NOSTALGIA KAPUAS BANJARMASIN 2013
fx. wikan indrarto*)
Liburan tengah tahun 2013, kami isi dengan acara Nostalgia di Kuala Kapuas, sebuah kota di Propinsi Kalimantan Tengah, yang cukup sering disingkat dengan Kapuas. Kami menghabiskan 1 tahun penuh pada tahun 2000, dengan bertugas sebagai dokter spesialis anak di RSUD Dr. Soemarno Sosroatmodjo dan mama Sari menjadi dokter gigi di Puskesmas Selat. Yudhistira (mas Yudhi, anak sulung yang sekarang sudah kuliah), saat itu kelas 1 SD dan Bimoseno (dik Bimo anak tengah yang sekarang SMP), saat itu lahir dan dibaptis di sana. Dik Larasati (anak bungsu) yang sekarang kelas 6 SD.
|
|
Mendarat di Bandara Samsudin Noor, Banjarmasin (Propinsi Kalimantan Selatan), dengan Boeing 737 NG Lion Air JT 522 (gambar 1)
|
Makan siang menu lokal, nasi bungkus itik goreng kuah merah khas Banjar, tanpa sayur secuilpun (gambar 2).
|
|
|
Jembatan Barito, jembatan sepanjang 2,2 km melintasi Sungai Barito yang paling lebar di Kalimantan Selatan, dan merupakan batas alam menyeberang ke Kalimantan Tengah (gambar 3).
|
Papan nama Danumare di Pasar Kuala Kapuas, Kalteng masih sama persis dengan yang kami lihat tahun 2000 (gambar 4).
|
Perjalanan kami awali dengan pendaratan di Bandara Samsudin Noor, Banjarmasin (Propinsi Kalimantan Selatan), dengan Boeing 737 NG Lion Air JT 522 (gambar 1). Acara dilanjutkan makan siang menu lokal, nasi bungkus itik goreng kuah merah khas Banjar, tanpa sayur secuilpun (gambar 2). Kami makan di Desa Gambut, menjelang masuk kota Banjarmasin, di pinggir jalan trans Kalimantan yang lebar, halus, lurus dan ramai. Perjalanan kami lanjutkan dengan menyeberangi Jembatan Barito, jembatan terpanjang selama Orde baru berkuasa, terbentang 2,2 km melintasi Sungai Barito yang paling lebar di Kalimantan Selatan, dan merupakan batas alam menyeberang ke Kalimantan Tengah (gambar 3). Dalam waktu 1 jam dengan sebuah Kijang Innova 2004 type G, kami sudah mencapai jantung kota Kapuas. Langsung kami nenuju rumah dinas RS yang telah disediakan oleh dr. Bawa Budi Raharjo, direktur rumah sakit tersebut. Selanjutnya kami menuju Pusat Perbelanjaan Danumare, sebuah pasar di samping pelabuhan. Di pasar inilah, di awal Maret 2000, kami menginjakkan kaki pertama kali di Kapuas. Papan nama Danumare masih sama persis dengan yang kami lihat tahun 2000 (gambar 4). Malam hari, kami habiskan di bunderan selamat datang, di gerbang Kuala Kapuas, Kota Air (gambar 5), yang merah menyala dan megah.
|
|
Di bunderan selamat datang, di gerbang Kuala Kapuas, Kota Air di Kalteng (gambar 5), yang merah menyala dan megah.
|
Di depan patung Panglima Burung Dayak di pusat Kuala Kapuas, Kota Air di Kalteng (gambar 6).
