Categories
Istanbul

2012 Melayang ke Jepang

 

MELAYANG  KE  JEPANG

fx. wikan indrarto dan b. sari prasetyati*)

Pada Rabu, 14 November 2012, kami berdua memulai petualangan di Jepang. Dari Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng, Jakarta, kami naik pesawat milik maskapai All Nippon Airways (ANA) ‘a Star Alliance Member’, yaitu Boeing 767 ‘Dreamliner’ versi 300 dengan kode pesawat NH 0938. Kami harus menempuh jarak 5.844 km, dengan ketinggian 16.000 kaki, dan kecepatan 961 km/jam. Pesawat tercanggih keluaran Boeing tersebut meninggalkan Jakarta pk. 21.20 dan kami mendarat dalam dekapan udara dingin Bandara International Narita Tokyo, yaitu 40 C pada pk. 6.35 waktu setempat, waktu di Jepang setara WIT, hari Kamis, 15 November 2012. Lama penerbangan sekitar 7 jam, sangat melelahkan.

Di Bandara International Narita, sekitar 66 km di timur kota Metropolitan Tokyo, kami membeli kartu Suica (‘pre-paid card’) dengan harga minimal Y (yen) 1.500 untuk keperluan transaksi apapun. Diselingi kebingungan akan membeli kartu Posmo (‘pre-paid card’ juga) yang lebih mudah kami ingat namanya sejak dari Indonesia, tetapi ternyata fasilitasnya belum seluas Suica. Akhirnya kami dibantu seorang petugas layanan pelanggan yang baik hati, mendampingi pembelian card, dan bahkan mencarikan jadwal lanjutan kereta dari Narita, menuju lokasi acara.

 DSC01868  DSC01869

JR Sobu Line di stasiun bandara

Suasana gerbong yang bersih & rapi

Pada tahun 1872, jalan kereta api yang pertama di Jepang dibangun antara Yokohama dengan Shinagawa dan Shimbashi di Tokyo. Jaringan transportasi kereta api di Jepang, merupakan jaringan terpadat, tersibuk dan terrumit di dunia. Selain kereta peluru Shinkansen yang dapat melaju sampai kecepatan 356 km/jam, juga ada monorail yang melayang dan subway (underground) yang melaju di terowongan bawah tanah. Yang melaju di rel biasa (railways) addalah kereta api yang dioperasikan Japan Railway (JR) dan sempat kami lihat paling tidak ada 16 line (jalur), misalnya Tokaido, Sobu, Yakasuka, Shonan Sinjuku, Keihontohoku, Negishi, Yokohama, Nanbu, Tokyu Toyoko, Minatomirai, Keihin Kyoku, Metro Asakusa, Yamanote, Chuo, Keiyo, dan Keisei. Berdasarkan laju kereta dan stasiun yang disinggahi, jaringan kereta JR terbagi menjadi ‘local, express, limited express, rapid, commuter express, and limited express. Para calon penumpang haruslah juga memperhatikan jenis kereta, agar dapat sampai ke tempat tujuan tanpa kesulitan.

Pertama-tama kami dianjurkan menambah deposit dalam card, karena perjalanan kami ke Yokohama total perlu tiket seharga Y 1850. Setelah itu kami diantar untuk mencari kereta JR Sobu Line pada track 1 yang berangkat pk. 08.37 menuju Chiba. Kami melewati Stasiun Terminal 2 Bandara Narita, Stasiun Kota Narita, Shisui, Sakura, Monoi, Yatsukaido, Tsuga, dan Higashi-Chiba. Kami sempat salah turun dan binung sejenak, karena seharusnya turun di Chiba, bukan Higashi-Chiba. Akhirnya kami naik kereta berikutnya dan sampai di Chiba, sebuah ‘interchange station kecil’, pada track 9 pk. 9.24, untuk ganti kereta JR Yokosuka Line pada track 8 pk. 9.55, menuju stasiun Shinagawa. Kami melewati stasiun Inage, Tsudanuma, Funabashi, Ichikawa, Shin Koiwa, Kinshicho, Bakurocho, Shin-Nihombashi, Tokyo, dan Shimbashi.

Di Stasiun Shinagawa yang merupakan ‘interchange station’ cukup besar yang cukup padat manusia, kami berganti kereta ke JR Keihin-Tohoku Line menuju stasiun Tsurumi di track 4. Kami melewati stasiun Oimachi, Omori, Kamata, dan Kawasaki. Perjalanan kami percepat karena keterbatasan waktu, sehingga kami tidak berani naik bis, tetapi kami lanjutkan dengan naik taxi dari East Exit Tsurumi Station, berupa Toyota Comfort dengan sopir seorang pensiunan bertarif Y 1.600. Kami harus bertanya terlebih dahulu kepada polisi lalu lintas dan memintanya menuliskan dalam ejaan Kanji, alamat lokasi pertemuan yang dituju, karena sopir taxi di Jepang pada umumnya tidak mampu berbahasa Inggris dan membaca huruf Latin.

Kami merupakan 1 dari 97 peserta yang mengikuti ‘Patients and Medicine Forum: exploring solutions for personalized medicine’ di Koryuto-hall Omics Science Center (OSC), RIKEN Yokohama Institute, 1-7-22 Suehiro-cho, Tsurumi-ku, Yokohama City, Jepang. Kami terlambat hadir untuk mengikuti kuliah Direktur Pusat Penyakit Respirologi Universitas Kota Yokohama Prof. Takeshi Kaneko, MD, PhD dengan judul ‘How Personalized Medicine Has Proceeded’, tetapi sempat mengikuti paparan Prof. Anders Rane, MD PhD dari Karolinska Institute Swedia, dengan judul ‘Genetic in dose tailoring and diagnostics-two examples’. Diselingi makan siang bertarif Y 500 yang kami bayar dengan Suica card, kemudian pada sesi poster dibahas 3 penelitian. Penelitian Herbers, et al., tentang deteksi mutasi gen menggunakan ECHO (Exciton-Controlloed Hybridization Oligonucleotide), Camou, et al., tentang teknik pemeriksaan gula darah yang ‘non invasive and continous’, dan penelitian kami sendiri tentang dukungan sosial dokter untuk orangtua anak asma.

