Categories
COVID-19 Healthy Life

2020 Sepsis yang Mematikan

Sepsis | El Camino Health

SEPSIS  YANG  MEMATIKAN

fx. wikan indrarto*)

Laporan global pertama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang sepsis, yang dipublikasikan pada Selasa,  8 September 2020 menemukan bahwa sepsis adalah penyebab 1 dari 5 kematian di seluruh dunia. Sepsis membunuh 11 juta orang setiap tahun, terutama anak. Selain itu, upaya untuk mengatasi jutaan kematian dan kecacatan akibat sepsis, telah terhambat oleh kesenjangan yang serius, terutama di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Apa yang harus dilakukan?

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2020/09/26/2020-kematian-anak-terkait-covid-19/

.

Sepsis terjadi sebagai respons tubuh terhadap infeksi. Jika sepsis tidak dikenali secara dini dan ditangani dengan segera, hal itu dapat menyebabkan syok septik, kerusakan organ (multiple organ failure), dan kematian pasien. Pasien COVID-19 parah dan penyakit menular lainnya, berisiko lebih tinggi berkembang dan meninggal akibat sepsis. Bahkan penderita sepsis pun tidak lepas dari bahaya, karena hanya separuh yang akan sembuh total, sisanya akan meninggal dalam periode waktu 1 tahun, atau dibebani oleh kecacatan jangka panjang.

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2020/01/02/2020-menurunkan-angka-kematian-anak/

.

Sepsis secara tidak proporsional memengaruhi populasi yang rentan, terutama bayi baru lahir, wanita hamil, dan pasien dengan sumber daya yang rendah. Sekitar 85% kasus sepsis dan kematian terkait sepsis, terjadi di dalam kondisi tersebut. Hampir separuh dari 49 juta kasus sepsis setiap tahun terjadi pada anak, mengakibatkan 2,9 juta kematian, yang sebagian besar dapat dicegah melalui diagnosis dini dan manajemen klinis yang tepat. Kematian ini seringkali merupakan akibat dari penyakit diare atau pneumonia, yaitu infeksi saluran pernapasan bagian bawah.

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2019/05/09/2019-kematian-bayi/

.

Infeksi dalam bidang kebidanan, termasuk komplikasi setelah aborsi atau infeksi setelah operasi caesar, adalah penyebab kematian pada ibu peringkat ketiga yang paling umum. Secara global, diperkirakan dari setiap 1.000 wanita yang melahirkan, 11 wanita mengalami disfungsi organ parah yang berhubungan dengan infeksi atau kematian. Selain itu, sepsis sering kali disebabkan oleh infeksi yang didapat di RS. Sekitar setengah (49%) dari pasien dengan sepsis di unit perawatan intensif RS, justru tertular infeksi saat dirawat inap di RS. Diperkirakan 27% orang pasien dengan sepsis di bangsal umum RS dan 42% orang pasien di unit perawatan intensif akan meninggal.

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2019/01/17/2019-kematian-anak/

.

Resistensi antimikroba, khususnya terhadap obat antibiotika, merupakan tantangan utama dalam pengobatan sepsis. Hal itu mempersulit pengobatan infeksi, terutama pada infeksi yang berhubungan dengan layanan kesehatan (health-care associated infections). Kita semua haruslah khawatir tren perburukan tersebut akan semakin hebat, karena dipicu oleh penggunaan obat antibiotik yang tidak tepat selama pandemi COVID-19. Bukti menunjukkan bahwa sebenarnya hanya sebagian kecil pasien COVID-19 yang membutuhkan antibiotik untuk mengobati infeksi bakteri. WHO telah mengeluarkan panduan untuk tidak memberikan obat antibiotik sebagai terapi ataupun profilaksis, kepada pasien dengan COVID-19 ringan atau kepada pasien dengan dugaan atau dikonfirmasi COVID-19 sedang, kecuali ada indikasi klinis untuk melakukannya.

.

