Categories
Istanbul

2014 Nyaris di Perancis

NYARIS  DI  PERANCIS
fx. wikan indrarto*)

Pada hari Senin dan Selasa, 8 dan 9 September 2014 kami mengikuti ERS (European Respiratory Society) International Congress 2014 yang diselenggarakan di ICM (Internationales Congress Center Munchen) di Messegelande, Munchen, Bavaria, Jerman. Setelah selesai acara konggres, kami meninggalkan Munchen, Jerman menuju Roma, Italia. Selanjutnya pada Jumat pagi buta yang dingin, 12 September 2014, kami menyebarang ke Paris, Perancis melalui ‘Aeroporti di Roma’ atau Fiomicino Leonardo da Vinci International Airport (FCO) Roma, Italia.

.

Perjalanan ke bandara internasional tersebut, bukan ke bandara domistik Ciampino, ditempuh dalam waktu 40 menit dari CIAM (Centro Internazionale di Animazione Missionaria) via Urbano VIII no 16, Roma (Citta del Vaticano), dengan menggunakan sebuah mobil carteran. Kami melewati arus ‘fortenza’ atau masuk dan diturunkan di area tanpa tulisan ‘riservato’ atau sudah dipesan. Setelah proses lapor diri ke petugas darat maskapai Alitalia, kami mencari pintu ‘partenza’ atau keberangkatan, dengan mampir di ‘postazione di ricarica’ atau tempat mengisi arus batere ‘chardge’ HP. Dengan membawa ‘carta d’imbarco’ atau kartu naik pesawat, kami mantap menuju Paris Charles de Gaulle (CDG), bukan Paris Orly, sebagai ‘destinazioni’ selanjutnya di Perancis. Kami menggunakan pesawat Alitalia AF 1005 sebagai ‘I Partner di Volo’ atau kerjasama maskapai dengan Air France di kelas ‘classica’ atau ekonomi.

baca juga  :  https://dokterwikan.wordpress.com/2018/05/22/2014-nyata-italia/

.

Pesawat kami adalah sebuah Airbus A321, yang merupakan bagian dari 14 buah ‘medio raggio’ atau pesawat jarak menengah dengan 200 seat. Pesawat Alitalia ‘lungo raggio’ atau jarak jauh memiliki 256-293 seat, dan ‘regionali’ atau jarak dekat 88-100 seat. Sekejap di Roma, kami jadi mengenal istilah dalam Bahasa Italia, termasuk ‘flotta Alitalia’ (penerbangan dengan Alitalia), ‘Monaco’ (Munchen), ‘Germania’ (Jerman), ‘Parigi’ (Paris), ‘Francia’ (Perancis), ‘Giacarta’ (Jakarta), ‘Londra’ (London), ‘benvenuti’ (selamat datang), ‘dalla terra fino al cielo’ (dari darat ke angkasa), ‘ristoranti’ (rumah makan), dan ‘alberghi’ (hotel).