 DSC01880  DSC01871

Di gerbang RIKEN Yokohama Science Center

Poster hasil penelitian

Kuliah siang oleh Michiaki Kubo MD PhD, direktur Center fot Genomic Medicine (CGM) Riken dengan judul ‘Genetic research toward personalized medicine’ dan Vincent Fusaro MD PhD, peneliti senior Laboratory for Personalized Medicine (LPM), Universitas Harvard, AS dengan judul ‘A system approach to designing pharmaco-genomic clinical trials’. Diteruskan pembahasan 3 poster penelitian. Penelitian Chena, et al., tentang biaya pertanggungan asuransi untuk SLE di Taiwan, Takahashi, et al., tentang desain molekuler dan strategi interaksi obat pada tumor otak ganas, dan Nakao, et al., tentang polimorfisme genetik dan dampak klinis melalui sintesa protein ABCG2 dalam retikulum endoplasma. Kami tidak dapat mengikuti kuliah terakhir hari pertama oleh Matthias Machacek MD PhD, Kepala Devisi Teknik Kesehatan Novartis AG di Swiss, tentang ‘Medical device for the measurement of visual function of patients with age-related macular degeneration’, karena kami harus segera ‘check in’ di hotel. Barang bawaan kami dari Indonesia, semua masih kami bawa ke ruang kuliah, karena belum sempat mampir ke hotel. Selesai acara kami dipesankan taxi oleh petugas Satpam dan menuliskan alamat hotelnya dalam huruf Kanji Jepang. Kami naik taxi Nissan Cedric Custom yang bersih dan lapang, dengan sopir seorang ibu setengah baya. Kami menginap di Hotel Central Plaza, Tsurumicho 4-5-13, Yokohama, 230-0051, bertarif Y8500 dengan 2 tempat tidur.

Setelah mengikuti kuliah di hari kedua oleh Edith Scallmeiner PhD dari Roche Diagnostics, Swiss tentang ‘Collaborative business models for Personalized Medicine’ dan Mime Egami, PhD tentang ‘Cell Sheet Engineering for Patients & Medical Innovation’, kami melanjutkan dengan jalan-jalan. Kami terpaksa tidak mengikuti sesi poster, berbagai usul dalam ‘white board’, dan diskusi kelompok, apalagi social event dan penutupan acara oleh Mr Yoshihide Hayashizaki, Direktur OSC, sebagai tuan rumah.

Dari Tsurumi Station kami menuju ke Yokohama Station, sebuah stasiun kota besar yang sangat padat penumpang. Kami berganti kereta dan meneruskan ke Sakuragicho Station. Perjalanan menyusuri kota tua Yokohama kami lanjutkan dengan berjalan kaki, melalui trotoar yang lebar, halus dan rapi, dalam dekapan suhu dingin 50C, meski sinar matahari terang menyilaukan mata, tetapi tidak mampu mengusir dinginnya udara.

 DSC01881  DSC01886

Gerbang Yokohama City University

Santai berdua di antara kesibukan penumpang

Yokohama adalah ibu kota Prefektur Kanagawa, Jepang. Kota ini terletak di wilayah Kanto, Pulau Honshu. Yokohama dihuni 3,6 juta penduduk dan merupakan kota terbesar nomor dua di Jepang setelah Tokyo. Luasnya 437,38 km². Populasi (data 1 Februari 2007) 3.606.902 jiwa. Kota ini merupakan kota pelabuhan yang berkembang pesat setelah Jepang membuka diri dari politik isolasi di akhir abad 19. Pelabuhan Yokohama merupakan pelabuhan utama di Jepang, bersama-sama dengan pelabuhan lain di kota Kobe, Osaka, Nagayo, Hakata, Tokyo dan Chiba.

Di awal abad ke-20, pelabuhan Yokohama berubah menjadi pelabuhan industri bersamaan dengan pengembangan Kawasan Industri Keihin. Pelabuhan Yokohama berubah sebagai pintu masuk impor besi baja, mesin-mesin, dan minyak bumi. Pada 1 September 1923, sebagian kota Yokohama hancur akibat gempa bumi besar Kanto dan penduduk yang tewas berjumlah 23 ribu orang. Di zaman sekarang, Pelabuhan Yokohama berfungsi sebagai pelabuhan kontainer dan salah satu dari berbagai pelabuhan di Jepang yang melayani arus ekspor impor.

Yokohama terletak di bagian sebelah barat Teluk Tokyo. Letaknya hanya 30 km dari Tokyo dan dihubungkan dengan berbagai jalur kereta api, jalan-jalan bebas hambatan, dan jalan raya yang melewati kota Kawasaki. Yokohama tidak hanya kaya dengan sejarah masa lalu, tapi juga siap menghadapi abad 21. Untuk menghadapi tantangan di masa depan dalam pengembangan Yokohama sebagai kota bisnis, dibangun proyek Minato Mirai 21 (MM21), sebagai kota baru di sepanjang area pelabuhan. MM21 akan menjadi kota informasi, sejalan dengan aktifnya arus budaya informasi dan perkembangan ekonomi. Kota ini berusaha menjadi pusat dari perusahaan-perusahaan besar, serta pusat riset dan teknologi.

Perjalanan sekitar 7,2 km dengan jalan kaki, dimulai dari Moving Walkway ke Landmark Tower Minotamirai 21 dan Kanagawa Prefectural Museum of Cultural History. Tower setinggi 296 m tersebut menjadi simbol Yokohama yang dilengkapi ruang pandang (observatory) di lantai 69. Kami hanya melihat dari kejauhan Yokohama Cosmoworld, yang dilengkapi roda putar terbesar di dunia, lebih besar dibandingkan London Eye di Inggris, yaitu berdiameter 112,5 m dan dapat dinaiki 480 penumpang dewasa, dengan roller coaster dan seluncuran air. Kemudian NYK Maritime Museum, menyeberang Bankokubashi Bridge tempat favorit untuk mengambil foto lansekap Yokohama. Lanjut ke Yokohama Red Brick Warehouse (Aka-Renga Soko) yang merupakan 2 buah gedung bangunan pergudangan jaman Meiji dan Taisho yang berdinding bata merah. Saat ini gedung pertama digunakan untuk ruang konser musik, pameran dan kuliah umum, sedangkan gedung kedua digunakan untuk bar, restoran dan toko oleh 50 penyewa. Di sampingnya ada Zou-no-hana Park, tempat yang cocok untuk duduk bersantai, luas dan indah untuk berfoto dengan kapal pesiar yang bersandar di dermaga.