Lincolnshire leads the way on sepsis | East Midlands Ambulance Service NHS  Trust

Untuk itu, penciptaan sanitasi, kualitas dan ketersediaan air bersih yang lebih baik, serta tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi, seperti kebersihan tangan yang tepat, harus terus menerus dilakukan, karena dapat mencegah sepsis dan menyelamatkan nyawa pasien. Namun demikian, hal ini harus dibarengi dengan upaya diagnosis dini, manajemen klinis yang tepat, dan akses ke obat dan vaksin yang aman dan terjangkau. Intervensi ini dapat mencegah sebanyak 84% kematian bayi baru lahir akibat sepsis.

.

Selain itu, komunitas global perlu memperhatikan beberapa hal penting berikut ini. Pertama, memperbaiki desain penelitian dan pengumpulan data, terutama di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Kedua, meningkatkan advokasi global, pendanaan dan kapasitas penelitian untuk bukti epidemiologi tentang beban sepsis yang sebenarnya. Ketiga, memperbaiki sistem surveilans, mulai dari tingkat perawatan primer, termasuk penggunaan definisi standar sesuai dengan Klasifikasi Penyakit Internasional (ICD-11). Keempat, mengembangkan alat diagnostik yang cepat, terjangkau dan tepat, untuk meningkatkan identifikasi sepsis, pemantauan, pencegahan dan pengobatan. Yang terakhir adalah kelima, melibatkan dan mendidik petugas kesehatan dan masyarakat dengan lebih baik, untuk tidak meremehkan risiko infeksi yang dapat berkembang menjadi sepsis, dan menghindari komplikasi klinis sepsis.

.

Panduan tatalaksana medis yang jelas dan ketat tentang penggunaan obat antibiotik saat pandemi COVID-19 ini, akan membantu berbagai negara dalam menangani COVID-19 secara efektif, dan sekaligus mencegah muncul dan berkembangnya resistensi obat antibiotika dan sepsis yang mematikan.

Sudahkah kita bijak?

Sekian

Yogyakarta, 11 Oktober 2020

*) Dokter spesialis anak di RS Panti Rapih, Lektor di FK UKDW Yogyakarta, Alumnus S3 UGM, WA : 081227280161

Categories
Istanbul

2020 COVID-19 dan Anak

Manajemen Rumah Sakit PKMK FK UGM » Artikel MRS

COVID-19  DAN  ANAK

fx. wikan indrarto*)

Keberhasilan yang telah terjadi dalam meningkatkan derajat kesehatan ibu dan anak, telah terancam oleh konflik bersenjata, krisis iklim, dan pandemi COVID-19. Kecemasan ini tercantum dalam laporan baru dari ‘Every Woman Every Child’ pada hari Jumat, 25 September 2020. Apa yang mengkawatirkan?

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2020/10/06/2020-ancaman-covid-19/

.

Laporan berjudul : ‘Protect the Progress: Rise, Refocus, Recover (2020)’ menyoroti bahwa sejak gerakan ‘Every Woman Every Child’ diluncurkan 10 tahun lalu, yang dipelopori oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, telah terjadi kemajuan luar biasa dalam meningkatkan derajad kesehatan ibu, anak, dan remaja di seluruh dunia. Misalnya, kematian balita sepanjang masa tercatat mencapai terendah pada tahun 2019, dan lebih dari 1 miliar anak telah divaksinasi selama dekade terakhir. Cakupan imunisasi, penolong persalinan terlatih dan akses ke air minum yang aman mencapai lebih dari 80 persen. Kematian ibu menurun hingga 35 persen sejak tahun 2000, dengan penurunan paling signifikan terjadi sejak 2010. Diperkirakan 25 juta pernikahan remaja juga mampu dicegah selama dekade terakhir.

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2020/08/23/2020-resesi-rumah-sakit/

.

Namun demikian, konflik bersenjata, perubahan iklim, dan pandemi COVID-19 terbukti membahayakan derajat kesehatan dan kesejahteraan semua anak dan remaja. Krisis COVID-19 memperburuk ketidaksetaraan yang ada, dengan gangguan yang dilaporkan dalam intervensi kesehatan esensial berdampak secara tidak proporsional pada kelompok yang paling rentan, yaitu wanita dan anak. Pada puncak pembatasan sosial selama pandemi COVID-19, sekolah ditutup di 192 negara, mempengaruhi 1,6 miliar siswa. Kekerasan dalam rumah tangga dan pelecehan terhadap anak dan perempuan, dilaporkan meningkat, selain kemiskinan dan kelaparan yang jga memperparah kondisi.