 
IMG-20140913-WA0023
 
IMG-20140912-WA0013

Jangan malu bertanya di Perancis
meski English tidak jamak

Mesin tiket elektronik layar sentuh
Lumrah ditemui di Perancis

Setelah penerbangan 1 jam 20 menit, kami tidak lagi disebut sebagai ‘signor and signore’ saat mendarat di Bandara Paris CDG pk. 10.05. Setelah ucapan ‘bienvenido’ atau selamat datang dalam logat setempat, kami segera dibuat terkagum atas kemegahan arsitektur modern ‘Aeroports de Paris CDG’. Paris adalah kota tujuan turis paling populer di dunia, dengan 30 juta wisatawan asing per tahun. Nama latin Paris adalah Lutetia Parisiorum, yang kemudian dipotong menjadi hanya Paris. Nama ini berasal dari suku Parisii Galia, yang berarti “ketel besar”. Pada tahun 1190, Raja Philip Augustus menutup Paris dari kedua tepi dengan dinding tebal, yaitu Louvre sebagai benteng pertahanan kota dan tahun 1200 dibuka Universitas Paris yang menarik pelajar dari seluruh daratan Eropa. Sejak periode ini Paris berkembang sangat cepat dan tertata, yaitu daerah tengah dijadikan institusi pemerintah dan keagamaan, sisi kiri menjadi pusat pendidikan dengan banyak universitas, sementara sisi kanan berkembang sebagai pusat perdagangan, di sekitar pasar sentral Les Halles. Paris sempat kehilangan posisinya sebagai ibukota Perancis ketika diduduki oleh bangsa Burgundia, sekutu Inggris selama Perang Seratus Tahun, tetapi kemudian dijadikan ibukota kembali oleh Raja Charles VII pada tahun 1437. Selama Perang Agama di Perancis, Paris menjadi basis partai Katolik, sampai terjadi pembantaian St. Bartholomew pada tahun 1572. Raja Henry IV mendirikan kembali istana kerajaan di Paris tahun 1594 setelah berpindah agama menjadi Katolik Roma, dengan kalimat terkenalnya Paris sangat pantas merayakan Misa. Selama periode kekacauan, warga Paris memberontak dan keluarga kerajaan meninggalkan kota pada tahun 1648. Raja Louis XIV pindah ke istana kerajaan permanen di Versailles tahun 1682. Seabad kemudian, Paris menjadi pusat Revolusi Perancis, dengan Penyerangan Penjara Bastille tahun 1789 dan kejatuhan monarki tahun 1792.

 
IMG-20140912-WA0004
 
IMG-20140912-WA0016

‘bienvenido’ atau selamat datang
di ‘Aeroports de Paris CDG’

Suasana sore di sebuah sudut kota Paris

Bandara CDG kebanggaan warga Paris ini memiliki 3 buah ‘terminaux’ (1 sampai 3) yang dihubungkan dengan kereta bandara shuttle, dan setiap terminal memiliki 7 buah subterminal (A sampai G). Siang itu kami tidak sempat mencoba ‘Paris par train’, karena ‘Mitry-Claye’ yang di bawah tanah ataupun ‘TGV’ yang di atas tanah, kedua jenis kereta api tersebut tidak ada yang menuju ‘Gare’ (Stasiun) Montparnasse, tujuan pertama kami di dalam kota Paris. Keduanya menuju Gare du Nord, Chatelet-Les Hailes dan Saint-Michael Notre-Dame yang merupakan stasiun jauh lebih besar. Kami segera berganti naik ‘les cars AirFrance’ atau bis bandara line 4 menuju Gare Montparnasse, dengan mencoba membeli 1 tiket elektronik dengan mesin berlayar sentuh, seharga E 17 dengan master card ATM BRI dan membandingkan dengan membayar langsung kepada sopir, 1 tiket lainnya. Bis kami berangkat pk. 12 melewati ‘Gare’ de Lyon. Rute bis Line 3 adalah antara bandara CDG ke Orly Airport, Line 2 CDG ke pusat kota Champs-Elysees, dan Line 1 Orly ke pusat kota Champs-Elysees. Sepanjang perjalanan selama 50 menit, kami akrab dengan berbagai mobil produksi Perancis, yaitu Renault, Peogeot, dan Citroen.

Setelah sampai di ‘Gare’ Montparnasse, kami segera mencari lokasi ‘consignes’ atau penitipan kopor dan ‘depart un autre jour’ atau loket pembelian tiket bukan pada hari keberangkatan. Diselingi berulang tersesat dan berkali-kali kesulitan berkomunikasi, karena besarnya areal bangunan dan sangat sedikitnya petunjuk dalam Bahasa Inggris, untunglah kami berhasil mendapat tiket kereta api Paris ke Lourdes PP. Setelah lega mendapatkan tiket manual, karena gagal kami pesan secara elektronik, terkait mepetnya waktu keberangkatan, kami segera makan siang menjelang sore di kios Francesca, berupa ‘spaghetti pesto’ seharga E 6,5 dan ‘insalata’ seharga E 4,3. Kedua menu Perancis tersebut sulit tertelan ke dalam perut Asia, sampai kami jadi gemetaran saat berdiri di ‘limite de confidentialite’ atau garis pembatas antrian tiket Metro.