 DSC01895  DSC01892
Landmark Tower MM21 dan Yokohama

Cosmoworld dengan roda putar sangat besar

Kanagawa Prefectural

Museum of Cultural History

Wilayah yang sekarang menjadi kota Yokohama mulai berkembang sejak abad ke-13 di zaman Keshogunan Kamakura. Di sepanjang aliran Sungai Tsurumi dan Sungai Kashio merupakan daerah pertanian, dan daerah pantai Teluk Tokyo berkembang sebagai desa nelayan. Di abad ke-17, sewaktu Keshogunan Edo menjadikan Edo sebagai ibu kota Jepang, Yokohama menjadi kota transit di jalur Tokaido. Pada waktu itu terdapat rumah-rumah penginapan di tempat perhentian yang disebut  Kanagawa-jiku, Hodogaya-jiku, dan Totsuka-jiku. Tempat perhentian yang paling ramai adalah Kanagawa-juku karena dekat dengan Pelabuhan Kanagawa, yang sibuk dengan lalu lintas kapal dan barang di Teluk Edo.

Nama “Yokohama” sebagai sebuah kota, berasal dari nama desa nelayan bernama desa Yokohama (Yokohama-mura) yang terletak di Distrik Kuraki, Provinsi Musashi. Hingga di akhir zaman Edo, desa Yokohama adalah desa kecil di atas sebuah delta sungai yang penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan. Kedatangan Komodor Matthew Perry di Jepang mengubah nasib desa kecil Yokohama. Komodor Matthew Perry tiba di selatan Yokohama bersama armada kapal perang Amerika Serikat dan meminta Jepang membuka beberapa pelabuhan untuk perdagangan. Pada tahun 1854, Komodor Matthew Perry menggunakan Persetujuan Kanagawa untuk memaksa Jepang membuka pelabuhan di Shimoda dan Hakodate kepada Amerika Serikat dan mengakhiri kebijakan tertutup Jepang yang telah berlangsung 200 tahun. Selanjutnya berdasarkan Treaty of Amity and Commerce pada tahun 1885, Pelabuhan Yokohama dibuka untuk kapal-kapal AS.

 DSC01893  DSC01896

NYK Maritime Museum

Yokohama Red Brick Warehouse

(Aka-Renga Soko)

Pada mulanya, kota perhentian Kanagawa-juku (sekarang disebut Kanagawa-ku) ingin dijadikan salah satu pelabuhan untuk kapal asing, namun letak Kanagawa-juku dianggap pemerintah terlalu dekat dengan jalur utama Tokaido yang strategis. Sebagai gantinya, berbagai fasilitas pelabuhan dibangun di desa Yokohama yang waktu itu masih berupa desa nelayan yang sepi. Pada 1 Juli 1859, Pelabuhan Yokohama diresmikan sebagai pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan dengan negara Barat.

Selanjutnya kami menyaksikan Yokohama Costums (Tower of Queen), Kanagawa Prefectural Goverment (Tower of King) dan Port Opening Memorial Hall (Tower of Jack), ketiga bangunan tinggi tersebut saling berdekatan, diberi nama yang unik dan merupakan arsitekktur abad 16 yang masih digunakan sampai sekarang. Setelah melewati Bank of Japan, kami memasuki Yokohama Park, sebuah taman kota yang rindang dan dilengkapi dengan Yokohama Baseball Stadium, yang merupakan markas Yokohama Baystars, sebuah klub profesional American Football yang cukup terkenal. Di sampingnya ada Genbuman Gate yang kami masuki untuk mulai belanja cinderamata ke China Square di tengah China Town. Setelah ditutup makan siang ‘sepiring berdua’ nasi goreng udang seharga Y 1350 di sebuah rumah makan Cina, kami melanjutkan perjalanan kaki menyeberang di bawah Metropolitan Expressway, terus melompati jembatan Nishinohashi, sampai ke gerbang Motomachi, sebauh kompleks belanja elite bercitarasa barat, untuk para ekspatriat sejak jaman dahulu.

 DSC01899  DSC01900

Zou-no-hana Park dengan kapal pesiar

yang sedang bersandar

Yokohama Costums (Tower of Queen)

Pelabuhan Yokohama langsung menjadi basis perdagangan luar negeri di Jepang. Surat kabar berbahasa Inggris pertama di Jepang, Japan Herald terbit pertama kali pada tahun 1861. Pusat pembangkit tenaga listrik berbahan bakar batu bara dibangun pertama kali di Yokohama oleh saudagar Inggris bernama Samuel Cocking pada tahun 1887. Pembangkit tenaga listrik ini mulanya dibangun untuk memenuhi keperluan sendiri, tapi nantinya berkembang sebagai perusahaan listrik kota Yokohama. Yokohama sebagai sebuah kota didirikan secara resmi pada 1 April 1889. Sesudah penghapusan lokasi permukiman orang asing pada tahun 1889, Yokohama berkembang sebagai kota internasional pertama di Jepang. Kawasan yang ditinggali orang asing meluas dari kawasan Kannai hingga ke Yamate, dan kawasan Pecinan Yokohama. Pelabuhan ini sekaligus merupakan pintu masuk bagi pengaruh kebudayaan Barat di Jepang, termasuk surat kabar harian (1870) dan lampu penerangan jalan berbahan bakar gas (1872).

Kami menyusuri terowongan di bawah sebuah bukit sejauh 1,2 km, yang disebut bukit Yamate. Di ujung terowongan kami mendaki bukit untuk masuk ke Yamate Park dan Museum of Tennis. Yamete Park adalah taman bergaya Eropa pertama yang dibangun di Jepang oleh para pemukim barat saat Meiji 3 tahun 1870. Museum of Tennis merupakan bangunan untuk memperingati 120 tahun permainan tenis lapangan di Jepang. Permainan tenis lapangan pertama di Jepang dilakukan saat Meiji 9 tahun 1876. Setelah melihat kayu dan bambu kuno sebagai bahan raket tenis kuno, kami melanjutkan perjalanan ke sebuah gereja Katolik, untuk berdoa dan mengucap syukur.

 DSC01901  DSC01906

Port Opening Memorial Hall

(Tower of Jack)

Terowongan ke Yamate Park

dan Museum of Tennis.

