksaserbasi penyakit bawaan kronis, harus diobati dengan obat antivirus sesegera mungkin. Obat inhibitor neuraminidase (yaitu oseltamivir) harus diberikan sesegera mungkin (idealnya, dalam waktu 48 jam setelah timbulnya gejala) untuk memaksimalkan manfaat terapeutik. Pemberian obat juga harus dipertimbangkan pada pasien yang datang kemudian dalam perjalanan penyakit. Pengobatan dianjurkan untuk minimal 5 hari, tetapi dapat diperpanjang sampai ada perbaikan klinis yang memuaskan.

.

Kortikosteroid tidak boleh digunakan secara rutin, kecuali diindikasikan untuk alasan lain (misalnya: asma dan kondisi spesifik lainnya); karena telah dikaitkan dengan pembersihan virus yang berkepanjangan, imunosupresi yang menyebabkan superinfeksi bakteri atau jamur. Semua virus influenza yang beredar saat ini resisten terhadap obat antivirus adamantane (seperti amantadine dan rimantadine), dan karenanya tidak direkomendasikan untuk monoterapi.

.

Cara paling efektif untuk mencegah penyakit ini adalah vaksinasi. Vaksin yang aman dan efektif tersedia dan telah digunakan selama lebih dari 60 tahun. Kekebalan dari vaksinasi berkurang dari waktu ke waktu, sehingga vaksinasi tahunan dianjurkan untuk melindungi terhadap influenza. Vaksin influenza inaktif yang disuntikkan paling sering digunakan di seluruh dunia.

.

WHO merekomendasikan vaksinasi influenza tahunan untuk ibu hamil pada setiap tahap kehamilan, anak balita, orang lanjut usia (berusia lebih dari 65 tahun), individu dengan kondisi medis kronis, dan petugas kesehatan. Rekomendasi WHO terus berkembang tentang komposisi vaksin (trivalen) yang menargetkan 3 jenis virus paling representatif yang beredar (dua subtipe virus influenza A dan satu virus influenza B) pada 2013-2014. Selanjutnya komponen ke-4 direkomendasikan menjadi vaksin kuadrivalen yang mencakup virus influenza B ke-2 selain virus dalam vaksin trivalen, dan diharapkan memberikan perlindungan yang lebih luas. Sejumlah vaksin influenza inaktif dan vaksin influenza rekombinan tersedia dalam bentuk injeksi. Vaksin influenza hidup yang dilemahkan tersedia dalam bentuk semprotan hidung.

.

Selain vaksinasi influenza dan pengobatan antivirus, manajemen kesehatan masyarakat berupa protokol kesehatan ketat, sebaiknya dilakukan. Yaitu mencuci tangan secara teratur, etika batuk dengan menutup mulut dan hidung. Selain itu, juga isolasi mandiri dini bagi mereka yang merasa tidak enak badan, demam dan memiliki gejala influenza lainnya, menghindari kontak dekat dengan orang sakit, dan menghindari menyentuh mata, hidung, atau mulut. Apalagi saat kita menonton sepakbola di stadion, ataupun nobar dengan banyak teman.

Sudahkah kita semua sehat?

Sekian

Yogyakarta, 4 Januari 2023

*) Dokter spesialis anak di RS Panti Rapih Yogyakarta, Lektor FK UKDW, Alumnus S3 UGM, penggemar gol dalam sepakbola, WA: 081227280161.

Categories
anak antibiotika COVID-19 dokter Healthy Life resisten obat UHC vaksinasi

2023 Panduan Antibiotika

antibiotik | Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan

PANDUAN  ANTIBIOTIK

fx. wikan indrarto

Jumat, 9 Desember 2022 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menerbitkan buku panduan pemberian antibiotik yang berjudul WHO AWaRe (Access, Watch, Reserve). Apa yang menarik?

.

Resistensi antimikroba merupakan ancaman bagi kesehatan dan pembangunan global, dan berkontribusi terhadap jutaan kematian di seluruh dunia setiap tahun. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat dan berlebihan, justru mendorong peningkatan resistensi antimikroba dan berdampak buruk pada efektivitas obat yang sangat penting ini. Buku antibiotik AWaRe telah diterbitkan oleh WHO di bawah lisensi Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 3.0 IGO yang dapat diakses secara bebas untuk penggunaan non-komersial.

.