|
|
|
Rumah dinas dokter di kompleks RS setelah direnovasi, yang dulu kami tempati (gambar 7)
|
Rumah dinas dokter yang kami tempati tahun 2000, sederhana dan penuh memori
|
|
|
Bergaya dengan Dr. Diana Yuniarti, sekarang Kepala UGD RSUD Kuala Kapuas Kalteng (gambar 8)
|
Kebun milik Dr. H. Bawa Budi Raharja (Direktur RSUD Kuala Kapuas) di daerah Basarang, (gambar 9)
|
Kamis, 4 Juli 2013 pagi buta, kami berdua keliling kota naik motor dan berfoto penuh kengerian, di depan patung Panglima Burung (gambar 6). Panglima ini lambang kegagahan suku Dayak, saat terjadi bentrok massal melawan suku Madura yang menewaskan lebih dari 100 orang dan menjadi salah satu pencetus kepulangan kami ke Yogyakarta pada awal tahun 2001. Setelah semua terjaga, kami semua menikmati suasana nostalgia di kompleks RS. Pertama-tama adalah rumah dinas dokter yang dulu kami tempati (gambar 7). Saat ini sudah megah dan dilengkapi dengan mobil dinas dokter, Avanza type E tahun 2006 (gambar 7), bergaya dengan Dr. Diana Yuniarti, sekarang Kepala UGD RSUD Kapuas (gambar 8), dan main di kebun Dr. Bawa Budi Raharja, sekarang Direktur RSUD Kapuas. Kedua dokter senior di RSUD Kapuas tersebut masih kami kenang, karena pada waktu tahun 2000 sudah kami kenal. Kami habiskan siang itu di kebun milik dr. Bawa di daerah Basarang, yang penuh buah kelengkeng, buah naga dan buah anggur, disertai kolam ikan patin, dan rumah burung walet (gambar 9).
|
|
Semilir angin di pinggir Sungai Kapuas yang lebar, di dermaga penumpang kapal (gambar 10)
|
Dermaga yang sama dengan yang dulu kita nikmati, saat Yangti menggendong dik Bimo (anak tengah) Maret 2001.
|
|
|
Naik perahu kecil bermotor tunggal yang berbunyi ‘klothok-klothok’ saat melaju, sehingga dinamakan kelotok (gambar 11).
|
Melihat kehidupan warga di sepanjang pinggir sungai Kapuas di Kalteng (gambar 12),
|
|
|
Jembatan merah dari kayu yang legendaris, tetap asri di tahun 2013 (gambar 13).
|
Jembatan merah dari kayu yang legendaris yang kami kunjungi Maret 2001, saat dik Bimo (anak tengah) masih bayi
|
Nostalgia selanjutnya adalah mencoba semilir angin di Sungai Kapuas yang lebar. Kami menyusuri pelabuhan (gambar 10), dermaga yang sama dengan yang dulu kami injak saat kami pertama kali datang dari Palangka Raya di Maret 2000. Kemudian kami naik perahu kecil bermotor tunggal yang berbunyi ‘klothok-klothok’ saat melaju, sehingga dinamakan kelotok (gambar 11). Kami menyebrang Sungai Kapuas yang lebar dan padat lalu lintas air, untuk menuju ke Dahirang, sebuah sentra kerajinan rotan dan getah karet, untuk disusun menjadi cindera mata khas Kalimantan Tengah. Selanjutnya kami menyusur Sungai kapuas lagi, untuk melihat kehidupan warga pinggir sungai (gambar 12), yang tinggal di rumah panggung dari kayu ulin yang tahan air dan menyusuri Anjir (Kanal) Serapat. Anjir ini menghubungkan Sungai Kapuas dengan Sungai Barito, yang dilengkapi dengan jembatan merah dari kayu yang legendaris (gambar 13).
|
|
Replika rumah adat dayak yang tinggi dan besar di pusat kota Kuala Kapuas Kalteng (gambar 14).
|
Mengunjungi SD St. Paulus di Jl. Tjilik Riwut Kuala Kapuas. Mobil antar jemput murid yang dulu, masih nampak bugar terawat (gambar 15).
|
|
|
Mas Yudhi (anak sulung) saat duduk di kelas 1 SD St. Paulus di Jl. Tjilik Riwut Kuala Kapuas, di tahun 2000.
|
Mengunjungi SD St. Paulus di Jl. Tjilik Riwut, sekolah mas Yudhi saat kelas 1 di tahun 2000 (gambar 15).
|
Perjalanan nostalgia dilanjutkan dengan melihat replika rumah adat dayak yang tinggi dan besar di pusat kota Kapuas (gambar 14), mengunjungi SD St. Paulus di Jl. Tjilik Riwut, sekolah mas Yudhi saat kelas 1 di tahun 2000. Mobil antar jemput yang dulu dia naiki, masih nampak bugar terawat (gambar 15). Kami menyusuri Jl. Patih Rumbi untuk menuju Gereja Katolik St. Mateus yang berwibawa (gambar 16). Mas Yudhi pernah aktif sebagai misdinar, lektor anak dan pemeran Yosef saat drama Natal Anak di gereja tersebut (gambar 16). Di Gereja St. Mateus itu juga, dik Bimo dibaptis pada malam Natal 2000 oleh Rm. Lulus Widodo, Pr dan diberinya nama permandian Karol, untuk mengenal Karol Wotjila (nama asli Paus Yohannes Paulus 2), yang menetapkan tahun 2000 tersebut sebagai Tahun Yubelium.