Santo Fransiscus Xaverius, seorang pastor ordo Serikat Jesus dari Spanyol, adalah misionaris Katolik pertama yang datang ke Jepang pada tahun 1549 dan meninggal di sana tahun 1579, setelah membatis 130.000 orang Jepang menjadi Katolik. Pada periode 1553-1620 telah dibaptis sebanyak 80 daimyo (setingkat bupati), bahkan Oda Nobunsa adalah Shogun (penguasa militer) pertama yang menjadi Katolik. Pada tahun 1587 Toyotomi Hideyoshi adalah Shogun yang melarang penyebaran agama Katolik dan mengusir semua misionaris Eropa, sampai saat Tokugawa menjadi Shogun yang mengijinkan kembali misionaris Perancis. Para pastor dari ordo MEP (Paris Foreign Mission Sociaety) pada tahun 1862 membangun gereja Katolik pertama di Jepang setelah masa isolasi, di Bayamashita-cho, yang sekarang digunakan sebagai Marine Yokohama Tower. Pada tahun 1906 gereja direlokasi ke daerah perbukitan dan dibangun dalam gaya arsitektur Gothick. Pada tahun 1923 gereja tersebut hancur karena gempa bumi Kanto yang sangat hebat, menewaskan 23.000 penduduk, dan pada 23 November 1923 dipugar total menjadi sangat indah, berdasarkan pemikiran arsitek Czech ternama Mr Jan Jaset Svager, sebagaimana dapat dinikmati sampai sekarang. Di samping gereja terdapat patung Bunda Maria yang dikirim dari Perancis pada awal Juli 1933. Gereja Katedral Hati Kudus tersebut, dikenal sebagai Gereja Katolik Yamate.

Dari gereja kami turun ke Motomachi lagi dan membeli beberapa kertas Jepang. Setelah itu, kami naik bis 101 ke stasiun Sakuragicho. Bis Hino mesin belakang yang suspensinya empuk, kami naiki dengan mesin pemindai Suica card tegak di dekat sopir, yang bekerja mandiri dengan mikrofon kecil di depan mulut yang terkoneksi bluetooth ke HP di pinggang. Bis bertransmisi manual tersebut, dapat dimiringkan ke kiri, saat penumpang naik ataupun turun, dilengkapi penghangat ruangan untuk melawan dingin udara luar, dan selalu dimatikan mesinnya saat lampu merah menyala. Kami turun di dekat west exit stasiun Sakuragicho dan setelah menambah deposit Suica card sebanyak Y 1000 di mesin tiket elektrik, kami meneruskan perjalanan pulang dengan JR Keihin-Touhoku Line menuju Tsurumi Station.

 DSC01911  DSC01909

Gereja Katedral Hati Kudus,

dikenal sebagai Gereja Katolik Yamate.

Patung Bunda Maria

dari Perancis pada awal Juli 1933

Malam ini kami tertidur dengan kelelahan, kedinginan dan kekenyangan. Kelalahan karena menempuh rute Yokohama Sightseeing sejauh 9,2 km dengan berjalan kaki tanpa keringat setetespun. Kedinginan karena suhu udara berkisar 3-90C dan kekenyangan karena makan mie instan aseli Jepang bercampur irisan berbagai sayuran, ditambah paha ayam goreng, pisang dan jeruk di toko dekat hotel yang kami beli seharga Y515. Yang sangat berkesan juga adalah kebersihan kota juga public area yang sangat luar biasa, tempat sampah dengan pemisahan sampah basah, kering dan plastik yang sangat rapi dan tertutup dengan mudah ditemukan. Semua itu tentu didukung dengan kesadaran akan kebersihan dan kerapian dari seganap warga kotanya.

Setelah acara ‘Patients and Medicine Forum: exploring solutions for personalized medicine’ yang diadakan di Koryuto-hall Omics Science Center (OSC), RIKEN Yokohama Institute, 1-7-22 Suehiro-cho, Tsurumi-ku, Yokohama City, Jepang ditutup Jumat, 16 November 2012, kami memiliki 1 hari penuh untuk berlibur di Yokohama dan Tokyo. Perjalanan liburan ini kami mulai dari Stasiun Tsurumi ‘west entrance’ dan kami menggunakan JR Keihin Tohoku Line ke stasiun Higashi-Kanagawa, yang merupakan ‘local train’ dengan pita warna biru Ben Hur sebagai penanda gerbongnya. Sayang sekali, kami salah masuk kereta yang menuju ke arah Stasiun Omiya, kebalikan dengan tujuan kami ke arah Stasiun Ofuna, yang salah terbaca karena tulisan dan bunyinya sangat mirip. Kami turun di Stasiun Omori dan harus pindah ke kerata yang berlawanan arah, melewati Stasiun Kamata, Kawasaki, Tsurumi, Shin-Koyasi dan turun di Higashi-Kanagawa, untuk berganti ke JR Yokohama Line.

Kami naik JR Yokohama Line warna hijau muda sebagai penanda gerbong, menuju ke stasiun Hachioji melewati Oguchi, Kikuna sampai di Shin Yokohama. Kereta ini memiliki rangkaian gerbong yang sepertinya paling tua dibandingkan JR Line lainnya, serupa dengan KRL Jakarta-Bogor hibah dari JR. Gerbongnya tidak dilengkapi monitor informasi stasiun pemberhentian, hanya memiliki fasilitas pemberitahuan lisan dalam Bahasa Jepang, tanpa terjemahan dalam Bahasa Inggris, seperti gerbong JR Line lainnya yang telah biasa kami gunakan sebelumnya. Kami keluar di ‘north exit’ Stasiun Yokohama Baru atau Shin Yokohama yang megah, artistik dan modern. Selanjutnya kami menyusuri Rengadori Street, Stadium dori, dan Hamatori-bashi Bridge sejauh 870 m, untuk menuju ke Nissan Stadium. Stadion sepakbola ini adalah yang terbesar di Jepang dan dapat menampung 70.000 orang penonton. Babak final antara kesebelasan Brasil melawan Perancis dalam World Cup (Piala Dunia Sepak Bola FIFA) tahun 2002 dimainkan di stadion tersebut.

 DSC01919  DSC01921

Nissan Stadium yang besar dan gagah

Bunga kuning bertulisakan World Cup 2002

Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan dari Stasiun Shin Yokohama dengan JR Yokohama Line track 5 ke Stasiun Ofuna, untuk turun di Stasiun Higashi Kanagawa, dan berganti dengan JR Negishi Line untuk menuju ke Stasiun Yokohama. Di stasiun yang padat penumpang tersebut, kami berganti lagi dengan JR Keihin-Tohoku Line yang menuju ke Stasiun Omiya, melewati stasiun Higashi Kanagawa, Shin Koyasu, Tsurumi, Kawasaki, Kamata, Omori, Oimachi, Shinagwa, Tamachi, Hammamatsucho, Shimbashi, Yurakucho, kemudian kami turun di stasiun Tokyo.