 
Eiffel Paris
 
IMG-20140912-WA0008

Menara Eiffel
dari atas jembatan Sungai Seine

Menara Eiffel
kerangka baja yang tinggi dan kokoh

Kami segera naik Metro 4, sebuah kereta api bawah tanah dari Bienventie Montparnasse dengan tiket seharga E 1,5 untuk menuju ke Parc Hotel, yang sudah kami pesan lewat internet sejak di Jogjakarta. Kami melewati berbagai lorong bawah tanah yang berarsitektur kuno, bercabang sangat banyak dan akhirnya tersesat lagi, karena alamat hotel yang kami tuju untuk menyimpan kopor sebelum kami keliling kota, tidak diketahui para penumpang yang mengenal ‘English’. Sebagian besar dari mereka hanya paham ‘French’ dan pertempuran selama 100 tahun, termasuk saat Napoleon (French) melawan Nelson (English) berabad lalu, masih terasa sampai sekarang, termasuk dalam bidang bahasa. Kami segera putar haluan dengan mempelajari lebih cermat, rute Metro. Di Megapolitan Paris ada ‘Ligne de Metro’ kereta di bawah tanah, ‘Roissy’ bis kota, ‘Ligne de Tramway’ trem yang melingkari kota, ‘RER’ kereta yang menjangkau daerah suburb, dan ‘Batobus’ kapal yang melewati sungai Seine yang membelah kota. Ada lagi ‘velib’ atau sepeda sewaan, taxi, dan ‘autolib’ atau mobil sewaan. Kami segera mencari ‘stations ou gares en correspondance’ atau persinggungan 2 jalur kereta di sebuah stasiun yang kecil, agar tidak tersesat lagi. Untunglah kami menemukan Raspail, sebuah stasiun yang menghubungkan hanya 2 line Metro, dan dijamin kami pasti tidak tersesat. Dari Montparnasse Bievenue kami naik M4 tujuan ke Mairie de Montrouge, dengan melewati Vavin. Benar perhitungan kami, karena di Raspail kami tidak kesulitan untuk berganti M6 yang menuju Charles de Gaulle Etoile. Kami melewati Edgar Quinet, Mont, Pasteur, jalur kerata kemudian keluar tanah mencapai Sevres Lecourbe, Cambronne, La Motte Pisquet Grenelle, Dupleix, dan turun di Bir Hakiem. Tujuan kami adalah melihat Menara Eiffel di pinggiran Sungai Seine. Paris bagian tengah yang akan kami kunjungi, meskipun terkena dampak Perang Dunia II, tetapi tidak mengalami kerusakan hebat, karena tidak ada target strategis bagi pengebom Sekutu dan juga karena tampilan budayanya. Jenderal von Choltitz dari Jerman tidak menghancurkan semua monumen Paris sebelum Jerman mundur, seperti yang diperintahkan oleh Adolf Hitler, yang mengunjungi Paris tahun 1940.

Selain itu, kami diingatkan akan epidemi penyakit cacar tahun 1832 dan 1849, yang menyerang penduduk Paris, bahkan epidemi tahun 1832 sendiri menewaskan 20.000 orang dari 650.000 penduduk. Paris juga mengalami dampak besar dari Perang Perancis-Prusia(1870-1871) dan kekacauan karena kejatuhan pemerintahan Kaisar Napoleon III, sementara 20.000 warga Paris tewas pada hari Minggu, yang kemudian dikenal sebagai ‘semaine sanglante’ atau Minggu Berdarah. Paris kembali pulih dengan cepat dari peristiwa tersebut untuk menyelenggarakan ‘Expositions Universelles’ atau Pameran Dunia  (World Expo) pada abad ke-19. Menara Eiffel dibangun sebagai peringatan Revolusi Perancis pada Pameran Universal tahun 1889. Meskipun pada awalnya hanya sebagai tampilan “sementara” untuk keindahan arsitektur, tetapi ternyata menjadi menara tertinggi di dunia hingga tahun 1930. Pada Pameran Universal berikutnya di tahun 1900, ditandai dengan pembukaan jalur Métro de Paris, yang merupakan sarana transportasi massal bawah tanah pertama di dunia.