Tautan The WHO AWaRe (Access, Watch, Reserve) antibiotic book adalah : https://www.who.int/publications/i/item/9789240062382

baca juga : https://www.who.int/publications/i/item/9789240062382

Resistensi antimikroba (AMR) adalah ancaman bagi kesehatan dan pembangunan global dan berkontribusi terhadap jutaan kematian di seluruh dunia setiap tahun. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat dan berlebihan, mendorong peningkatan AMR dan berdampak buruk pada efektivitas obat-obatan penting ini. Buku antibiotik WHO AWaRe (Access, Watch, Reserve) memberikan panduan singkat berbasis bukti tentang pilihan antibiotik, dosis, rute pemberian, dan durasi pengobatan untuk lebih dari 30 infeksi klinis paling umum pada anak-anak dan orang dewasa di baik perawatan kesehatan primer dan pengaturan rumah sakit. Informasi yang dimuat dalam buku ini mendukung rekomendasi antibiotik yang tercantum dalam Daftar Model Obat Esensial dan Obat Esensial Anak WHO dan klasifikasi antibiotik WHO AWaRe.

.

Sekitar 90% dari semua obat antibiotik telah diresepkan untuk pasien di fasilitas kesehatan primer. Selain itu, diperkirakan sekitar separuh dari semua penggunaan antibiotik tersebut tidak tepat dalam beberapa hal, seperti tidak ada indikasi, pemberian antibiotik spektrum luas yang tidak perlu, dosis yang keliru, durasi pengobatan yang tidak tepat, dan cara pemberian atau formulasi antibiotik yang kurang pas.

.

Kementerian Kesehatan RI on Twitter: "#TahukahKamu jika Antibiotik adalah  obat untuk mematikan atau menghambat pertumbuhan bakteri penyebab infeksi.  Bukan mematikan virus atau jamur #BijakAntibiotik @gemacermat  https://t.co/69BUIfisms" / Twitter

Pada buka panduan WHO tersebut, obat antibiotika dibedakan menjadi 3 jenis. Pertama, antibiotik spektrum sempit pada umumnya berharha lebih murah, aspek keamanan yang lebih baik, profil dan potensi resistensi umumnya rendah. Obat ini sering direkomendasikan sebagai pilihan pengobatan pertama atau kedua secara empiris untuk penyakit infeksi umum. Kedua, antibiotik spektrum yang lebih luas, umumnya dengan harga yang lebih mahal, dan direkomendasikan hanya sebagai pilihan pertama untuk pasien dengan klinis yang lebih parah, atau untuk infeksi di mana patogen penyebab lebih mungkin menjadi resisten. Dan ketiga, antibiotik cadangan yang merupakan antibiotik pilihan terakhir, yang digunakan hanya untuk mengobati infeksi multidrug-resistant.

.

Sistem AWaRe pada buku tersebut dilakukan menggunakan pendekatan lampu lalu lintas. Obat antibiotika yang aman (access) digunakan berwarna hijau, perlu waspada (watch) berwarna oranye, dan cadangan (reserve) berwarna merah. Sistem ini memudahkan untuk digunakan dalam fasilitas Kesehatan terbatas, seperti klinik dan apotek atau sebagai bagian dari pusat pemantauan konsumsi antibiotik di RS. Semua negara, wilayah, dan RS didorong untuk menggunakan buku AWaRe sebagai dasar untuk mengembangkan indikator dan target kualitas mereka sendiri, dalam mengurangi tingkat peresepan antibiotik yang tidak tepat, meningkatkan keselamatan dan perawatan pasien, sekaligus mengurangi infeksi resisten dan pembengkakan biaya untuk pasien pribadi dan sistem penjaminan pembiayaan kesehatan. Target WHO setidaknya 60% dari total resep obat antibiotik pada tahun 2023 dikeluarkan sesuai panduan tersebut.

.

Sebagian besar pasien sehat dengan infeksi umum ringan sebenarnya dapat diobati tanpa menggunakan obat antibiotik, karena infeksi ini sering sembuh sendiri dan efek samping terkait obat potensial lebih besar daripada manfaat klinisnya. Risiko buruk penggunaan antibiotik saat tidak dibutuhkan harus selalu diperhatikan, seperti terjadinya efek samping, reaksi alergi, infeksi ikutan oleh bakteri Clostridioides difficile dan terjadinya bakteri resisten obat. Pasien yang diterapi hanya dengan obat simptomatis tanpa pemberian antibiotik, harus diberi informasi dengan jelas tentang tanda bahaya apa yang harus dipantau dan apa yang harus dilakukan jika hal itu terjadi.