Tokyo secara harafiah berarti “ibu kota timur” dalam Bahasa Jepang, arti yang berlawanan dengan ibu kota lama di barat, Kyoto, yang dinamakan “saikyo”, berarti “ibu kota barat” untuk jangka waktu yang pendek pada abad 19. Hingga tahun 1870-an, Tokyo bernama “Edo”. Ketika pusat kekaisaran berpindah dari Kyoto ke Edo, namanya pun diganti. Tokyo  sekarang adalah ibukota Jepang sekaligus daerah terpadat di Jepang, serta daerah metropolitan terbesar di dunia berdasarkan jumlah penduduknya. Sekitar 12 juta orang tinggal di kota Tokyo, dan ratusan ribu lainnya berpulang pergi setiap hari dari daerah sekitarnya, untuk bekerja dan berbisnis di Tokyo. Tokyo adalah pusat politik, ekonomi, budaya dan akademis di Jepang serta tempat tinggal Kaisar Jepang dan pusat pemerintahan negara, dan sekaligus merupakan pusat bisnis dan finansial utama untuk seluruh Asia Timur.

Tokyo mempunyai jauh lebih sedikit gedung pencakar langit dibandingkan dengan kota lain yang seukurannya, karena peraturan konstruksi untuk menghadapi bencana gempa bumi yang cukup sering terjadi. Bangunan di Tokyo kebanyakan terdiri dari apartemen tingkat rendah (6 hingga 10 lantai) dan rumah keluarga yang sempit. Tokyo juga merupakan lokasi sistem transportasi massal paling komplkes di dunia, dan terkenal akan jam-jam sibuknya yang padat.

Di stasiun besar Kota Megapolitan Tokyo tersebut, kami menyaksikan lebih banyak lagi para penumpang dibandingkan di stasiun manapun, yang hari sebelumnya kami lihat. Para penumpang berpakaian rapi, lengkap, dan membawa payung yang sebagian besar terbuat dari bahan plastik transparan, karena hanya untuk melindungi diri terhadap air hujan, bukan panas sinar matahari. Semuanya bergegas, diam, dan tidak ada yang gemuk (obesitas) karena aktif bergerak. Pada Oktober 2007, diperkirakan 12,79 juta orang tinggal di Tokyo, dengan 8,653 juta hidup dalam 23 distrik Tokyo. Saat siang hari, jumlah penduduk bertambah hampir 2,5 juta karena karyawan dan siswa pergi pulang dari wilayah pinggiran. Menurut data tahun 2005, bangsa-bangsa asing yang paling banyak ditemui di Tokyo adalah orang Cina (123.661), Korea Selatan (106.697), Korea Utara (62.000), Filipina (31.077), Amerika Serikat (18.848), Inggris (7.696), Brasil (5.300), dan Perancis (3.000).

Kami mencari kantor Touris Information Center, meminta ‘city map’ berwarna, dan brosur wisata, kemudian ke ‘Foreign Exchange Counter’ untuk membeli Yen lagi, karena keterbatasan Yen yang kami bawa di Indonesia. Semua prosesnya mudah, karena informasinya lengkap, mudah terbaca dan gampang dijangkau. Tokyo yang modern, sebenarnya berasal dari sebuah desa perikanan kecil yang bernama Edo. Pada tahun 1457, Ota Dokan membangun Istana Edo dan pada tahun 1590, Tokugawa Ieyasu berbasis di Edo, dan setelah menjadi shogun (panglima militer) pada tahun 1603, kota ini menjadi pusat administrasi tentaranya untuk seluruh negara. Pada zaman Edo, Edo menjadi salah satu kota terbesar di dunia dengan jumlah penduduk mencapai sejuta orang menjelang abad ke-18. Edo menjadi ibukota de facto di Jepang meskipun pada saat itu kaisar tinggal di Kyoto, ibu kota kerajaan. Setelah sekitar 263 tahun, pemerintah shogun digulingkan di bawah bendera pemulihan pemerintahan kaisar. Pada tahun 1869, ketika Kaisar Meiji pindah ke Edo pada usia 17 tahun, Tokyo sudah menjadi pusat politik dan kebudayaan negara, kemudian dijadikan ibu kota kerajaan secara de facto oleh istana sementara bekas Istana Edo menjadi Istana Kerajaan. 

 DSC01925  DSC01941

Kaminarimon Gate, terletak di sebelah luar kompleks Sensoji Temple

Hozomon Gate, terletak di sebelah dalam kompleks Sensoji Temple

Sayangnya, Tokyo mengalami dua bencana hebat pada abad ke-20, tetapi untungnya kota ini dapat pulih dari keduanya. Salah satunya adalah gempa bumi pada tahun 1923 yang menyebabkan 140.000 penduduk tewas atau hilang, dan yang kedua adalah Perang Dunia II, ketika Tokyo dibom bertubi-tubi pada tahun 1944 dan 1945, menyebabkan 75.000 hingga 200.000 orang tewas dan separuh kota hancur. Setelah perang, Tokyo dibangun kembali, dan berkilauan di mata dunia ketika Olimpiade Musim Panas tahun 1964 diadakan di kota ini. Pada dekade 1970-an terjadi pembangunan banyak gedung pencakar langit seperti Sunshine 60, konstruksi bandara baru yang kontroversial di Narita (yang agak jauh dari perbatasan kota) pada tahun 1978, dan peningkatan jumlah penduduk hingga sekitar 11 juta (dalam lingkungan wilayah metropolitan).

Dari Stasiun kota Tokyo inilah kami merencanakan melihat area Asakusa dan Aidaba yang terjangkau dalam wisata nekat selama sekitar 6 jam. Pertama-tama kami menggunakan JR Yamanote Line menuju Stasiun Ueno, melewati Stasiun Kanda, Akihabara, dan Okachimachi, turun di Ueno. Kemudian kami berganti dengan subway (kereta api bawah tanah) yang dioperasikan oleh Tokyo Metro dan berlambang huruf M melingkar berwarna biru. Kami naik Ginza Line yang berlambang lingkaran oranye, mungkin karena berjalan melewati terowongan yang bulat. Kami melewati stasiun Inaricho, Tawamarichi dan turun di stasiun Asakusa. Setelah turun, kami masuk ke areal Nakamise Shopping Street, yaitu areal pedagang cinderamata khas Jepang. Pasar tumpah tersebut dimulai dari gerbang luar warna merah bata kuil Asakusa Jinja yang disebut Kaminarimon (Gerbang Dewa Petir), memanjang sejauh 250 m sampai gerbang dalam kuil yang disebut Hozomon. Kios yang ada berjumlah 90 buah, yang menjual berbagai cinderamata khas Jepang sejak jaman Edo.

