Categories
Istanbul

2018 Tanpa Antibiotika

TANPA   ANTIBIOTIK

Terkadang Tidak Memberikan, Ternyata Lebih Baik

(Sometimes Nothing Is Better Than Something)

fx. wikan indrarto*)

 

 

Neil Gaffin, MD dan Brad Spellberg, MD Senin, 9 April 2018 menuliskan ‘The Lean Antibiotic Mantra’, yang menyebutkan bahwa penemuan obat antibiotik adalah salah satu pencapaian terbesar peradaban manusia.

(https://www.medscape.com/)

 

Sayangnya, pada beberapa dekade terakhir penggunaan yang berlebihan, ekspektasi dan persepsi masyarakat yang tidak selaras, dan alat diagnostik yang terbatas, ditambah dengan populasi pasien yang semakin kompleks dan kronis, telah menempatkan kita semua pada era post-antibiotik. Ancaman kiamat (apocalyptic scenario) ini telah menyebabkan semua RS wajib memiliki program pengendalian antibiotik atau PPRA (Program Pengendalian Resistensi Antimikroba), untuk memastikan penggunaan obat antibiotik secara lebih tepat.

 

Tujuan utama dari pengendalian antibiotik adalah untuk memastikan bahwa dokter menentukan jenis obat antibiotik, dosis, dan durasi yang tepat. Namun demikian, landasan penggunaan antibiotik adalah membuat diagnosis yang tepat (the cornerstone of antibiotic stewardship is making an accurate diagnosis). Jika pasien tidak memiliki bukti infeksi bakteri invasif, maka obat antibiotik, dosis, dan durasi apapun pasti selalu tidaklah bijaksana (are always wrong).

 

Membuat diagnosis yang akurat, untuk membedakan infeksi bakteri dari banyak kondisi serupa atau’ mimickers’ adalah sulit. Jebakan yang terdokumentasi lebih sering terjadi pada pasien dewasa, bukan pasien bayi atau anak, yang disebabkan karena infeksi saluran kemih, radang paru-paru (pneumonia), dan infeksi kulit (selulitis). Berikut ini adalah beberapa kasus pasien dewasa di RS yang sering diresepkan antibiotik secara empiris. Selain itu, juga gambaran tentang tantangan diagnosis awal, prosedur mengurangi  penggunaan antibiotik, mengoptimalkan hasil klinis, dan meminimalkan bahaya. Bahaya yang sering muncul adalah resistensi antibiotik, infeksi bakteri ‘Clostridium difficile’, super infeksi jamur, dan efek samping obat antibiotika.

 

Kasus pertama :

 

Seorang pria berusia 86 tahun diantar ke UGD RS setelah terjatuh. Anamnesis oleh dokter didapatkan hasil yang terbatas karena kebingungan pasien. Terdapat demam (suhu 39,1 °C) dan saturasi oksigen 94% pada udara ruangan, dan hemodinamik stabil. Pemeriksaan dada normal. Tidak ada luka traumatis yang jelas.

Jumlah sel darah putih (WBC) adalah 6.000 sel / mL, tanpa pergeseran kiri. Tingkat nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin masing-masing adalah 2 mg / dL dan 0,6 mg / dL. Foto X-ray dada  terlihat “opacity tengah-paru kanan tambal sulam” (“patchy right mid-lung opacity”) dan tidak ada film sebelumnya yang tersedia untuk perbandingan. Dokter mendiagnosis dengan pneumonia (radang paru-paru) dan pasien diberikan antibiotika ceftriaxone dan azithromycin.

 

 

Foto rontgen dada kasus pertama.

 

 

Berdasarkan foto X-ray dada portabel terlihat “opacity tengah-paru kanan,” berikut ini adalah pendekatan terbaik untuk meminimalkan paparan terhadap terapi antibiotik yang tidak perlu, yaitu melakukan pemeriksaan procalcitonin serum dan PCR (Polymerase Chain Reaction); jika tingkat prokalsitonin <0,5 ng / mL, pemberian antibiotik dapat dihentikan.