 
IMG-20140912-WA0010
 
IMG-20140912-WA0015

Dari jembatan Sungai Seine
terlihat banyak kapal pesiar berlalu

Di persimpangan jalan
ke Katedral Notre Dame

Setelah terkagum berulang atas keindahan Menara Eiffel dan Palais de Chaillot, yang tepat berseberangan dan dipisahkan Sungai Seine yang padat wisatawan, kami mendapat penjelasan lokasi hotel kami, dari polisi pariwisata di sana dengan menggunakan smartphone merek Huawe. Kami segera meninggalkan Bir Hakeim Nation, naik M6 sampai Raspail berlawanan arah dengan saat kami datang, untuk berganti M4 jurusan Mairie de Montrouge, sampai Porte d’Orleans. Kami melewati Denfert-Rochereau, Mouton-Duvernet, dan Alesia. Seperti sebelumnya, kami harus bertanya berulang, untuk menuju ke Parc Hotel, sebuah hotel sangat kecil yang sudah kami pesan di 60 Reu Beaunier, yang juga hanya sebuah jalan kecil tidak terkenal, di sebuah megapolitan Paris atau Aire urbaine Paris, yang memiliki penduduk hampir 12 juta jiwa, dan merupakan salah satu wilayah metropolitan terpadat di Eropa.

Setelah beristirahat sejenak di Parc Hotel kamar 521, kami segera memulai petualangan lagi. Kami naik M4 dari Mairie de Montrogue untuk turun di Cite. Kami melewati Alesia, Mouton-Duvernet, Denfert-Rochereau, Raspail, Vavin, Montparasse-Bieveneu, Saint-Placide, Saint-Sulpite, Saint Germaint-des-Pres, Odeon, dan Saint Michel. Dengan tiket seharga E1,5, yang kami beli di mesin dan kadang masih harus minta bantuan penumpang lain, kami turun di Cite dan tersesat lagi, karena masuk ke jalur ‘sortie de secours’ atau pintu keluar saat darurat. Tujuan kami adalah Katedral Notre Dame. Notre Dame de Paris atau “Bunda Kita di Paris”, adalah sebuah gereja besar atau katedral di Paris, yang dipersembahkan kepada Bunda Maria, ibunda Yesus. Katedral berasitektur Gothic di sebelah timur Île de la Cité, yaitu salah satu dari dua pulau di delta Sungai Seine, yang membelah Paris. Selain tujuan wisata, gereja ini juga masih digunakan untuk tempat misa yang dipimpin oleh Uskup Agung Paris. Notre Dame de Paris dianggap sebagai salah satu contoh terbaik dari arsitektur gaya Gothic di Perancis. Untunglah kami mampu menjangkau Katedral Notre Dame yang dibangun pada tahun 1163, namun tidak selesai hingga tahun 1361, kemudian hancur setelah revolusi Perancis. Sebagai katedral terbesar di Perancis, kedua menaranya bergaya Gothic tinggi menjulang, dengan 422 anak tangga, termasuk penambahan patung oleh arsitek Eugene Voillet le-Duc, yang ditulis dalam novel Victor Hugo tahun 1831, berjudul Notre-Dame de Paris atau dikenal dengan The Hunchback of Notre Dame. Semua ini menjadikannya memberi pemandangan paling eksotik di Paris, karena dibangun di sebuah delta yang dikepung arus deras Sungai Siene. Kami juga sempat mengagumi Palais de Justice, Bureau de Poste, dan Hotel de Ville di sekitarnya.

 
IMG-20140912-WA0017
 
IMG-20140912-WA0032

Katedral Notre Dame de Paris
contoh terbaik dari arsitektur gaya Gothic

Hotel de Ville
pernah menjadi city hall Paris

Presiden Nicholas Sarkozy telah meluncurkan sebuah kompetisi arsitektur internasional tahun 2008, untuk pembangunan masa depan metropolitan Paris. Sepuluh tim arsitek, perencana urban, ahli geografi, arsitek lanskap telah memberikan visi mereka membangun metropolis Paris abad ke-21, untuk pembangunan masa depan Paris Raya 40 tahun berikutnya. Tujuannya tidak hanya membangun sebuah metropolis ramah lingkungan, tetapi juga mengintegrasikan pinggiran kota dengan pusat Kota Paris, melalui operasi perencanaan urban berskala besar dan proyek arsitektur unik. Sementara itu, dalam usaha mendorong wajah metropolitan Paris pada kompetisi global, beberapa bangunan pencakar langit supertinggi (300 m atau 1,000 ft dan lebih), telah disetujui sejak tahun 2006 di distrik bisnis La Défense, di barat batas kota, dan dijadwalkan selesai awal tahun 2020-an, melebihi konstruksi Tour Montparnasse pada awal tahun 1970-an. Setelah puas memandang lansekap di sekitar Cite, kami segera pulang kembali ke hotel untuk melihat Tour Montparnasse dengan menggunakan M4. Berbeda dengan yang selama ini kami amati, Metro di Paris memiliki arsitektur stasiun dan rangkaian gerbong kereta dari generasi lama, sehingga belum terkesan modern seperti di kota lain, termasuk petunjuk rute yang tertempel di interior gerbong maupun pengumuman elektronik yang hanya berbahasa Perancis saja. Kembali dari Cite kami naik M4 ke Mairie de Montrouge, untuk turun di Porte d’Orleans. Rencana kami untuk melihat Tour Montparnassea kami batalkan dan kami akan berganti tram T3a ke Porte d’Italie, Porte d’Ivry dan Porte de Choisy, untuk makan menu Asia, karena semuanya itu berada di areal China Town. Rencana tersebut juga kami batalkan, karena kaki sudah sangat penat, apalagi kami tersesat lagi di Porte d’Orleans, yang sebenarnya hanya merupakan stasiun M kecil, dengan 5 ‘sortie’ atau pintu keluar ke arah yang sangat berlawanan. Untung kami dibantu oleh seorang penumpang dengan smartphonenya, untuk mencari hotel kami, yang sebenarnya hanya berjarak 200 m dari stasiun M tersebut.

 
TGV
 
IMG-20140913-WA0014

TGV 8571, kereta api cepat
Ke dan dari Gare Montparnasse Paris

Para peziarah yang sakit di Lourdes
berharap kedamaian dan kesembuhan

Sabtu pagi buta pk. 5, 13 September 2014, kami meninggalkan Parc Hotel dengan naik M4 dari Porte d’Orleans, melewati Alesia, Mouton-Duvernet, Denfert Rochereaut, Raspail, Vavin, dan turun Montparnasse-Bienvenue. Ketersesatan kembali terjadi, yaitu untuk mencari Gare Montparnasse dan akan berganti KA antar kota. Ketersesatan berlanjut, karena Gare tersebut memiliki 5 lantai, untuk mencari ‘consignes’ atau penitipan kopor, padahal hari sebelumnya sudah kami lihat. Ternyata ‘consignes’ baru buka pk. 7, pada hal kereta api kami berangkat pk. 6.28. Akhirnya kami putuskan bahwa kopor kami terpaksa kami bawa juga berziarah ke Lourdes, seperti saat kami tour ke Menara Eiffel hari sebelumnya, meskipun berat, merepotkan, dan hari berikutnya kami akan ke stasiun yang sama, untuk kembali ke bandara.

Kami mencari TGV 8571, kereta api cepat terusan, yang akan berangkat dari Montparnasse Paris pk. 6.28 dan sampai Lourdes pk. 13 seharga E 98 per orang. Kesulitan untuk naik kereta terjadi, karena pengumuman keberadaan kereta hanya dalam French, pada 5 menit sebelum kereta berangkat. Untunglah ada gadis Vietnam yang membantu dalam English, sehingga kami lari ke ‘voie’ atau platform 4. TGV kami tujuan ke Tarbes, akan berhenti di kota Bordeaux St. Jean, Dax, Pau, dan turun di Lourdes. Kereta kami adalah TGV 8571 kelas 2, ‘voiture’ atau gerbong 16, kursi nomor 35 dan 36, bertarif E98/orang. Kami harus mencermati ‘composition des trains’ di papan elektronik, agar tidak salah masuk gerbong. TGV atau kereta api cepat ini sangat elite, bahkan tolietnya dilengkapi ‘eau’ atau air cuci tangan, ‘savon’ atau sabun dan ‘air chaud’ atau pengering tangan basah dengan hembusan udara, dioperasionalkan oleh SNCF dalam ‘l’Alliance Railteam reunit les operateur’ atau bekerja sama dalam ‘Railteam Group High Speed Europe’, dengan DB (Jerman) dan Trenitali (Italia), menjangkau ke seluruh daratan Eropa. Rekor kecepatan TGV tertinggi tercapai pada tanggal 3 April 2007, yaitu 574,8 km/jam. Terdapat 5 jenis TGV, yaitu 85 Rames Sud6Est sepanjang 200m dengan kecepatan 300 km/jam, 19 Rames Pos sepanjang 200 m dengan kecepatan 320 km/jam sampai ke Swis, 60 Rames Resau sepanjang 200 m dengan kecepatan 320 km/jam sampai ke Belgia, Belanda dan Italia, 105 Rames Atlantique sepanjang 238 m dengan kecepatan 300 km/jam. Yang terakhir 209 Rames Duplex Prevues Pour sepanjang 200 m dengan kecepatan 320 km/jam sampai ke Swiss, Jerman, dan Spanyol.

 
IMG-20140913-WA0015
 
IMG-20140914-WA0012

Saat sampai di Gare SNCF Lourdes

Di dalam kereta saat pulang dari Lourdes

Kami sampai di Lourdes, sebuah kota kecil tepat waktu, yaitu pk. 13. Lourdes adalah sebuah kota yang terletak di kaki pegunungan Pyrenees, dengan penduduk sekitar 17.000 jiwa beserta bangunan-bangunan yang didominasi oleh kastil. Lourdes nampak seperti kota lainnya di sebelah barat daya Perancis dengan pasar yang cantik, toko yang kecil, dan kehidupan masyarakatnya yang sederhana. Namun dewasa ini Lourdes menjadi sebuah kota yang cukup sibuk, dengan kehadiran kurang lebih 5 juta peziarah Katolik setiap tahunnya. Hal ini dikarenakan pada 11 Februari sampai 16 Juli 1858 Perawan Maria Terberkati, ibunda Yesus, menampakkan diri kepada gadis kecil berusia 14 tahun, yang bernama Bernadette Soubirous (sekarang St. Bernadette) di Grotto of Massabielle, sebuah ‘grotto’ atau gua di dekat Lourdes. Setiap tahun dari Maret sampai Oktober, “Sanctuary of Our Lady of Lourdes” adalah sebuah tempat ziarah massal dari seluruh dunia. Mata air dari “grotto” dipercayai memiliki sifat penyembuhan, dan Gereja Katolik Roma telah mengakui 66 penyembuhan ajaib, karena air suci tersebut.

 
IMG-20140913-WA0055
 
IMG-20140913-WA0059

Para ‘pellegrini’ di pusat peziarahan “Sanctuary of Our Lady of Lourdes”

Di depan patung Bunda Maria
’Bunda Yang Dikandung Tanpa Dosa’

Kami mengikuti jejak para ‘pellegrini’ atau peziarah, turun di Stasiun Lourdes, mencari makan menu Asia, karena perut kami sudah lama bergemuruh dan dapat reda karena ‘pork with Thai curry’ atau nasi daging babi seharga E 7,8 dan ‘Soupe Vietnamiene (pho)’ atau sop Vietnam seharga E 10. Segera kami mencari Hotel Marial, 77 reu de la grotte de Lourdes, dengan berjalan kaki menenteng kopor, tersesat lagi dan berbeban berat di jalan yang mendaki, karena salah baca peta dan kurang paham French dari orang yang lewat. Setelah lapar lagi dan gembrobyos, kami baru sadar ternyata ada 2 buah, yang dekat stasiun adalah boulevard de la grotte, tetapi hotel kami di rue de la grotte, yang lebih jauh dan seharusnya naik bis kota. Kami cukup kaget saat resepsionis hotel langsung memanggil dengan nama kami, persis seperti pesanan lewat internet. Setelah beristirahat sejenak di kamar 205, kami segera bergegas menuju “Sanctuary of Our Lady of Lourdes” dengan berjalan kaki. Di sebuah gua di Massabielle, Lourdes, Bunda Maria menampakkan diri sebanyak 18 kali kepada Bernadette Soubirous, memperkenalkan diri sebagai ’Bunda Yang Dikandung Tanpa Dosa’, dan meminta agar sebuah kapel dibangun di tempat penampakan tersebut, serta agar minum dari sebuah sumber air di gua. Pada hal, tidak ada sumber air sama sekali di sana, tetapi ketika Bernadette menggali di suatu tempat yang ditunjukkan kepadanya, sehingga sebuah mata air mulai memancar. Air yang hingga kini masih memancar deras itu, mempunyai daya penyembuhan yang luar biasa, meskipun para ahli ilmu pengetahuan tidak dapat menemukan adanya zat-zat yang berkhasiat untuk menyembuhkan penyakit. Di dalam gua tersebut kemudian diletakkan patung Maria, yang dibuat dari marmer putih pada tahun 1864, oleh seorang pematung bernama Fabisch. Patung itu menggambarkan sebuah kehadiran yang begitu sederhana, dari seorang wanita cantik yang menampakkan diri kepada Bernadette.

‘Sanctuary of our Lady of Lourdes’ atau tempat ziarah Maria, Ibu Kita Semua, dikelilingi Sungai Pau dan memiliki kontur berbukit batu. Tempat terendah digunakan sebagai lapangan terbuka yang dapat dimasuki melalui jembatan St. Mikael yang melengkung indah di atas Sungai Pau dan Gerbang St. Yoseph, yaitu pintu masuk peziarah dari daratan di seputar Lourdes yang dilengkapi terminal bis kota. Di atas Grotto of Massabielle atau Gua Maria sebagai pusat peziarahan, tidak sekedar dibangun sebuah kapel atau gereja kecil seperti permintaan Bunda Maria kepada Bernadetta, tetapi sekarang telah dibangun 3 buah basilica atau gereja yang sangat besar. Basilica Rosario dibangun di samping gua dan di atasnya dibangun Basilica Bunda Tak Bernoda. Kedua Basilica akan nampak bersusun indah apabila dilihat dari Gerbang St. Michael, melalui ‘esplanade’ atau lapangan luas yang dibawahnya telah dibangun BasilicaSt. Pius X dan di atasnya terdapat patung ‘Perawan Terberkati’ yang menyapa segenap peziarah.

 
IMG-20140913-WA0026
 
IMG-20140913-WA0038

Pengambilan air suci Lourdes
di bawah kapel relikwui St. Bernadetta.

Pintu masuk Basilica Rosario
Yang dibangun di samping Gua Maria

Di dalam kompleks yang sama terdapat sebuah gereja St. Bernadetta dan 6 buah kapel, yaitu kapel adorasi, rekonsiliasi, jalan salib, relikwui St. Bernadetta, St. Yusup dan St. Damianus. Juga dilengkapi dengan 2 buah rute ‘chemin de croix’ atau jalan salib, yaitu yang mendaki melingkari kompleks dengan 15 stasi atau pemberhentian dengan patung kisah sengsara sebesar manusia, dan yang mendatar di lembah Sungai Pau. Pemberhentian pertama adalah ‘Jesus est condamne a mort’ atau Yesus dihukum mati dan pemberhentian kedua adalah ‘Jesus est charge de sa croix’ atau Yesus memanggul salib. Kegiatan liturgi Katolik yang diadakan di situ adalah Misa Kudus berbahasa Inggris pk. 18.15 di Kapel St. Damianus, pk. 9.30 di Basilica St. Pius X, adorasi pk. 9 sampai 23 di Kapel adorasi, misa kudus berbahasa Perancis pk, 9, 12, 14 dan 18. Mandi air terberkati, pk. 9-11 dan 14-16. Yang paling diminati dan utama adalah doa Rosario di Gua pk. 15.30, prosesi perarakan sakramen orang sakit pk. 17 sampai ke Basilica St. Pius X, dan prosesi lilin pk. 21 sampai ‘esplanade’ atau ke lapangan utama. Kami hanya mengikuti doa bersama pemberkatan orang sakit di depan Gua Maria, penyalaan lilin dan pengambilan air suci di bawah kapel relikwui St. Bernadetta.

Kami segera bergegas ke terminal bis kota dekat Gerbang St. Yosep, untuk naik ‘Ligne’ atau jalur S5 melewati Italie, ND Sarte, Alba, Paradis, Mercure, dan turun di Musse de Cire. Setelah disambung jalan kaki sebentar ke hotel, badan langsung terkulai kelelahan. Acara lainnya tidak sempat kami ikuti karena keterbatasan tenaga, termasuk prosesi lilin yang menggambarkan ‘pemandangan iman’ dalam kebersamaan yang terindah sebagai seorang Katolik. Sungguh luar biasa mengikuti prosesi lilin bersama puluhan ribu manusia, dari yang fisiknya normal sampai mental dan fisiknya terganggu, bersama dengan semua umat berusia muda hingga tua, yang berlatar belakang berbagai macam negara, namun sepanjang prosesi terus mengibarkan bendera negara masing-masing, dan menyanyikan lagu Ave Maria-Lourdes berselang seling, dalam berbagai bahasa di dunia, termasuk Bahasa Indonesia, yang hanya dapat kami dengar di kamar.

 
IMG-20140913-WA0046
 

Gambar terkait

Pemberhentian kedua adalah ‘Jesus est charge de sa croix’ Yesus memanggul salib

Prosesi lilin pk. 21 sampai ‘esplanade’
atau lapangan utama dgn lagu Ave Maria

Minggu pagi, 14 September 2014, kami terbangun tepat waktu untuk naik bis kota ‘Ligne’ atau jalur S5 dari Musse de Cire. Bis yang lewat setiap 30 menit ini, kami harus member ‘faire signe au condecteur’ atau melambaikan tangan sebagai tanda mau ikut naik bias kepada sopir, melewati Rotande, Maison de la Presse, Haut rue de la Grotte, Sacre Caeur, Hopital dan turun di Gare atau stasiun SNCF Lourdes, bertarif E 2,4. Pulangnya ke Paris kami mendapat kereta bersambung, yaitu TRAIN 67143 dari Lourdes pk. 7.53, yang berupa kereta bisnis berhenti berulang dengan tiket bebas, tanpa nomor kursi dan gerbong. Kami melewati dan berhenti di Coarraze Nay, Pau, Artix, Orthez, Puyoo, Dax, Mortcenx, Biganos Facture, Pessac dan sampai di Bordeaux St. Jean pk. 11.08. Di stasiun yang sangat besar dengan 6 platform itu, kami harus cepat membaca pengumuman di monitor TV, bahkan harus juga berlari sangat cepat mendorong kopor, sampai gembrobyos untuk mencapai dan duduk nyaman di kereta api cepat TGV 8510 dari Bordeaux St. Jean pk. 11.18 sampai di Montparnasse Paris pk. 14.34, langsung tanpa berhenti.

Sesampai di Montparnasse Paris, kami segera mencari makan siang dan ‘les cars AirFrance’ (bis bandara) line 4. Meskipun kami masih memiliki waktu bebas 3 jam sebelum terbang pulang ke Indonesia, tetapi kami memutuskan menunggu saja ‘Aeroports de Paris CDG’ atau bandara. Kesempatan untuk melihat Avenue des Champs-Elysées, yaitu  jalan yang menghubungkan Concorde dan Arc de Triomphe, yang dijuluki ‘la plus belle avenue du monde’ atau jalan terindah di dunia, terpaksa kami kubur dalam-dalam. Juga keinginan tentang Avenue Montaigne, di sebelah Champs-Élysées, adalah rumah bagi label merek terkenal seperti Chanel, Louis Vuitton (LVMH), Dior dan Givenchy. Selain itu, Place de la Concorde yang terletak di ujung Champs-Élysées, dibangun sebagai “Palace Louis XV” atau situs guillotine yang terkenal itu. Kenangan nyaris hilang tersesat secara berulang di Paris, bahkan kejadian tidak lagi nyaris kehilangan, tetapi benar-benar kehilangan tripod untuk kamera yang tertinggal di meja ‘check in’ atau lapor diri di konter Alitalia di ‘Aeroporti di Roma’ Italia, dan kamera saku di kursi pengunjung Katedral Notre-Dame Paris, adalah bagian dari inspirasi nyaris di Perancis, yang tentu sangat membekas, meski sudah akan terbang pulang.

Sekian

*) pelancong Jawa yang tidak malu bertanya.

ditulis di atas TGV 8510 yang melaju kencang

dari Bordeaux St. Jean ke Montparnasse Paris.

Catatan : kami juga menjadi korban pemogokan global awak kabin Air France, saat pulang dan transit di Changi International Airport di Singapura, bahkan ‘terlantar’ hampir 3 jam.

By Fx Wikan Indrarto

Dokter Fx Wikan Indrarto