|
|
Gereja Katolik St. Mateus Kuala Kapuas, Kalteng yang artistik dan berwibawa (gambar 16).
|
Dik Bimo (bayi) dibaptis pada malam Natal 2000 oleh Rm. Lulus Widodo, Pr dan bersama dengan anak Dr. Diana Yuniarti juga
|
|
|
Sore harinya, kami bergaya melihat sunset di dermaga Patih Rumbi, tepi sungai Kapuas (gambar 17)
|
Mengunjungi rumah keluarga Pak dan Bu Prianto (wali baptis dik Bimo), di Kuala Kapuas (gambar 18).
|
Sore harinya, kami bergaya melihat sunset di dermaga Patih Rumbi (gambar 17), dan mengunjungi Pak dan Bu Prianto (wali baptisnya dik Bimo) (gambar 18). Sebelum meninggalkan kota kenangan, kami sempatkan bergaya di depan gerbang RSUD Kapuas yang nampak gagah (gambar 19) dan Puskesmas Selat di Kecamatan Selat (gambar 20), tempat mama Sari menghabiskan 8 bulan 1 minggu sebagai dokter gigi di sana pada awal tahun 2000 yang lalu.
|
|
Gerbang RSUD Kuala Kapuas, tempat kami dulu bertugas sebagai dokter spesialis anak, yang nampak gagah (gambar 19)
|
Puskesmas Selat di Kecamatan Selat (gambar 20), tempat mama Sari menghabiskan 8 bulan 1 minggu sebagai dokter gigi di sana pada awal tahun 2000 yang lalu.
|
|
|
Pamitan di bunderan Kuala Kapuas Kota Air, dalam pagi yang cerah dan menyilaukan Jumat, 5 Juli 2013 (gambar 21).
|
RS Suaka Insan, di Jl. H. Zafri Zam-zam no 60, di jantung kota Banjarmasin (gambar 22), tempat dik Bimo lahir.
|
|
|
Hampir semua bangunan RS Suaka Insan masih persis sama seperti yang kami lihat 13 tahun yang lalu, termasuk gerbang (gambar 23)
|
Pintu kamar no 29 dengan selasar atau lorong RS Suaka Insan Banjarmasin, ruang rawat gabung saat dik Bimo dulu lahir (gambar 24).
|
Perjalanan nostalgia kami lanjutkan dengan ucapan selamat tinggal di bunderan Kuala Kapuas Kota Air, dalam pagi yang cerah Jumat, 5 Juli 2013 (gambar 21). Perjalanan di dalam perut Innova 2004 type G, berlangsung lancar mencapai pusat kota Banjarmasin dalam 1 jam lebih 20 menit. Kami segera menuju RS Suaka Insan, di Jl. H. Zafri Zam-zam no 60, di jantung kota Banjarmasin (gambar 22). Kami mendapati hampir semua bangunan masih persis sama seperti yang kami lihat 13 tahun yang lalu, termasuk gerbang (gambar 23) dan selasar atau lorong RS (gambar 24). Kami napak tilas perjalanan tertatih-tatih mama Sari, karena persalinan sudah mulai masuk kala I, saat keluar dari Pav. Maria Kamar nomor 29, menuju Kamar Bersalin. Lantai dan lorongnya masih persis sama dengan yang dahulu menjadi saksi detik-detik lahirnya dik Bimo, sampai bertemu kembali dengan Sr. Imelda, SPC, yang dahulu mendekap hangat bayi dik Bimo (gambar 25). Sr. Imelda, SPC sangat terharu mengenangnya, karena kami menunjukkan foto beliau saat menggendong bayi dik Bimo dengan mesra. Dari Sr. Imelda, SPC inilah kami mendapatkan informasi, bahwa Sr. Rita, SPC yang dahulu juga menggendong bayi dik Bimo, saat ini sedang study di Universitas Sanata Dharma di Yogyakarta, sehingga kami cari di biara Sambilegi, Kalasan, Yogyakarta, segera setelah kami selesai liburan (gambar 25).
|
|
Sr. Imelda, SPC, yang dahulu mendekap hangat bayi dik Bimo saat baru lahir (gambar 25).