 

Dengan demikian, beberapa tindakan berikut ini tidak diperlukan, yaitu lanjutan terapi antibiotik intravena selama 3 hari, kemudian ubah ke cefuroxime oral selama total 5 hari, ataupun mengubah ke cefuroxime dan azitromisin oral masing-masing untuk total 7 dan 5 hari, setelah stabil secara klinis dan bebas demam selama setidaknya 48 jam. Juga mengubah ke antibiotika agen tunggal yang mencakup organisme pneumonia baik yang khas dan atipikal yang diperoleh masyarakat (misalnya, fluoroquinolone oral), sekali sehari selama 48 jam; selesaikan total 5 hari terapi.

 

Tantangan utama dalam menegakkan diagnosis pneumonia secara tepat adalah bahwa patogen penyebab biasanya tidak diketahui. ‘Streptococcus pneumoniae’ adalah penyebab paling umum pneumonia yang didapat pada masyarakat. Namun demikian, beberapa penelitian terbaru menemukan bahwa meskipun pengujian ekstensif, 50-60% kasus pneumonia yang didapat pada  masyarakat di Amerika Serikat, tidak memiliki etiologi yang pasti atau disebabkan oleh virus. Perubahan jenis patogen ini menjadi viral, mungkin mencerminkan penurunan penyebab bakteri pneumokokus pada era vaksinasi.

 

Pada bulan Februari 2017, US Food and Drug (FDA) menyetujui penanda infeksi darah procalcitonin, sebagai pegangan terapi antibiotik pada pasien dengan infeksi saluran pernapasan akut. Tes ini telah dipelajari secara luas sebagai biomarker infeksi saluran pernapasan oleh bakteri invasif. Jika tes ini dilakukan pada 6-12 jam setelah onset penyakit, nilai <0,5 ng / dL menunjukkan bahwa antibiotik dapat dengan aman dihentikan (atau dibatalkan, jika belum dimulai).

 

Sebuah meta analisis terbaru terhadap hampir 7.000 pasien dari 26 penelitian, yang dilakukan di 12 negara, menemukan bahwa pemeriksaan prokalsitonin dalam pengambilan keputusan terapeutik menghasilkan pengurangan sekitar 30% dalam durasi terapi antibiotik, mengurangi terjadinya efek samping terkait antibiotik sebesar 32%, dan secara signifikan mengurangi angka kematian dari 10% menjadi 9%. Kelangsungan hidup pasien mungkin disebabkan oleh penghindaran dari bahaya yang terjadi dari paparan antibiotik, karena adanya pembatasan terapi antibiotik untuk pasien dengan kecurigaan infeksi bakteri invasif. Untuk pasien ini, pemeriksaan biakan patogen pernapasan negatif dan hasil prokalsitonin 24 jam adalah 0,07 ng / mL (<0,5 ng / mL), sehingga penggunaan antibiotik dapat dihentikan dengan aman dan pasien membaik.

 

Kasus kedua :

 

Seorang wanita berusia 86 tahun yang tinggal di Panti Lansia diantar datang ke UGD dengan keluhan nyeri lengan kiri 10 hari semakin memburuknya, terdapat warna kulit kemerahan, pembengkakan, dan rasa sakit di atas dorsum tangan kiri, setelah terjatuh. Tidak ada riwayat demam. Asam amoksisilin klavulanat dimulai 2 hari sebelum kunjungan ke UGD untuk kemungkinan radang kulit atau selulitis. Riwayat medis demensia, rheumatoid arthritis, penyakit ginjal kronis, dan diabetes mellitus.

 

Di ruang IGD, pasien tidak demam. Dorsum tangan kiri terasa hangat, merah, dan bengkak, terutama pada sendi metacarpophalangeal kedua. Hitung WBC adalah 13.000 sel / μL. Kadar BUN dan kreatinin masing-masing adalah 101 mg / dL dan 2,9 mg / dL (54 dan 1,8 mg / dL pada bulan sebelumnya). Foto rontgen Sinar X tangan menunjukkan tidak ada patah tulang. Diagnosis kerjanya adalah selulitis dan radang selaput sendi atau tenosinovitis. Untuk itu pasien mulai diberikan antibiotika tambahan  vankomisin dan cefazolin di UGD.