 DSC01944  DSC01946

Sensoji Tempel penuh bau dupa,

suasana magis dan peziarah yang berdoa

Hozomon Gate,

dengan lantern atau lampion merah menyala

Sayang sekali, hujan lebat mengguyur areal yang padat turis tersebut dan membuat udara semakin dingin. Kami isi dengan makan siang menu lokal yang kami tidak tahu namanya. Kami pesan dengan menunjuk fotonya di daftar menu. Setelah badan kenyang, rasanya hangat dan hujan mulai reda, kami sempatkan masuk ke Sensoji Tempel, semacam kuil Buddha, yang terletak di depan Kuil Asakusajinja. Sensoji dibangun tahun 628 dan memberikan gambaran budaya Jepang tempo dulu, suasana nostalgia dan kemegahan masa lalu. Ketenaran Sensoji Tempel ini menarik minat sekitar 30 juta peziarah dari Jepang dan luar negeri, untuk datang ke sana setiap tahun. Banyak peristiwa musiman yang diadakan di sini, misalnya Ichi Hozuki (Pameran Lantern semacam lampion di Cina) dan Hago-ita Ichi (Fair Battledore). Lampion besar tergantung di gerbang Kaminarimon diakui secara internasional sebagai simbol dari Kuil Sensoji. Bau dupa sangat menyengat, disertai ucapan doa para peziarah, berbaur dengan kilatan blitz para pelancong dan kucuran air hujan yang kembali turun. Untung kami sempat mengambil foto Sensoji Temple dan Hozomon Gate, juga membeli berbagai cinderamata, termasuk yang kami cari-cari, bendera nasional Jepang untuk dipasang di meja praktek.

Dari gerbang Kaminarimon, kami sempatkan mengambil foto Asahi Breweries dan Tokyo Skytree, sebelum hujan lebat kembali turun. Kedua area yang sangat modern ini begitu kontras dengan area Asakusa yang tradisional. Oleh karena keduanya menyatu padu, tentu menjadi sebuah perimbangan budaya masa lalu dan mendatang, yang rasanya hanya ada di Jepang. Asahi Breweries adalah lambang sebuah gedung berbagai restoran terkenal yang berbentuk gelas bir dan wortel emas yang tergeletak di atapnya.

 DSC01929  DSC01935

Tokyo Skytree yang menjulang tinggi

dan nampak dari kejauhan

Asahi Breweries sebuah gedung berbentuk gelas bir dan wortel emas di atapnya.

Tokyo Skytree adalah simbol baru kota Tokyo, sejak 22 Mei 2012 yang lalu, kabarnya telah dikunjungi 1,6 juta orang pengunjung pada minggu pertama setelah pembukaannya. Menara ini juga merupakan bangunan tertinggi di dunia kedua, setelah Burj Khalifa di Dubai, dan berhasil melampaui menara tertinggi di dunia sebelumnya, yaitu Canton Tower. Walaupun fungsi utama dari menara ini adalah menyiarkan sinyal televisi dan radio, Menara Skytree merupakan salah satu objek wisata paling banyak dikunjungi di Tokyo, yang dikenal sebagai ‘Musashi’, sebuah nama masa lalu yang begitu tenar di seantero negeri. Menara yang dirancang memiliki tinggi 634 m (6=mu, 3=sa dan 4=shi) dan tercatat dalam Guiness World Record sebagai menara tertinggi di dunia. Tokyo Skytree memiliki bentuk seperti tripod pada bagian bawah, sementara setelah ketinggian 350 meter bentuknya menjadi silinder. Pada Tokyo Skytree Tembo Deck dalam ketinggian 350 m, terdapat berbagai restoran, cafe, dan ruang pandang pertama. Sedangkan pada Tembo Galleria dalam ketinggian 450, merupakan ruang pandang kedua untuk para pengunjung ke seluruh wilayah Tokyo. Lantai 45 dan 44 pada menara tersebut terbuat dari kaca tembus pandang dan disebut skywalk area, sehingga semua pengunjung dapat melihat lansekap kota Tokyo, terutama distrik Kanto, bahkan puncak Gunung Fuji yang legendaris.

Setelah tidak mungkin melakukan hal lain lagi karena hujan lebat turun dan angin dingin sekitar 100C kembali bertiup, kami putuskan untuk pulang dengan Metro Tokyo Ginza Line ke Stasiun Shibuya, melewati Stasiun Tawaramachi, Inaricho, Ueno, Okachimachi, Shoehirocho, Kanda, Shin-Nihombashi, Mithsukoshima, Nihombashi, Kyobashi, Ginza-itchome, Ginza dan turun di Shimbashi. Kami tidak turun di Shibuya yang paling terkenal sebagai tempat penyeberangan pejalan kaki yang super duper ramai banget, dan menjadi persimpangan terpadat di dunia. Selain itu, juga seringkali digunakan sebagai lokasi syuting film-film dunia, pusat kuliner dan shopping.Penyeberangan Shibuya ini juga dikenal karena ada patung Hachiko. Hachiko adalah nama anjing yang menjadi simbol loyalitas, karena selalu menemani tuannya menyeberang Shibuya Crossing. Hachiko juga menjemput tuannya ketika pulang dari bekerja, di penyeberangan ini. Namun suatu ketika, tuannya meninggal dunia ketika bekerja. Hachiko yang setia, selalu menunggu sang tuan yang tak kunjung datang. Ia menunggu tiap hari selama 11 tahun. Kisah luar biasa ini kemudian diangkat oleh surat kabar setempat, sehingga Hachiko menjadi sangat terkenal. Untuk menghormati loyalitas Hachiko, pemerintah membuatkan patungnya di tahun 1934.

 Shibuya Crossing  Patung Hichiko

Shibuya Crossing atau persimpangan terpadat di dunia, yang seringkali digunakan sebagai lokasi syuting film, pusat kuliner, dan shopping.

Patung anjing Hachiko lambang loyalitas yang diresmikan pada tahun 1934 di Shibuya Crossing, Tokyo, Jepang.

Kami turun di Shimbashi dan berganti Shinkotsu Yurikamome Line yang berupa ‘monorel’ berlambang burung terbang warna putih di langit biru. Monorail berbeda dengan JR Line bukan sekedar relnya yang melayang di atas jalan setinggi bangunan 3 lantai, tetapi juga karena stasiunnya dilengkapi pintu kaca, dan adanya petugas pengawas berseragam oranye, di semua konter pintu elektrik setiap stasiun. Perjalanan kereta yang melayang memang sangat indah, karena melalui daerah perairan Teluk Tokyo. Kami mencari yang menuju Toyosu, melewati stasiun Shiodome, Takeshiba, Hinode dan Shibaura-foto, terus menyeberangi Jembatan Pelangi, mampir di Stasiun Odaiba-Kaihoinkoen dan akhirnya turun di Stasiun Odaiba, dekat mal besar Odaiba Aqua City dengan biaya Y320/orang.