|
Bayi dik Bimo tidur nyenyak di kamar no 29 RS Suaka Insan Banjarmasin, lahir pada 28 Oktober 2000
|
Nostalgia Banjarmasin kami lanjutkan dengan perjalanan ke pelabuhan Trisakti di pinggir sungai Barito yang lebar dan dalam. Gerbang Bandarmasih, nama baru pelabuhan tersebut, sangat megah dan artistik (gambar 26). Di gerbang pelabuhan itulah kami dahulu mencari info, untuk pulang ke Pulau Jawa naik kapal laut, karena harga tiketnya yang cukup terjangkau, dibandingkan naik pesawat terbang. Di pelabuhan tersebut dik Bimo terkagum-kagum dengan aktivitas banyak truk besar, termasuk truk naik truk akan naik kapal (gambar 27).
|
|
Di pelabuhan Banjarmasin dik Bimo terkagum-kagum dengan aktivitas banyak truk besar, termasuk truk naik truk akan naik kapal (gambar 27).
|
Berdoa di gereja katolik Katedral Keluarga Kudus Banjarmasin, yang merupakan katedral paling kecil se Indonesia (gambar 28)
|
|
|
Di kantor Gubernur Kalimantan Selatan yang gagah di Banjarmasin (gambar 30)
|
Nampak luar gereja katolik Katedral Keluarga Kudus Banjarmasin (gambar 28).
|
|
|
Bersama Dr. Setyo Sugiyarto, SpB-KBD di Warung Soto Banjar Handayani di pinggir sungai, saat main ke Banjarmasin 14 April 2001
|
di Warung Soto Banjar Bawah Jembatan, di pinggir Sungai Martapura yang berair kuning dan penuh sesak pembeli (gambar 31).
|
Perjalanan nostalgia selanjutnya adalah menuju ke gereja katolik Katedral Banjarmasin (gambar 28), yang merupakan katedral paling kecil se Indonesia. Gereja Katedral Keluarga Kudus Banjarmasin ini diresmikan pada 28 Juni 1931 dan dibangun dengan arsitektur neo-gotik dari Eropa, terletak di Jl. Lambung Mangkurat, Kertak Baru Ilir, Banjarmasin. Kami kenangkan doa khusuk syukur kepada Tuhan, karena lahirnya bayi dik Bimo yang kami tunggu-tunggu dalam penantian selama 8 tahun, dengan berlutut di sebuah bangku dalam gereja tersebut (gambar 29). Setelah berdoa di dalam bangku yang sama dengan bangku yang dahulu kami duduki pada tahun 2000, kami melanjutkan nostalgia di kantor Gubernur Kalimantan Selatan yang gagah (gambar 30) dan makan kuliner menu lokal, soto banjar di Warung Soto Bawah Jembatan Sungai Martapura yang penuh sesak (gambar 31). Lanjutan perjalanan nostalgia di Banjarmasin, diawali dengan makan malam di Taher Square (gambar 32), di pinggiran Sungai Martapura yang membelah kota Banjarmasin, untuk bergabung dengan Sungai Barito.
|
|
Makan malam di Taher Square (gambar 32), di pinggiran Sungai Martapura yang membelah kota Banjarmasin, untuk bergabung dengan Sungai Barito.
|
Menyusuri Sungai Barito untuk menikmati pasar terapung di pagi hari (gambar 33).
|
|
|
Pagi buta, anak2 masih mengantuk saat kami menyusuri Sungai Barito untuk menikmati pasar terapung (gambar 33).
|
Para penjualnya masih sangat tradisional di pasar terapung Banjarmasin (gambar 34)
|
Setelah terlelap kekenyangan di kamar 301 Hotel Palm, Jl. Jend. S. Parman 189 Banjarmasin, Sabtu dini hari, 6 Juli 2013, kami menyusuri Sungai Barito untuk menikmati pasar terapung (gambar 33). Pasar tradisional di pinggiran Sungai Barito ini, merupakan ikon kota Banjarmasin yang hampir punah, karena budaya air secara pelan namun pasti, tergantikan budaya darat dalam era modern. Para penjualnya masih sangat tradisional (gambar 34) dan jual beli makanan menggunakan tongkat penusuk antar kapal (gambar 35). Rasanya lebih banyak wisatawan yang berseliweran dengan perahu klotok (gambar 36), dibandingkan penjualnya yang berperahu jakung. Perjalanan di seputar pasar terapung, kami akhiri dengan melihat-lihat Masjid Sultan Suriansyah di seputaran Kuin yang bersejarah (gambar 37).
|
|
Rasanya lebih banyak wisatawan yang berseliweran dengan perahu klotok (gambar 36) di Pasar Terapung Banjarmasin
|
Jual beli makanan menggunakan tongkat penusuk antar kapal (gambar 35) di Pasar Terapung Banjarmasin.
|
Perjalanan nostalgia berikutnya adalah menyusuri jalan Martapura lama, menuju ke pusat kota Martapura, yang terkenal dengan sebutan Kota Indan dan Serambi Mekkah. Perjalanan melawan arus Sungai Martapura, melewati desa-desa tradisional Banjar, dengan kehidupan air dan agraris, yang sangat berbeda dengan jalan Martapura baru atau trans Kalimantan, yang dipenuhi budaya darat, industri, kesibukan penambangan, dan jauh lebih modern.
|
|
Masjid Sultan Suriansyah di seputaran Kuin Banjarmasin, Kalsel yang bersejarah (gambar 37).
|
Suasana islami serambi Mekkah di Alun-Alun Ratu Zaleha, Martapura, Kalsel (gambar 39),
|
|
|
Sentra permata di jantung kota Martapura, Kalsel (gambar 38)
|
Bernostalgia dengan Dr. Dyah Roselina, SpA, teman lama FK UGM (gambar 40) di RSUD Ratu Zalecha Martapura, Kalsel
|
|
|
Makan siang kuliner lokal dengan menu ikan haruan, patin, dan saluang, yang semuanya merupakan ikan spesies lokal Kalimantan,
|
Mengamati proses pengolahan intan di pusat penggosokan intan (gambar 41), Martapura, Kalsel.
|
|
|
Dapat membedakan intan dengan berlian (gambar 42).
|
Di Museum Lambung Mangkurat yang artistik (gambar 43), Martapura, Kalsel.
|
Kami menuju Sentra permata di jantung kota Martapura (gambar 38), kemudian menikmati suasana islami serambi Mekkah di Alun-Alun Ratu Zaleha (gambar 39), dan bernostalgia dengan Dr. Dyah Roselina, SpA, teman lama di UGM (gambar 40). Setelah sangat kenyang karena makan siang kuliner lokal dengan menu ikan haruan, patin, dan saluang, yang semuanya merupakan ikan spesies lokal Kalimantan, kami melanjutkan dengan mengamati proses pengolahan intan di pusat penggosokan intan (gambar 41), sehingga dapat membedakan intan dengan berlian (gambar 42). Kami meneruskan nostalgia di Museum Lambung Mangkurat yang artistik (gambar 43), bahkan menikmati miniatur rumah adat Banjar (gambar 44) dan membandingkannya dengan rumah keluarga Dr. Dyah Roselina, SpA yang sudah nampak megah dan modern, di lahan seluas 800 m2 di Banjarbaru.
|
|
Miniatur rumah adat Banjar (gambar 44) Di Museum Lambung Mangkurat yang artistik, Martapura, Kalsel.
|
Rumah keluarga Dr. Dyah Roselina, SpA yang sudah nampak megah dan modern, di lahan seluas 800 m2 di Banjarbaru, Kalsel
|
|
|
Di depan Bandara Syamsudin Noor, menyetir mobil dinas RS Kijang Super pada 26 November 2001
|
Di tempat yang sama, depan Bandara Syamsudin Noor, wilayah Ulin pinggiran jalan trans Kalimantan (gambar 45), Banjarmasin
|
Kenangan nostalgia indah dan mengharukan di Kuala Kapuas (Kalimantan Tengah) dan Banjarmasin (Kalimantan Selatan), kami akhiri di Bandara Syamsudin Noor, wilayah Ulin di pinggiran jalan trans Kalimantan (gambar 45), untuk pulang dengan Lion Air Boeing 737 NG JT 522 menuju Yogyakarta. Terima kasih, kami sampaikan kepada segenap pihak yang telah mendukung terselenggaranya liburan keluarga ini dan sampai ketemu dalam laporan perjalanan selanjutnya.
*) pelancong hemat penuh nikmat
di rumah Timoho Regency A4 Yogyakarta
Sabtu, 6 Juli 2013
WA = 081227280161