Gambar 2. Tangan kiri pasien saat masuk di UGD.

 

Tindakan medis yang lebih tepat untuk pasien ini adalah menghentikan obat antibiotika vankomisin dan mulai diberikan obat kortikosteroid, karena kemungkinan besar pasien ini mengalami radang sendi, yaitu gout atau pseudogout. Dengan demikian, tindakan lainnya tidak diperlukan, termasuk menambahkan obat antibiotika ceftriaxone untuk cakupan bakteri gram-negatif, maupun berkonsultasi dengan dokter bedah terkait operasi tangan untuk mengeluarkan nanah atau insisi dan drainase pus segera. Selain itu, juga tidak perlu menambahkan obat kortikosteroid ke vankomisin untuk mengobati gout dan selulitis. Mengingat usia pasien, nodus Bouchard yang muncul di tophaceous, perburukan azotemia pada penggunaan diuretik, riwayat trauma terjatuh, perjalanan penyakit yang progresif, tidak ada respons terhadap antibiotik empiris, dan munculnya artropati yang diinduksi oleh trauma, sering kali menyulitkan diagnosis pasti penyakit non infeksi.

 

Kadar asam urat serum dapat normal pada hampir 50% pasien gout selama terjadinya serangan akut.  Diagnosis gout dapat ditegakkan dengan aspirasi cairan berdarah atau berkapur yang tidak mengandung kristal monosodium urat dari pembengkakan tophaceous atas sendi MCP kedua. Pasien akhirnya terus membaik dan dipulangkan dengan rekomendasi untuk menindaklanjuti masalah rheumatologinya. Untuk itu, perlu diingat bahwa artropati inflamasi, seperti gout dan pseudogout, termasuk di antara banyak ‘mimicker’ selulitis, tetapi pengobatannya adalah dengan obat anti-peradangan, bukan obat antibiotik.

 

Gambar 3. Perkembangan perbaikan di tangan kiri setelah pengobatan dengan kortikosteroid dan kristal monosodium urat aspirated. Gambar di sebelah kanan menunjukkan kristal urat di bawah mikroskop polarisasi.

 

Kasus ketiga :

 

Seorang wanita yang sebelumnya sehat berusia 29 tahun datang ke UGD dengan 3 hari batuk memburuk yang terkait dengan demam dan menggigil. Tidak ada riwayat perjalanan ke wilayah infeksius dan tidak mengalami gangguan pernapasan. Suhunya adalah 103,1 ° F. Saturasi oksigen pada udara ruangan adalah 98%. Pemeriksaan dada sudah jelas. Hitung WBC adalah 6.300 sel / μL, tanpa pergeseran kiri. Foto X-ray dada menunjukkan “penyusupan berkonsolidasi lobus kiri yang padat” dan CT Scan dada menunjukkan konsolidasi lobus kiri bawah.

 

Kadar procalcitonin yang dikirim dari UGD adalah 0,06 ng / mL, dan tes PCR patogen pernapasan positif untuk enterovirus dan rhinovirus. Setelah dirawat inap di rumah sakit, pasien mulai diberikan antibiotik ceftriaxone dan doxycycline untuk pneumonia yang didapat di masyarakat (community acquired acute pneumonia). Pasien tetap stabil secara klinis dan demam turun pada hari berikutnya. Kadar prokalsitonin pada hari kedua di rumah sakit adalah 0,04 ng / mL.

 

Gambar 4. Foto rontgen dada adanya konsolidasi lobus kiri bawah.

 

Gambar 5. CT Dada mengungkapkan konsolidasi lobus kiri bawah.

 

Ketika Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP) melakukan visite medik di rumah sakit pada hari berikutnya, rekomendasi terbaik adalah hentikan antibiotik dan pasien diperbolehkan pulang ke rumah, dengan diagnosis akhir pneumonia atau radang paru-paru karena rhinovirus. Dengan demikian, anjuran berikut tidak bijak, termasuk mengubah antibiotika menjadi amoksisilin asam klavulanat selama 4 hari lagi, untuk menyelesaikan terapi antibiotika total 7 hari, untuk pengobatan pneumonia yang didapat di masyarakat. Hal ini sering dilakukan, dengan pertimbangan dokter adanya ko-infeksi bakteri, dengan alasan adanya konsolidasi padat pada foto x-ray dada, sehingga memerlukan setidaknya 1 minggu terapi antibiotika. Selain itu, juga tidak diperlukan pengubahan ke obat moxifloxacin oral selama 3 hari lagi, karena kekhawatiran dokter atas superinfeksi bakteri. Juga tidak disarankan untuk meminta konsultasi dokter spesialis paru, untuk bantuan dalam menentukan patogen penyebab.

 

Pemeriksaan kadar prokalsitonin telah divalidasi dengan baik, sebagai biomarker untuk mendukung penghentian terapi antibiotik pada pasien dengan infeksi saluran pernafasan. Salah satu perangkap utama dalam diagnosis dan penatalaksanaan pneumonia adalah, keyakinan yang salah bahwa radiografi toraks atau pola CT memiliki kekhususan yang cukup, untuk menentukan jenis patogen yang bertanggung jawab untuk pneumonia. Pada hal, baik virus maupun bakteri dapat menyebabkan pola gambaran radiografi yang sama. Dengan demikian, hasil pemeriksaan radiologi saja tidak dapat membuat diagnosis pneumonia yang akurat dan tidak boleh menjadi satu-satunya penentu terapi obat antibiotik. Pasien ini hanya menerima 2 hari terapi antibiotik dan kemudian pulang tanpa sequelae.

 

Kasus keempat :

 

Seorang wanita berusia 95 tahun diantar datang ke ruang UGD dengan riwayat hematuria 2 hari, nyeri suprapubik, dan kesulitan berkemih. Pasien mengonsumsi obat naproxen setiap hari untuk mengurangi nyeri kaki setelah jatuh belum lama ini. Pasien tidak mengalami disuria, demam, atau kedinginan dan saat di UGD tidak ada kemih berdarah. Kateterisasi kandung kemih signifikan untuk 450 mL urin berdarah. Hitung WBC adalah 7.900 sel / μL. Tingkat BUN dan kreatinin masing-masing adalah 39 md / dL dan 2,1 mg / dL. Urinalisis menunjukkan leukosit penuh, sel darah merah, dan nitrat negatif. CT pinggul mengungkapkan “kandung kemih berdinding tebal difus.”

Pasien didiagnosis memiliki sistitis hemoragik setelah berkonsultasi dengan dokter spesialis urologi, dan mulai diberikan antibiotika dengan ceftriaxone dan cairan intravena. Keesokan harinya, dia bebas dari rasa sakit dan berkemih tanpa kesulitan, dan urinnya bersih. Pemeriksaan biakan urin menunjukkan organisme bakteri campuran, yang konsisten dengan hasil kontaminasi.

 

Berikut ini rekomendasi terbaik, yaitu hentikan antibiotik. Dengan demikian, tindakan lainnya tidak bijaksana, termasuk usulan melanjutkan terapi intravena selama 7 hari dan pengubahan ke antibiotika levofloxacin oral selama 10 hari

Pada wanita lansia yang menggunakan obat anti-inflamasi nonsteroid, sering menunjukkan gambaran kandung kemih yang berdinding tebal, sehingga mirip dengan obstruksi saluran kemih kronis. Oleh sebab itu, infeksi akut diyakini tidak mungkin menjadi pemicu hematuria dan retensi urine. Bahkan pasien ini dengan cepat membaik dalam 24 jam, tanpa lanjutan pemberian obat antibiotika.

 

Gross hematuria pada orang tua jarang disebabkan oleh infeksi, tetapi lebih merupakan sekunder karena kelainan saluran genitourinari yang mendasari. Pasien ini terlanjur menerima 2 hari obat antibiotik dan tidak menunjukkan gejala sisa saat follow-up 10 hari kemudian. Khusus pada populasi pasien seperti ini, yang seringkali memiliki beberapa komorbiditas, sangat penting bagi dokter untuk mempertimbangkan manfaat terapi antibiotik dengan potensi bahaya serius, seperti infeksi ‘Clostridium difficile’.