.

Pada tahun 2006, WHO mengusulkan persentase pasien yang berkunjung ke fasilitas kesehatan primer yang menerima antibiotik harus kurang dari 30%. Namun demikian, saat ini rata-rata sekitar setengah dari pasien yang mengalami infeksi apa pun di fasilitas kesehatan primer masih menerima antibiotik, sehingga berkontribusi terhadap muncul dan penyebaran resistensi antimikroba (AMR). Oleh karena itu, penting bagi tenaga kesehatan profesional dan pasien untuk mempertimbangkan risiko penggunaan obat antibiotik, ketika tidak benar-benar diperlukan.

Mengenal Jenis Antibiotik, Ketahui Manfaat Serta Efek Sampingnya bagi  Kesehatan | merdeka.com

Pasien yang paling sering diresepkan obat antibiotik adalah untuk infeksi jalan pernapasan dan saluran kemih, merupakan contoh penyakit infeksi  yang umumnya berkembang menjadi resisten terhadap antibiotik yang digunakan. Pasien ini juga lebih mungkin menularkan sifat resisten bakteri ke orang lain. Pasien dengan infeksi yang disebabkan oleh bakteri resisten antibiotik lebih mungkin mengalami pemulihan klinis yang tertunda. Selanjutnya, pengobatan antibiotik akan mengubah mikrobiota normal, yaitu semua mikroorganisme yang hidup di dalam atau di tubuh manusia, dengan potensi konsekuensi jangka panjang dan peningkatan risiko infeksi oleh Clostridioides difficile, bakteri yang dapat menyebabkan diare parah.

.

Setiap pasien dianjurkan untuk mengingatkan dokter, tentang kewajiban dokter untuk mempertimbangkan D8 (Diagnose, Decide, Drug, Dose, Delivery, Duration, Discuss and Document) sebelum meresepkan obat antibiotika kepada pasiennya. Pertama diagnosis, apa diagnosis klinis dan apakah ada bukti adanya infeksi bakteri yang signifikan. Dokter diwajibkan untuk memutuskan dengan bijak apakah obat antibiotik benar-benar dibutuhkan pasien atau apakah dokter perlu melakukan pemeriksaan biakan atau tes lain sebelum antibiotika diberikan. Kedua drug atau obat, jenis obat antibiotik apa yang paling tepat untuk diresepkan dan kategori antibiotik sesuai panduan WHO apakah ‘Access’, ‘Watch’, atau ‘Reserve’? Adanya alergi obat, interaksi dengan obat lain atau kontraindikasi pemberian obat lainnya seharusnya ditentukan sejak awal.

.

Ketiga dosis, yaitu berapa dosis yang paling tepat dan diberikan berapa kali sehari, apakah diperlukan penyesuaian dosis obat, misalnya karena ada gangguan fungsi ginjal. Juga ditentukan cara pemberiannya, apakah dengan ditelan, disuntikkan atau dioleskan. Keempat durasi atau lama pemberian obat, yang harus dihitung dengan cermat sampai dengan dosis terakhir. Kelima diskusikan dengan pasien tentang diagnosis, kemungkinan durasi gejala, obat apa pun yang mungkin menyebabkan toksisitas dan apa yang harus dilakukan jika tidak pulih. Keenam dokumen tertulis yang berisi semua keputusan yang disepakati dan rencana pengelolaan medis selanjutnya.

.

Sebagian besar penyakit infeksi umum di fasilitas kesehatan primer sebenarnya dapat ditangani tanpa menggunakan obat antibiotik. Mengurangi penggunaan obat antibiotik yang tidak tepat adalah kunci untuk mengendalikan resistensi antibiotik sesuai panduan The WHO AWaRe (Access, Watch, Reserve). Seharusnya para pasien juga terlibat aktif dalam membuat keputusan dokter, untuk penggunaan obat antibiotika sesuai panduan.

Apakah kita sudah melakukannya?

Sekian

Yogyakarta, 18 Desember 2022

*) Dokter spesialis anak di RS Panti Rapih Yogyakarta, Lektor FK UKDW, Alumnus S3 UGM.