 DSC01952  DSC01957

Rainbow Bridge dari Odaiba ke Shibaura sepanjang 918 m.

Miss Liberty

seperti yang tegak berdiri di New York

Jaringan kereta bawah tanah dan komuter Tokyo, telah menjadi salah satu yang tersibuk di dunia, karena semakin banyak orang yang pindah ke wilayah Tokyo. Proyek reklamasi tanah di Tokyo juga berlanjut selama berabad-abad lamanya, terutama di wilayah Oidaba yang dijadikan daerah belanja dan hiburan utama. Oidaba itulah tujuan petualangan kami yang berikutnya. Kami menyeberangi jembatan tinggi, artistik dan fenomenal yang dinamakan Rainbow Bridge (pelangi). Jembatan tersebut menghubungkan Odaiba dengan Shibaura sepanjang 918 m. Pengunjung dapat menyeberang menggunakan berbagai cara, baik dengan sepeda, mobil, monorail, bahkan dapat pula hanya dengan berjalan kaki. Semuanya diakomodasikan dalam berbagai jalan, yang menyusuri jembatan tersebut secara rapi.

Selain itu juga ada patung Miss Liberty seperti yang tegak berdiri di New York dan kantor pusat Fuji TV. Kantor tersebut memiliki ruang pandang berbentuk bola dunia yang seolah menempel di atap dan dinding terluar. Patung Miss Liberty warna hijau tua tersebut, membelakangi Jembatan Pelangi, dan memegang buku bertuliskan Yuliet IV 1776-Juillet XVI 1786. Sayang sekali, hujan lebat, angin kencang dan udara dingin menyergap kami. Kami dan pengunjung lain harus menunggu dengan sabar, agar saat hujan mereda dapat mengambil foto panoramik keduanya secara leluasa. Kami putuskan segera pulang, setelah beberapa jepretan foto diakhiri hujan berulang dan mendung sangat tebal.

Sesampai di Stasiun Shimbashi, 2 buah kartu Suica, kami tambah deposit dengan Y2000, unt persiapan transportasi ke bandara Narita saat akan pulang besok pagi. Di mesin penambah deposit, satu kartu kami terdeteksi belum dipotong untuk tiket monorail, sehingga harus di-declair di konter petugas, dan membayarnya secara tunai. Setelah itu, kartu Suica kami baru dapat diaktifkan ulang untuk transaksi penambahan deposit. Sebuah pemindai digital yang sangat teliti. Luar biasa.

Dari Stasiun Shimbashi, kami berganti dengan JR Keihin-Tohoku Line yang rasanya merupakan rangkaian gerbong yang paling baru, modern dan lengkap, dibandingkan gerbong JR Line lainnya. Pada track 3 kami menunggu kereta yang menuju ke Stasiun Ofuna, untuk turun di Stasiun Tsurumi, stasiun yang paling dekat dengan hotel. Kami melewati Stasiun Hamamatsucho, Tamachi, Shinagawa, Oimachi, Omori, Kamata dan Kawasaki. Perjalanan dari stasiun Tsurumi ke hotel harus kami tempuh dengan berlari kecil, untuk menghindar hujan rintik dan tiupan angin musim dingin. Setelah sampai di hotel, kami mencoba melakukan check-in online dengan mengunjungi www.ana.co.jp/click. Perjalanan pulang dengan pesawat milik maskapai All Nippon Airways (ANA) ‘a Star Alliance Member’, yaitu Boeing 767 ‘Dreamliner’ versi 300 dengan kode pesawat NH 0937, telah kami daftarkan dan mendapatkan boarding pass yang kami print di kasir hotel tadi sore. Tertulis kursi kami no 37F dan 37G, tetapi boarding gatenya belum tercantum. Kedua kursi itu adalah kursi berdekatan yang masih tersisa, sebab hampir semua kursi telah dikode untuk penumpang lain, meskipun keberangkatan kami masih 15 jam kemudian. Ini juga hal yang luar biasa.

 DSC01959  DSC01923

Kantor pusat Fuji TV dengan ruang pandang berbentuk bola dunia

Trotoar yang bersih, rindang

dan telah membuat kedua kaki pegal

Saat ini kami berdua mengalami loyo dari Tokyo, karena semua kaki terasa pegal, kepala berat dan badan meriang. Semuanya karena kelelahan yang sangat, kedinginan yang mencekam dan jalan kaki yang cukup jauh. Meskipun demikian, kepuasan tiada tara telah terjadi, atas semua petualangan, pengetahuan dan pengalaman baru di Yokohama dan Tokyo, yang akan kami bawa mimpi malam ini, sebelum besok pagi buta pulang ke Indonesia. Kami telah mencoba berjalan kaki, naik taxi, kereta lokal JR Line, subway, monorail dan bahkan bis kota, sementara besok akan naik skyliner, sebuah kereta layang cepat, dari Stasiun Nippori ke Bandara Internasional Narita.

Setelah sarapan seadanya di kamar 709 Central Plaza Hotel Yokohama, karena breakfast belum disediakan, kami check out dari hotel pada hari Minggu, 18 November 2012 pk. 5.35. Dalam dekapan angin pagi buta sekitar 6 derajad C, kami berjalan bergegas ke Stasiun Tsurumi, untuk naik JR Keihin-Tohoku Line menuju Omiya, karena berencana turun di stasiun Nippori (6 stasiun lagi di timur Tokyo), untuk berganti Skytrain ke Bandara International Narita. Bandara di dekat kota Narita tersebut terletak sekitar 66 km sebeluh timur Tokyo. Kami melewati stasiun Kawasaki, Kamata, Omori, Oimachi Shinagawa, Tamachi, Hamamatsucho, dan Yurakucho. Saat menjelang stasiun Tokyo, kami berhitung cepat bahwa harga tiket Skytrain dari Nippori ternyata terlalu mahal, yaitu Y2900, sehingga kami putuskan naik Rapid Service JR Line yang bertarif Y1280 dari Tokyo.

Kami putuskan turun di Tokyo dan keluar di Marunouchi North Exit, untuk mengambil foto gerbang stasiun Tokyo yang dibangun pada tahun 1914, dan arsitekturnya mengambil inspirasi dari Stasiun Amsterdam Central, di Belanda yang telah kami kunjungi pada tahun 2007. Gerbang megah berwarna merah bata tersebut tetap dipertahankan bentuk dan fungsinya sampai sekarang, meskipun di dalamnya sudah berubah menjadi interchange station tersibuk di dunia, karena memadukan sekitar 12 rute kereta. Gerbang merah tersebut bahkan terawat sangat baik, dan menjadikannya lansekap kota Tokyo sejati, karena memiliki kombinasi sangat bagus dengan bangunan hotel dan perkantoran yang ultra modern, di sekitarnya. Kami sempatkan mengambil foto lansekap stasiun Tokyo dalam tiupan udara dingin dan pencahayaan matahari pagi yang belum terlalu cerah.