 

Kasus kelima

 

Seorang wanita berusia 80 tahun, diantar ke UGD setelah episode sinkop singkat. Pasien telah mengalami batuk kering dan nafas tersumbat (dry cough and congestion) dalam 3 hari sebelumnya. Tidak ada demam, tetapi memiliki riwayatnya operasi fiksasi internal untuk patah tulang pinggul kiri dan penyakit Parkinson.

Keadaan umum pasien lemah saat berada di ruang Gawat Darurat. Saturasi oksigen pada udara ruangan adalah 91%. Pemeriksaan dada terdengar mengi (wheezes) bilateral. Hitung leukosit adalah 7.100 sel / μL, tanpa pergeseran kiri. Foto X-ray dada menunjukkan adanya “infiltrasi di bagian kiri paru-paru”. Pemeriksaan PCR patogen pernafasan positif adanya RSV (respiratory syncytial virus) dan kadart procalcitonin serum adalah 0,25 ng / mL. Pasien diberi obat antibiotika ceftriaxone dan azithromycin, serta obat albuterol nebulisasi oleh dokter IGD.

 

Gambar 6. Foto X-ray dada portabel menunjukkan infiltrasi tengah paru kiri.

 

Ketika dokter datang visite medik pada keesokan harinya, secara klinis pasien membaik afebris dengan pemberian oksigen kanula nasal 2 L, dan masih ada sedikit mengi. Pasien belum menerima antibiotik lebih lanjut dan rekomendasi terbaik dalam manajemen infeksi paru-parunya adalah melanjutkan manajemen suportif tanpa antibiotik tambahan. Dengan demikian, maka rekomendasi berikut adalah tidak bijak, yaitu memulai doxycycline selama 5 hari, melanjutkan ceftriaxone intravena dan azitromisin ataupun mengubah ke fluoroquinolone oral selama 5 hari

 

Ini adalah contoh lain tentang bagaimana menggabungkan unsur-unsur kunci dari anamnesis pasien yang cermat dan pemeriksaan klinis sederhana (afebris, mengi, penghitungan WBC normal), untuk menciptakan probabilitas pretest klinis yang rendah untuk pneumonia bakteri, apalagi kalau hasil pemeriksaan foto x-ray dada abnormal. Dengan menggabungkan pemeriksaan identifikasi patogen virus dan kadar prokalsitonin darah yang rendah, tentu saja kemungkinan ko-infeksi bakteri invasif sangat rendah. Dengan demikian, pasti aman untuk tidak memberikan antibiotik lebih lanjut. Pasien ini terus membaik dengan perawatan suportif.

 

Kasus-kasus tersebut di atas mewakili skenario yang terjadi ribuan kali setiap hari, di berbagai negara. Sangat penting bahwa kita tidak hanya menuntut perlunya kelanjutan harian antibiotik untuk diagnosis yang diberikan, tetapi juga diagnosis itu sendiri. Semua pasien ini terus membaik setelah penghentian terapi antibiotik. Sangat penting bahwa para dokter tidak hanya menuntut perlunya kelanjutan pemberian obat antibiotik untuk diagnosis yang diberikan, tetapi lebih untuk diagnosisnya itu sendiri.

 

Antibiotik adalah obat yang dipercaya oleh masyarakat (a shared societal trust). Oleh sebab itu penggunaan obat oleh seseorang akan memengaruhi penggunaan selanjutnya pada orang lain. Jika diagnosis awal dalam semua kasus tersebut tidak dipertanyakan, efek buruk pada individu dan masyarakat, akan terjadi karena terapi antibiotika yang tidak perlu. Dengan era pasca antibiotik yang akan hadir nyata dan besarnya ancaman infeksi ‘Clostridium difficile’, adalah tugas kita semua untuk melakukan apa yang kita mampu, untuk melestarikan keajaiban antibiotik dan meminimalkan bahayanya secara bersamaan.

Sudahkah kita bijak?

 

dr Wikan 6

Sekian

Yogyakarta, 22 Mei 2018

*) Sekretaris IDI Wilayah DIY, dokter spesialis anak, Alumnus S3 UGM, pengajar di FK UKDW, WA: 081227280161

 

By Fx Wikan Indrarto

Dokter Fx Wikan Indrarto

Leave a Reply