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2020/09/26/2020-kematian-anak-terkait-covid-19/

.

“Bahkan sebelum pandemi COVID-19, seorang anak balita meninggal setiap enam detik di suatu tempat di seluruh dunia,” kata Henrietta Fore, Direktur Eksekutif UNICEF. Jutaan anak yang tinggal di zona konflik bersenjata dan lingkungan hidup yang rusak, menghadapi kesulitan yang lebih berat dengan timbulnya pandemi COVID-19. Pada tahun 2019 sekitar 5,2 juta anak balita dan 1 juta remaja secara global meninggal, karena penyebab kematian yang dapat dicegah. Selain itu, setiap 13 detik bayi baru lahir meninggal, setiap jam terdapat 33 ibu tidak selamat saat melahirkan, dan 33.000 gadis dalam sehari dipaksa menikah, biasanya dengan pria yang jauh lebih tua. Pada 2019, sekitar 82 persen kematian balita dan 86 persen kematian ibu terkonsentrasi di wilayah sub-Sahara Afrika dan Asia Selatan. Sembilan dari 10 infeksi HIV pada anak terjadi di wilayah sub-Sahara Afrika. Angka kematian ibu, bayi baru lahir, anak-anak dan remaja jauh lebih tinggi di banyak negara yang secara kronis terkena dampak konflik bersenjata.

.

Menuju Adaptasi Kebiasaan Baru
.

“Sudah terlalu lama, kesehatan dan hak perempuan, anak, dan remaja tidak mendapat perhatian yang memadai dan layanan tidak cukup didukung,” kata mantan Perdana Menteri Selandia Baru dan Ketua Dewan Kemitraan untuk Kesehatan Ibu, Bayi dan Anak, Helen Clark. Komunitas global perlu memerangi pandemi COVID-19, sambil tetap meningkatkan kualitas kehidupan perempuan dan anak, dan tidak memperlebar kesenjangan antara janji dan kenyataan. Pandemi COVID-19 mengancam untuk memutar mundur waktu kemajuan bertahun-tahun dalam kesehatan reproduksi, ibu, anak, dan remaja.  

.

Tanpa upaya intensif untuk memerangi penyebab kematian anak yang dapat dicegah, 48 juta anak balita dapat meninggal antara tahun 2020 dan 2030. Hampir setengah dari kematian tersebut terjadi pada bayi baru lahir.

Gerakan ‘Every Woman Every Child’ menjadi lebih kritis dari sebelumnya, saat kita memasuki Dekade Aksi SDG di tengah krisis kesehatan global terburuk. Momentum gerakan harus terus memperjuangkan multilaterialisme, untuk memobilisasi tindakan di semua sektor untuk melindungi kesehatan dan kesejahteraan setiap wanita, anak dan remaja dimanapun. “Tidak ada keraguan bahwa pandemi COVID-19 telah menghambat upaya global, untuk meningkatkan derajat kesehatan dan kesejahteraan wanita dan anak,” kata Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal WHO.

.

Memahami ekonomi politik penanganan COVID-19 - ALMI
.

Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia sebesar 305 per 100.000 kelahiran hidup (SUPAS, 2015) dan Angka Kematian Bayi (AKB) sebesar 24 per 1.000 kelahiran hidup (SKDI, 2017). Progam percepatan penurunan AKI dan AKB perlu digalakkan dengan target di tahun 2024 AKI tinggal 183 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB menjadi 15 per 1.000 kelahiran hidup. Aksi bersama di bawah gerakan ‘Every Woman Every Child’ terbukti lebih penting dari sebelum pandemi COVID-19, untuk menciptakan dunia yang lebih sehat, lebih aman, lebih adil, dan lebih berkelanjutan bagi wanita, anak, dan generasi mendatang, termasuk di Indonesia.

Sudahkah terlibat?

Sekian

Yogyakarta, 8 Oktober 2020

*) Dokter spesialis anak di RS Panti Rapih Yogyakarta, Lektor FK UKDW, Alumnus S3 UGM, WA: 081227280161, e-mail : fxwikan_indrarto@yahoo.com

Categories
Istanbul

2020 Makanan Sehat Saat COVID-19

Ketahui Prinsip Penyajian Makanan Sehat Untuk Anak Berikut Ini | Enervon

MAKANAN  SEHAT  SAAT  COVID-19

fx. wikan indrarto*)

Saat ini tidak ada bukti bahwa orang dapat tertular COVID-19 dari makanan, termasuk buah dan sayuran segar. Keduanya adalah bagian dari diet sehat dan konsumsinya harus terus didorong. Bagaimana sebaiknya?

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2020/10/06/2020-ancaman-covid-19/

.

Sistem kekebalan tubuh membutuhkan dukungan dari banyak nutrisi. Setiap orang direkomendasikan untuk mengkonsumsi berbagai makanan dalam diet yang sehat dan seimbang, termasuk makanan bijian, polongan, sayuran, buah, kacang dan protein hewani. Tidak ada satu jenis makanan tunggal yang akan mampu mencegah dari tertular COVID-19.

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2020/08/23/2020-resesi-rumah-sakit/

.

Sebelum makan buah dan sayur, wajib cuci tangan dengan sabun dan air mengalir. Kemudian cuci bersih buah dan sayur dengan air bersih, terutama jika akan dimakan mentah (raw food diet). Saat ini tidak ada bukti bahwa orang dapat tertular COVID-19 dari makanan yang dimasak, termasuk produk hewani. Virus yang menyebabkan COVID-19 dapat dimatikan pada suhu panas, mirip dengan virus dan bakteri lain yang ditemukan dalam makanan. Makanan seperti daging, unggas, dan telur harus selalu dimasak sampai suhu paling tidak 70 °C. Sebelum memasak, produk hewani mentah harus ditangani dengan hati-hati, untuk menghindari kontaminasi silang dengan makanan yang dimasak.

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2020/09/23/2020-dokter-dan-rs-era-normal-baru/

.

COVID-19 membutuhkan hewan hidup atau inang manusia, untuk berkembang biak dan bertahan hidup, serta tidak dapat berkembang biak di permukaan kemasan makanan. Bahan kemasan makanan tidak perlu didisinfeksi, tetapi tangan harus dicuci dengan benar setelah menerima paket makanan dan sebelum makan. Secara umum pergi berbelanja ke toko grosir dan pasar makanan lainnya adalah aman, dengan mengikuti langkah-langkah pencegahan berikut ini. Bersihkan tangan dengan cairan pembersih sebelum memasuki toko. Tutupi mulut saat batuk atau bersin dengan siku atau jaringan yang tertekuk. Pertahankan jarak setidaknya 1 meter dari orang lain. Setelah pulang, cuci tangan dengan bersih di rumah, dan juga diulang setelah menangani dan menyimpan produk makanan yang dibeli. Sampai saat ini tidak ada kasus COVID-19 yang dikonfirmasi, yang ditularkan melalui makanan atau kemasan makanan.

.

Cara Tepat Menyusun Makanan di Tengah Pandemi Covid-19
.

Lakukan desinfeksi di rumah tangga secara teratur, yang akan secara efektif menghilangkan virus dari permukaan barang-barang di rumah. Untuk membersihkan dan mendisinfeksi barang rumah tangga yang dicurigai atau dikonfirmasi COVID-19, disinfektan virucidal permukaan, seperti 0,05% natrium hipoklorit (NaClO) dan produk yang berbahan dasar etanol (setidaknya 70%), harus digunakan.

.

Suplemen mikronutrien (vitamin dan mineral) saja tidak dapat mencegah COVID-19 pada orang sehat, atau menyembuhkannya pada mereka yang menderita penyakit COVID-19. Saat ini tidak ada panduan tentang suplementasi mikronutrien untuk pencegahan COVID-19 pada individu sehat atau untuk pengobatan COVID-19. Mikronutrien sangat penting untuk sistem kekebalan agar berfungsi dengan baik, dan memainkan peran penting dalam meningkatkan derajad kesehatan dan kesejahteraan. Jika memungkinkan, asupan zat gizi mikro atau mikronutrien harus berasal dari makanan yang bergizi seimbang dan beragam, termasuk dari buah, sayuran, dan protein hewani.

.

Vitamin D dapat dibuat di kulit manusia dengan paparan sinar matahari. Selain itu, dapat juga diperoleh melalui makanan dari sumber alami (misalnya ikan berlemak seperti salmon, tuna dan mackerel, minyak hati ikan, hati sapi, keju dan kuning telur), atau dari makanan yang diperkaya atau suplemen yang mengandung vitamin D. Dalam situasi di mana status vitamin D individu sudah marjinal atau di mana makanan kaya vitamin D (termasuk makanan yang diperkaya vitamin D) tidak dikonsumsi, dan paparan sinar matahari terbatas, suplemen vitamin D dalam dosis asupan nutrisi yang direkomendasikan (200-600 IU, tergantung usia), dapat dipertimbangkan.

.

Saat ini tidak ada teh herbal atau suplemen herbal lainnya yang dapat membantu mencegah atau menyembuhkan COVID-19. Tidak ada bukti yang mendukung penggunaan teh herbal atau suplemen herbal untuk mencegah atau menyembuhkan COVID-19. Demikian juga probiotik tidak terbukti mampu membantu mencegah COVID-19. Probiotik adalah mikroorganisme hidup yang umumnya ditambahkan ke makanan atau digunakan sebagai suplemen makanan, untuk memberikan manfaat kesehatan. Namun demikian, saat ini tidak ada bukti yang mendukung penggunaan probiotik untuk membantu mencegah atau menyembuhkan COVID-19.

.

Demikian juga minuman dan makanan yang mengandung jahe, belum ada bukti yang menunjukkan bahwa mampu membantu mencegah COVID-19. Namun demikian, jahe adalah makanan yang mungkin memiliki sifat antimikroba dan anti-inflamasi. Tidak ada bukti bahwa makan bawang putih dapat melindungi orang dari COVID-19. Namun demikian, bawang putih adalah makanan yang mungkin memiliki beberapa sifat antimikroba. Selain itu, tidak ada bukti bahwa menambahkan merica (hot peppers) dan cabai (pepper) ke dalam makanan dapat mencegah atau menyembuhkan COVID-19.

.

Pandemi COVID-19 megajarkan kita tentang perlunya dukungan nutrisi lengkap, dalam salah satu langkah pengendalian pandemi COVID-19. 

Apakah kita sudah bijak?

Yogyakarta, 2 Oktober 2020

*) Dokter spesialis anak RS Panti Rapih, Lektor di FK UKDW Yogyakarta, Alumnus S3 UGM, WA : 081227280161

Categories
Istanbul

2020 Ancaman COVID-19

World Health Statistics

ANCAMAN  COVID-19

fx. wikan indrarto*)

Di seluruh dunia, pandemi COVID-19 menyebabkan kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortalitas) yang signifikan, mengganggu mata pencaharian, melemahkan ekonomi, mengancam kemajuan pembangunan bidang kesehatan, dan kemajuan menuju tujuan pembangunan global. Hal itu terlihat pada ‘World Health Statistics’ yang terbit Rabu, 13 Mei 2020. Apa yang mencemaskan?

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2020/08/23/2020-resesi-rumah-sakit/

.

“Sebagian besar orang di seluruh dunia telah hidup lebih lama dan lebih sehat (living longer and healthier). Namun demikian, laju kemajuannya terlalu lambat untuk mencapai (too slow to meet) Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, bahkan terancam oleh ganasnya COVID-19,” kata Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal WHO.

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2020/10/03/2020-infodemik-covid-19/

.

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) merupakan suatu rencana aksi global yang disepakati oleh para pemimpin dunia, termasuk Indonesia, guna mengakhiri kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan sekitar. SDGs berisi 17 Tujuan dan 169 Target yang diharapkan dapat dicapai pada tahun 2030.

.

Pandemi menunjukkan adanya kebutuhan mendesak bagi semua negara, untuk berinvestasi dalam membentuk sistem kesehatan dan layanan kesehatan primer yang kuat, sebagai pertahanan terbaik terhadap wabah seperti pandemi COVID-19. Selain itu, juga akan mampu mengahadapi banyak ancaman kesehatan lain di seluruh dunia setiap hari.

.

Statistik Kesehatan Dunia 2020 yang memuat laporan kemajuan terhadap serangkaian indikator kesehatan dan layanan kesehatan utama, mengungkapkan beberapa pelajaran penting dalam hal kemajuan yang dibuat menuju Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selain itu, juga kesenjangan yang masih harus ditutup. Harapan hidup dan harapan sehat warga telah meningkat, tetapi tidak merata. Perbaikan terbesar dilaporkan terjadi di negara berpenghasilan rendah, yaitu umur harapan hidup naik 21% atau 11 tahun antara tahun 2000 dan 2016, dibandingkan dengan peningkatan 4% atau 3 tahun di negara berpenghasilan tinggi. Salah satu pendorong kemajuan derajad kesehatan di negara berpenghasilan rendah adalah peningkatan akses ke layanan untuk mencegah dan mengobati penyakit menular utama, yaitu HIV, malaria dan TBC, serta sejumlah penyakit tropis terabaikan seperti kecacingan. Faktor lainnya adalah perbaikan dalam layanan kesehatan ibu dan anak yang lebih baik, yang menyebabkan penurunan setengah kematian anak antara tahun 2000 dan 2018.

.

Namun demikian, di sejumlah daerah dan negara kemajuan telah terhenti. Cakupan imunisasi untuk anak hampir tidak meningkat dalam beberapa tahun terakhir, dan ada kekhawatiran bahwa keberhasilan pemberantasan malaria juga dapat hilang. Selain itu, akan ada kekurangan dalam keseluruhan layanan kesehatan, yang bertujuan untuk mencegah dan mengobati Penyakit Tidak Menular (PTM) seperti kanker, diabetes, penyakit jantung, paru-paru, dan stroke. Pada tahun 2016, sekitar 71 persen dari semua kematian di seluruh dunia disebabkan oleh PTM, dengan mayoritas dari 15 juta kematian dini (85%) terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah.

.

Kemajuan yang tidak merata ini secara luas mencerminkan ketidaksetaraan warga masyarakat, dalam akses ke layanan kesehatan yang berkualitas. Hanya antara sepertiga dan setengah populasi dunia yang dapat memperoleh layanan kesehatan esensial pada 2017. Cakupan layanan di negara berpenghasilan rendah dan menengah masih jauh di bawah cakupan di negara kaya, seperti halnya pemenuhan jumlah dokter dan tenaga kesehatan profesional lainnya. Di lebih dari 40% negara, ada kurang dari 10 dokter per 10.000 orang penduduk. Lebih dari 55% negara memiliki kurang dari 40 tenaga keperawatan dan kebidanan per 10.000 orang.

.

Ketidakmampuan untuk membayar biaya layanan kesehatan merupakan tantangan besar bagi banyak orang. Pada tahun 2020, sekitar 1 miliar orang (hampir 13 persen dari populasi global) akan membelanjakan setidaknya 10% dari anggaran rumah tangga mereka untuk perawatan kesehatan. Mayoritas orang ini tinggal di negara berpenghasilan menengah ke bawah.

.

“Pandemi COVID-19 mengajarkan kita akan adanya kebutuhan untuk melindungi orang dari keadaan darurat kesehatan. Selain itu, juga pentingnya mempromosikan cakupan kesehatan semesta atau Universal Health Couveraga (UHC) dan menciptakan populasi yang lebih sehat, agar orang tidak terlalu membutuhkan layanan kesehatan, melalui intervensi multisekotral seperti meningkatkan kebersihan dasar dan sanitasi.

.

Pada tahun 2017 lebih dari setengah (55%) populasi global diperkirakan tidak memiliki akses ke layanan sanitasi kesehatan dan lebih dari seperempat (29%) tidak memiliki akses ke air minum bersih. Pada tahun yang sama, dua dari lima rumah tangga secara global (40%) tidak memiliki fasilitas cuci tangan dasar dengan sabun dan air di rumah mereka. Itulah tantangan utama menciptakan populasi yang lebih sehat.

.

Laporan ‘World Health Statistics’ yang terbit Rabu, 13 Mei 2020, mengingatkan tentang hebatnya ancaman pandemi COVID-19. Pada saat dunia memerangi pandemi yang paling serius dalam 100 tahun terakhir, kita hanya tinggal memiliki satu dekade dari tenggat waktu SDG. Untuk itu, kita harus bertindak bersama dalam memperkuat layanan kesehatan primer, layanan medis non COVID-19, dan fokus pada populasi yang paling rentan di antara kita. Tujuannya adalah untuk menghilangkan ketidaksetaraan akses layanan kesehatan, yang dapat menentukan siapa yang akan hidup lebih lama dan lebih sehat, dengan siapa yang tidak. 

Sudahkah kita bijaksana?

Sekian

Yogyakarta, 17 Mei 2020

*) Dokter spesialis anak di RS Panti Rapih Yogyakarta, Lektor FK UKDW, Alumnus S3 UGM, WA: 081227280161, e-mail : fxwikan_indrarto@yahoo.com

Categories
COVID-19 Healthy Life

2020 INFODEMIK COVID-19

Situasi Terkini Perkembangan Coronavirus Disease (COVID-19) 14 September  2020 » Info Infeksi Emerging Kementerian Kesehatan RI

INFODEMIK  COVID-19

fx. wikan indrarto*)

Virus SAR CoV-2 mungkin tidak lebih menyebar secara global saat pandemi COVID-19 dibandingkan informasinya, sehingga justru telah terjadi infodemik COVID-19. Mengelola infodemik COVID-19 harus dilakukan untuk mengurangi bahaya dari kesalahan informasi atau disinformasi. Apa yang harus dilakukan?

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2020/08/23/2020-resesi-rumah-sakit/

.

WHO, PBB, UNICEF, UNDP, UNESCO, UNAIDS, ITU, UN Global Pulse, dan IFRC telah berkoordinasi pada Rabu, 23 September 2020. COVID-19 adalah pandemi pertama dalam sejarah di mana teknologi dan media sosial digunakan dalam skala besar untuk membuat semua orang tetap aman, terinformasi, produktif, dan terhubung. Pada saat yang sama, teknologi informasi yang diandalkan agar segenap warga tetap terhubung dan terinformasi, justru memungkinkan dan memperkuat infodemik, yang  malah merusak respons global dan membahayakan langkah pengendalian pandemi COVID-19.

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2020/09/26/2020-jantung-dan-covid-19/

.

Infodemik adalah informasi yang melimpah, baik online maupun offline. Ini termasuk upaya yang disengaja dalam menyebarkan informasi yang salah, untuk mengganggu respons kesehatan masyarakat dan memajukan agenda alternatif kelompok atau individu tertentu. Kesalahan kolektif dan informasi yang salah dapat membahayakan kesehatan fisik dan mental banyak orang, meningkatkan stigmatisasi, dan mengancam derajad kesehatan. Selain itu, juga mengarah pada ketaatan yang buruk terhadap protokol kesehatan masyarakat, sehingga mengurangi keefektifannya dan membahayakan kemampuan banyak negara untuk menghentikan pandemi COVID-19.

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2020/09/16/2020-keselamatan-pasien-covid-19/

.

Misinformasi sangat mungkin dapat menelan korban jiwa. Bahkan di Iran, ratusan orang tewas karena meminum methanol alkohol yang disebut bisa menyembuhkan pasien COVID-19. Tanpa kepercayaan yang tepat dan informasi yang benar, tes diagnostik dapat tidak digunakan, kampanye imunisasi atau kampanye untuk mempromosikan vaksin yang efektif, juga tidak akan memenuhi target, sehingga pandemi COVID-19 akan terus berkembang. Selain itu, disinformasi mempolarisasi debat publik tentang topik yang terkait dengan COVID-19, meningkatkan ujaran kebencian, mempertinggi risiko konflik, kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia, dan bahkan mengancam prospek jangka panjang untuk memajukan demokrasi, hak asasi manusia, dan kohesi sosial. Dalam konteks ini, Sekretaris Jenderal PBB meluncurkan inisiatif ‘United Nations Communications Response’ untuk memerangi penyebaran mis dan disinformasi pada April 2020. PBB juga mengeluarkan Panduan Penanggulangan Ujaran Kebencian (Hate Speech) terkait COVID-19, yang dikeluarkan pada 11 Mei 2020.

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2020/09/09/2020-gangguan-layanan-medis/

.

Pada sidang Majelis Kesehatan Dunia Mei 2020, Negara Anggota WHO mengeluarkan Resolusi WHA73.1 tentang tanggapan COVID-19. Resolusi tersebut mengakui bahwa mengelola infodemik adalah bagian penting dalam mengendalikan pandemi COVID-19. Resolusi tersebut meminta semua negara Anggota untuk menyediakan konten COVID-19 yang andal, mengambil tindakan untuk melawan kesalahan dan disinformasi, serta memanfaatkan teknologi digital untuk merespons. Resolusi tersebut juga menyerukan kepada organisasi internasional untuk mengatasi kesalahan dan disinformasi di ranah digital, bekerja untuk mencegah kejahatan cyber yang berbahaya, karena mampu merusak respon kesehatan, dengan mendukung penyediaan data berbasis sains kepada publik.

.

Infodemik COVID-19 yang sebagian besar berisi rumor, stigma, dan teori konspirasi yang tersebar di media sosial dan surat kabar online teridentifikasi di enam negara, salah satunya Indonesia. Hal itu termuat dalam penelitian yang diterbitkan ‘The American Society of Tropical Medicine and Hygiene’ dan dipublikasikan secara online pada 10 Agustus 2020. Dari 2.311 laporan terkait infodemik COVID-19 dalam 25 bahasa dari 87 negara, yang terbanyak beredar di India, Amerika Serikat, China, Spanyol, Indonesia, dan Brazil. Rumor diartikan sebagai klaim, pernyataan, dan diskusi seputar COVID-19 yang belum terverifikasi.

.

Update Corona Indonesia 28 Maret: Covid-19 Tersebar di 28 Provinsi -  Tirto.ID
.

WHO pun tak tinggal diam melawan infodemik COVID-19 dan mengambil 3 langkah penting. Pertama, menyisir website yang menyebarkan informasi palsu atau hoaks oleh lembaga pemeriksa fakta independen, berdasarkan kebijakan resmi yang diambil oleh pemerintah, WHO, ataupun PBB. Salah satu contoh mencolok kasus ini adalah “Plandemi”, video teori konspirasi berdurasi 26 menit yang secara keliru menuduh Dr. Anthony Fauci, pakar penyakit menular terkemuka di Amerika Serikat, memproduksi virus dan mengirimkannya ke China.

.

Kedua, menggunakan kecerdasan buatan atau Artificial Intelegence (AI), untuk dapat mengembangkan strategi ofensif yang efektif, dalam meredakan kekhawatiran publik sebelum informasi yang salah dapat berkembang. Ketiga, menggandeng komunitas lokal di manapun, karena WHO menyadari informasi tentang COVID-19 harus diterapkan berbeda di masing-masing negara. Oleh sebab itu, WHO menggandeng bukan sekedar insitutsi pemerintah setempat, tetapi juga komunitas pemuda, jurnalis, dan organisasi berbasis agama untuk secara bersama-sama mengembangkan panduan praktis untuk masyarakat, yang disesuaikan dengan konteks dan budaya setempat.

.

HEADLINE: Kasus COVID-19 Salip China, Indonesia Bakal Jadi Episentrum Virus  Corona di Asia? - Global Liputan6.com

Pandemi COVID-19 megajarkan kita tentang bahaya infodemik, yang  malah merusak respons global dan membahayakan langkah pengendalian pandemi COVID-19. Apakah kita sudah bijak?

.

Yogyakarta, 29 September 2020

*) Dokter spesialis anak RS Panti Rapih, Lektor di FK UKDW Yogyakarta, Alumnus S3 UGM, WA : 081227280161