 DSC01968  DSC01962
Tiang penanda Stasiun Tokyo

dalam aksara Latin dan Kanji

Gerbang Stasiun Tokyo merah bata

berdiri sejak tahun 1914

Penampilan sebagian besar penumpang di Jepang saat musim dingin seperti ini, tetaplah rapi. Yang pria dewasa banyak yang berjas, gelap kemeja cerah, berdasi motif cerah dan ditutupi jas panjang sampai lutut yang sewarna. Yang perempuan juga berjaket tebal sementara yang muda mudi jauh lebih modis lagi. Sebagian besar menggunakan gadget keluaran terbaru, yang selalu dipegang, diaktifkan untuk game atau koneksi internet yang lain, dan juga sebagai pemutar musik dengan earphone dan headset yang sewarna. Sangat jarang ada orang yang berbicara, baik dengan teman seperjalanan, apalagi dengan sambungan handphone. Meskipun suasana stasiun dan gerbong padat penumpang, dengan demikian tetapi relatif senyap, karena perilaku tersebut.

Dengan menggunakan Rapid Service JR Sobu Line ke Bandara Narita, kami perlu 90 menit atau 30 menit lebih lambat dibanding kereta ekspress ataupun skytrain. Rapid Service itu dilengkapi dengan 15 gerbong berpita warna kombinasi biru tua dan muda, melaju di jalur underground track 3, dan berangkat dari Tokyo pada pk. 7.08. Kami melewati stasiun Shin-Nihombashi, Bakurocho, dan keluar di permukaan tanah menjelang Kinshicho. Setelah itu kami melewati stasiun Komeido, Shinkoiwa, dan berhenti cukup lama di stasiun Ichikawa. Kemudian melewati stasiun Funabashi, Tsudanuma, Inage, Chiba, Tsuga, Yatsukaido, Monoi, dan berhenti lagi cukup lama di stasiun Sakura. Kemudian berjalan lagi melewati stasiun Shisui, Narita, Terminal 2 Bandara dan kami turun di Terminal 1 Bandara. Oleh karena Rapid Service, maka kereta tidak berhenti di beberapa stasiun kecil, meskipun didahului oleh 2 buah rangkain kereta Narita Express yang bentuknya gagah, berwibawa dan elit, bertarif Y2800.

 DSC01931  DSC01964
Becak di Tokyo

yang belum sempat kami coba

Kampanye Kota Tokyo

untuk tuan rumah Olimpiade 2020

Setelah turun dari gerbong kereta yang segera dibersihkan karena itu stasiun tujuan terakhir, kami menuju ke South Wing di lantai 4, naik 6 lantai menggunakan eskalator berulang. Pergantian antar eskalator cukup rumit, sehingga kami harus selalu memperhatikan rambu petunjuk arah. Sesampai di lobbi yang luas di Sout Wing, benderang cahaya matahari, dan penuh dengan penumpang, kami mencari konter ANA (All Nippon Airways) yang lengang, karena hampir semua penumpangnya telah melakukan check-in on line. Dengan sistem tersebut, semua penumpang sudah mendapat bahkan boleh mencetak (print) sendiri kartu naik pesawat (boarding pass). Kami masih harus mencetak boarding pass di mesin anjungan check in, karena tidak mampu mencetak saat di hotel. Dengan sistem check in seperti ini, penumpang tanpa bagasi dapat dilayani sampai pada 75 menit sebelum pesawat bersiap terbang (boarding), sementara sistem yang lain adalah 2 jam untuk penerbangan internasional.

Setelah melalui proses security check dan imigrasi yang teliti, cepat dan ramah, kami sampai di ruang tunggu gate 37 untuk masuk ke perut pesawat (boarding), tepat 3 menit sebelum proses boarding, yaitu pk. 9.45 Sebuah pengaturan waktu yang nekat, penghitungan yang tepat, dan hasil akhir yang menegangkan. Kalau kami mengurus terlebih dahulu pengembalian uang sisa (re-fund) Suica card, yang masih bernilai sekitar Y750 (Y1=Rp 152.000) setiap kartu di anjungan mesin di pintu keluar JR Line, mungkin kami akan ketinggalan pesawat. Pastilah hal yang demikian akan menjadi sebuah kenangan sangat pahit, memalukan dan membingungkan.

Pesawat yang kami naiki adalah jenis Boeing 767-300 berkode NH 937, berkapasitas 270 penumpang, merupakan salah satu pesawat milik maskapai ANA yang tahun ini genap berumur 72 tahun. Puncak acara ditandai dengan pembukaan rute baru dari Tokyo ke New York, Delhi dan Yangon. Selain itu, juga penerbangan pertama menggunakan pesawat ‘the state of the art’ Boeing 787 ke Seattle, Beijing dan San Jose. ANA terbang perdana pada 13 Desember 1940 dari Heneda ke Iwakuni. Heneda sekarang menjadi bandara domestik di Tokyo, sedangkan Iwakuni sekarang menjadi US Marine Corp Air Station of Iwakumi, yang juga dikenal sebagai Kintaikyo (Kintai Bridge) Airport.

Jarak perjalanan kami pulang dari Jepang ke Jakarta adalah 5.865 km dari Tokyo, dengan waktu tempuh 6 jam 53, sehingga perkiraan waktu sampai di Jakarta pk. 18.27. Ketinggian jelajah pesawat adalah 9.144 m di atas permukaan laut, dengan kecepatan 896 km/jam di udara, atau setara 711 km/jam di darat.

Petualangan panjang nan melelahkan yang relatif hemat ini, menghabiskan bekal setara 3 kali UMR di sekitar rumah. Disampaikan banyak terima kasih, kepada siapapun yang telah mendukung terselenggaranya acara ini, juga kepada semua pihak yang telah memberikan apresiasi atas laporannya. Sampai bertemu di dalam laporan petualangan berikutnya.

Sekian

Minggu, 18 November 2012

ditulis sambil duduk di kursi 37F, Boeing 767-300, ANA, NH 937

di atas Laut Cina Selatan sekitar 1.242 km dari Tokyo

*) penjelajah dari Jawa bermodal nekat

By Fx Wikan Indrarto

Dokter Fx Wikan Indrarto

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *