Categories
Healthy Life Jalan-jalan

2024 Antara Lembang dan Bandung

ANTARA  LEMBANG  DAN BANDUNG, ADA GOTRAH MANGUNDIHARJO,

fx. wikan indrarto

Keluarga besar (gotrah) Simbah Mangundiharjo secara rutin mengadakan pertemuan setiap tahun, yaitu pada hari ke 4 Lebaran Idul Fitri. Sejak selesai pandemi COVID-19, pertemuan diubah tidak lagi pada saat liburan Lebaran, karena sering membuat banyak peserta terlambat datang atau kelelahan yang sangat, terkait terjebak dalam padatnya arus lalu lintas. Pada 2024 ini, pertemuan Gotrah Mangundiharjo diselenggaraan di antara Lembang dan Bandung, pada liburan ‘long weekend’ Hari Maulud Nabi Muhammad SAW. Apa yang menarik?

Bis milik SMK Muhamadiyah Prambanan Sleman buatan Karoseri Piala Mas dari Singosari Malang, yang selintas serupa dengan body Jetbus 2+ Adi Putro yang juga dari Malang, bernomor polisi AB 7392 UA dengan dapur pacu Isuzu ELF NQR 71B, siap berangkat.

Simbah Kakung (kakek) Mangundiharjo berprofesi sebagai pembuat blangkon (tutup kepala tradisional pria Jawa) gaya Ngayogyokarto dan berasal dari Kotagede, Yogyakarta, sedangkan Simbah Putri (nenek) berprofesi sebagai penjual kain jarit dan slendang (busana tradisional wanita Jawa) di beberapa pasar, yang berasal dari Salaman, sebuah kecamatan di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Simbah Mangundiharjo memiliki 14 anak dan tinggal di Salaman yang terletak sekitar 17 km di sebelah baratdaya Kota Magelang atau 50 km dari Yogyakarta. Kami adalah anak kedua dari almarhum Bapak Heribertus Sukiman Tondodarsono, anak ke 9 Simbah Mangundiharjo, yang sewaktu kecil tinggal di rumah peninggalan Simbah Mangundiharjo di Salaman. Kebesaran Salaman adalah sebagai bekas ibu kota Eks Kawedanan Salaman, yang meliputi Kecamatan Salaman, Kecamatan Borobudur, Kecamatan Tempuran dan Kecamatan Kajoran, di Kabupaten Magelang.

Pada Sabtu siang, 14 September 2024 rombongan keluarga Simbah Mangundiharjo berangkat ke Bandung menggunakan bis, yang bermula dari penumpang pertama Mas Suyanto dan istrinya mbak Dewi, anak ketiga dari almarhum Budhe Mulyodiharjo, anak ke 5 Simbah Mangundiharjo. Setelah rombongan kami (mbak Sally, dik Laksita, mas Mahendra dan mas Iwan) naik bis di depan Kantor Pajak Pratama Sleman, seberang Perumahan Cassa Grande di ring road utara Yogyakarta, bis segara menjemput dik Hersanti dan dik Ugah sekeluarga, anak kedua dan ketiga almarhum Bulik Daliyah, anak ke 11 Simbah Mangundiharjo, yang naik dari Jalan Kaliurang. Lanjut kami menemui dik Tavip Sukarno, anak sulung almarhum Bulik Sutiyah, anak ke 10 Simbah Mangundiharjo. Dik Tavip yang sedang dalam pemulihan gangguan ginjal, saraf dan tekanan darah, nampak bahagia sekali saat kami hampiri, meski hanya mampu duduk di kursi Honda City hitam yang terparkir di SPBU Mendut, sebelum kami mencapai Candi Borobudur. Setelah saling menguatkan dan berfoto bersama, kami segera melanjutkan perjalanan.

Dik Tavip Sukarno yang sedang dalam masa pemulihan dari sakit, kami temui di SPBU Mendut, Borobudur, sebalum kami berangkat ke Bandung

Rombongan bis segara meluncur ke pusat pemerintahan Kecamatan Salaman yang berada di Desa Salaman. Saat ini Kecamatan Salaman sudah terhitung sebagai sentra bibit buah hortikultura, terutama rambutan dan mangga, yang menjangkau lingkup regional dan nasional. Kami melewati Desa Menoreh yang merupakan sentral grubi Magelang, sebuah menu lokal dari ketela, dilumuri gula Jawa yang manis dan renyah. Akhirnya kami menjangkau Tugu Buderan Salaman, sebuah persimpangan jalan yang menghubungkan wilayah Kota Magelang, Purworejo dan Borobudur.  

Saat memasuki teritorial Salaman, kami membayangkan berbagai tempat menarik, misalnya Masjid Langgar Agung yang pernah digunakan oleh Pangeran Diponegoro di Desa Menoreh, Cagar Budaya Plengkung Pitu di Desa Menoreh, Makam Kyai Nur Muhammad di Desa Ngadirejo, Lapangan Tembak Latihan Taruna Militer AKMIL di Desa Ngadirejo, sisa kemegahan Pabrik Tepung Tapioka di Desa Ngadirejo, Gunung Kukusan di Desa Ngargoretno, Wisata Alam Marmer di Desa Ngargoretno dan Gunung Banyak Angkrem di Desa Kalirejo. Juga makanan khas Salaman, berupa Wajik Week, makanan dari beras ketan yang terkenal sejak tahun 1939.

Akhirnya kami sampai di rumah peninggalan Simbah Mangundiharjo di Salaman, yang saat ini ditempati oleh Bulik Sunariyah (81 tahun) sendirian, anak bungsu ke 14 Simbah Mangundiharjo. Kami segera bergegas menuju ke Sapuran, di Kabupaten Wonosobo, melewati pertigaan Maron di Kecamatan Loano, Kabupaten Purworejo, dengan didahului memberikan peneguhan agar Pak Sapto sopir utama bis, berani melalui medan terjal berliku, yang sebelumnya menolak.

Kecamatan Sapuran berjarak 18 km dari pusat Kabupaten Wonosobo dan 122 km dari pusat Provinsi Jawa Tengah, berada pada ketinggian berkisar 641 m sampai 1.443 m di atas permukaan laut (mdpl). Pada masa perang Diponegoro (1825-1830), prajurit Wonosobo merupakan salah satu barisan pertahanan pasukan pendukung Pangeran Diponegoro, terutama yang berasal pada sepanjang jalan dari Purworejo, Kepil dan Sapuran sampai kota Wonosobo. Tokoh penting yang mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro adalah Imam Misbach, yang kemudian dikenal dengan nama Tumenggung Kerto Sinuwun, Mas Lurah atau Tumenggung Mangkunegoro, Gajah Pemerintah dan Kyai Muhammad Ngarpah.

Seiring dengan berjalannya perjuangan Pangeran Diponegoro di sepanjang jalan antara Purworejo-Wonosobo, para pasukan mendirikan atau membuat pemukiman penduduk di tengah hutan, yang dijadikan pusat pemerintahan wilayah Wonosobo bagian timur. Hingga akhirnya wilayah tersebut menjadi Kecamatan Sapuran dan bis kami menyusuri jalan berliku, naik turun, menembus hutan dan memiliki kenangan bersejarah tersebut, dengan penuh antusias membayangkan perjuangan Pangeran Diponegoro.

Setelah melalui rute yang sama saat kami kelas 4 SD pernah lalui, yaitu saat kami melewati jalan berliku tersebut dengan banyak monyet yang menyeberang jalan, kami mencapai Pasar Sapuran. Rencana untuk bertemu dengan keluarga mas Badi dan beberapa saudara kami keturunan Budhe Harjodiwirjo, anak ke 3 Simbah Mangundiharjo di depan Pasar Sapuran, ternyata tidak terwujud karena kesibukannya. Kemudian kami melanjutkan perjalanan ke Wonosobo yang berdasarkan cerita rakyat, pada awal abad ke-17 dilewati 3 orang pengelana, yaitu Kiai Kolodete, Kiai Karim dan Kiai Walik, yang mulai merintis sebuah permukiman yang saat ini bernama Wonosobo. Selanjutnya, Kiai Kolodete bermukim di Dataran Tinggi Dieng, Kiai Karim bermukim di daerah Kalibeber dan Kiai Walik bermukim di sekitar Kota Wonosobo sekarang.

Kabupaten Wonosobo berdiri pada 24 Juli 1825 sebagai kabupaten di bawah Kesultanan Yogyakarta, seusai pertempuran dalam Perang Diponegoro. Kata Wonosobo berasal dari Bahasa Jawa: Wanasaba, yang secara harfiah berarti “tempat berkumpul di hutan”. Bahasa Jawa sendiri mengambilnya dari Bahasa Sanskerta: vanasabhā yang artinya kurang lebih sama. Kedua kata ini juga dikenal sebagai dua kata pada buku Mahabharata, yaitu “Sabhaparwa” dan “Wanaparwa”.

Dalam pertempuran melawan VOC Belanda, Kiai Muhamad Ngarpah berhasil memperoleh kemenangan yang pertama. Atas keberhasilan itu, Pangeran Diponegoro memberikan nama baru Kiai Muhamad Ngarpah menjadi Tumenggung Setjonegoro dan diangkat sebagai penguasa Ledok Wonosobo, teritorial peninggalan Kiai Walik. Setjonegoro adalah bupati yang memindahkan pusat kekuasaan dari Selomerto ke daerah Kota Wonosobo saat ini.

Setelah Om Fx Sukirlan (87 tahun) anak ke 13 Simbah Mangundiharjo, Mbak Fatimah menantu Budhe Mulyodiharjo anak ke 5 Simbah Mangundiharjo dan beberapa keluarga keturunan Budhe Surtinah, anak ke 8 Simbah Mangundiharjo naik bis dari kota Wonosobo, kami segera meluncur ke Bandung. Perjalanan malam itu kami isi dengan ngobrol, ngemil dan ‘ngenyek’ (saling ejek antar saudara saking akrabnya) saat melewati kota Banjarnegara, Purwokerto, Ajibarang dan Bumiayu, sampai akhirnya kami terlelap. Saking nyenyaknya tidur, kami sampai kaget saat tahu bis tersesat masuk ke areal persawahan dengan jalan kecil penuh cabang di Kabupaten Brebes, seturut nasehat googlemaps. Tidak jelas apakah ada salah input data, tetapi nasehat mbak Google membuat kami kehabisan waktu di jalan, apalagi Pak Sapto, sang sopir utama hanya mempu menjalankan bis dengan kecepatan rata-rata 40 km per jam, dengan alasan yang tidak terlihat dalam diskripsi ulasan di media sosialnya.

Perjalanan malam itu kami isi dengan ngobrol, ngemil dan ‘ngenyek’ dalam bis menuju Bandung

Bis kami milik SMK Muhamadiyah Prambanan Sleman DIY buatan Karoseri Piala Mas dari Singosari Malang yang selintas serupa dengan body Jetbus 2+ Adi Putro yang juga dari Malang, bernomor polisi AB 7392 UA dengan dapur pacu Isuzu ELF NQR 71B, dilengkapi sistem injeksi bahan bakar SOHC, Direct Injection 4 Cylinders dengan isi silinder 4,570 (cc). Bis ini sebenarnya memiliki tenaga maksimum 125 / 2,900 (PS/rpm) dan torsi maksimum 35 / 1,200 – 2,200 (Kgm/rpm). Entah bagaimana, kecepatan yang dikeluarkan saat pak Sapto menjelang mengantuk hanya 40 km/jam. Bis medium yang kami naiki memiliki panjang keseluruhan 7445 mm, Lebar 2100 mm, dan  Tinggi 1630 mm. Akhirnya kami masuk Tol Trans Jawa melalui Gerbang Tol Pejagan di Kabupaten Cirebon. Setelah pindah tol dan masuk Tol Cisumdawu (Ciulengsi, Sumedang dan Dawuan) yang menanjak sangat panjang, kami masuk ke terowongan kembar yang menjadi ciri khas tol ini. Tak banyak yang tahu, Twin Tunnel di tol Cisumdawu ini merupakan terowongan pertama yang berada di badan jalan tol dan merupakan yang terpanjang di Indonesia dengan panjang 472 meter.

Dalam pembangunannya, Direktorat Jenderal (Ditjen) Bina Marga melalui Balai Geoteknik Terowongan dan Struktur (BGTS), mampu menyelesaikan pembangunan Twin Tunnel ini di tol sepanjang 61, 6 Kilometer. Pembangunan terowongan kembar dengan konsep yang unik seperti ini, tak lepas dari karakteristik topografi daerah tol yang memiliki pegunungan dan bukit.

Terowongan kembar di tol Cisumdawu yang kami masuki, sangat ikonik

Akhirnya kami berhasil memasuki Kota Bandung dengan keterlambatan 3 jam dari estimasi, yang disusun oleh mas Mahendra. Generasi ke 3 ini adalah salah satu cicit Simbah Mangundiharjo dari keturuanan Bude Surtinah, yang penuh semangat menjadi ‘tour leader’ kami, untuk mendapatkan sebuah portofolio pribadi. Mas Mahendra sedang menempuh studi pariwisata program sarjana terapan, di sekolah vokasi UGM Yogyakarta.

Minggu pagi, 15 September 2024, kami langsung menikmati suguhan pertama acara Gotrah Mangundiharjo, yaitu wisata edukasi. Kami menuju ke Edutainment Dirgantara Indonesia atau Museum Dirgantara Bandung, yaitu lokasi wisata edukasi yang berada di Bandara Internasional Husein Sastranegara, Bandung dan dikelola oleh PT Dirgantara Indonesia (PTDI).

Edutainment Dirgantara Indonesia atau Museum Dirgantara Bandung, yaitu lokasi wisata edukasi yang berada di Bandara Internasional Husein Sastranegara, Bandung

PTDI di Bandung yang kami kunjungi saat ini menjadi satu-satunya industri pesawat terbang di Asia Tenggara.

Pesawat N250-100 kebanggaan PT Dirgantara Indonesia di Bandung.

Kami yang masih terkagum dan tidak dapat beranjak dari landasan, malah jadi jongkok semua, karena pesawat N250-100 yang menjadi kebanggaan PT Dirgantara Indonesia di Bandung, memang luar biasa.

Areal wisata ini memfasilitasi masyarakat maupun pelajar, termasuk keluarga besar Simbah Mangundiharjo, untuk memahami tentang industri pesawat terbang. Adapun beberapa daya tarik Museum Dirgantara Bandung yang kami kagumi adalah  Mock Up Pesawat, karena kami dapat berfoto sekaligus melihat-lihat berbagai mock up atau bentuk yang sesungguhnya, mulai dari pesawat, roket, rudal, hingga produk-produk dirgantara karya anak perusahaan PTDI. Selain itu, kami juga menikmati koleksi pesawat Buatan Anak Bangsa di hanggar milik PTDI produksi Indonesia. Kami menikmati kegagahan pesawat jenis N250 Gatotkaca, NC212i, CN235, N219 Nurtanio, KFIF sebuah pesawat tempur kerjabareng dengan Korea Selatan, UAV MALE yang merupakan drone militer, dan berbagai varian helikopter, yang bersejarah dan menggambaran kehebatan putera bangsa dalam bidang kedirgantaraan.

Mock Up (bentuk asli) Pesawat CN235 pesawat Buatan Anak Bangsa di hanggar milik PTDI Bandung, asli produksi Indonesia.

Perjalanan wisata edukasi berupa ‘Factory Tour’, kami mulai dari Pos 1 PTDI dekat DI Runway 29 Café, ruang terbuka hijau di area dekat landas pacu Bandara Husein Sastranegara. Selanjutnya kami diajak berkeliling area eduwisata, yang biasanya menggunakan Bis Bandros milik Pemkot Bandung, Bis BARATA milik Pemkab Bandung Barat, atau Bis Si Jalak Harupat, milik Dishub Jawa Barat, tetapi karena saat itu sedang digunakan untuk karnaval HUT ke 214 Kota Bandung, maka kami menggunakan bis Sakoci (Saba Kota Cimahi) selama sekitar 45 menit.

Mock Up (bentuk asli) ekor Pesawat CN235

Dalam Factory Tour, para pengunjung didampingi seorang pemandu dari PTDI yang menjelaskan seluk beluk industri penerbangan Indonesia. Bis Sakoci (Saba Kota Cimahi) memiliki desain khusus seperti angkutan wisata dengan jendela dan bagian belakang terbuka lebar yang memaksimalkan pandangan selama perjalanan. Bis Sakoci memiliki bangku untuk 24 penumpang, basisnya Hino Dutro 130 HD Diesel berkapasitas 4009 cc dengan transmisi manual, memiliki panjang 747 cm, tinggi 315 cm, dan lebar 210 cm.

Setelah selesai Factory Tour, kami langsung sarapan nasi dos yang terlambat kami santap, karena kami justru baru sampai di lokasi Factory Tour, sudah mepet sekali dengan jadwal keberangkatan yang telah dipesan yaitu pk. 08.30. Segera kami sarapan cepat, meski tanpa sendok yang kelupaan disertakan dalam dos, kami segera bergegas menuju acara kedua, yaitu wisata kuliner di Warung Sayur Lodeh Lembang, yang menempati bangunan restoran yang sederhana dengan area tempat duduk yang begitu luas. Restoran ini didesain dengan sangat khas seperti bangunan joglo tradisional Yogyakarta. Areanya didominasi dengan sentuhan kayu klasik, ditambah pilar-pilar bangunan yang dibalut dengan batik Indonesia yang ciamik.

Benar-benar terasa tradisionalnya. Apalagi restoran ini mengusung konsep prasmanan, sehingga dapat mengambil menu lauk-pauk dan sayur sesuai keinginan dan selera masing-masing. Seperti namanya, menu andalan di sini ada sayur lodeh dengan tiga kreasi, yakni sayur lodeh tempe, tahu, dan terong. Sayur lodeh ini identik dengan menu rumahan sebagian besar keluarga Indonesia. Hidangan sehat berbahan dasar aneka sayuran ini, dapat dikreasikan dengan bahan utama dan pelengkap. Akibat slogannya “19.000 makan sepuasnya”, Warung Lodeh Lembang ini menjadi hits dan viral. Tentu saja selain mengenyangkan, makan dengan aneka sayur yang disediakan juga menyehatkan tubuh kami. Tidak hanya bebas refill menu sayur lodeh, kami juga mendapatkan gratis ambil kerupuk dan teh sebagai minumannya.

Akibat slogannya “19.000 makan sepuasnya”, Warung Lodeh di Lembang ini menjadi hits dan viral.

Setelah kenyang dan hampir mengantuk karena sayur lodeh yang lezat, kami berpisah dengan rombongan. Kami bertiga dengan dik Larasati (anak bungsu) yang sedang menjalani rotasi klinik Bagian Penyakit Dalam di FK UKM RS Emmanuel Bandung, segera turun sedangkan bis dan rombongan lainnya bergegas naik. Mereka naik ke Floating Market di Jl. Grand Hotel No. 33 E, Lembang yang sejak dibuka pada 2012 silam, langsung mencuri perhatian masyarakat, terutama para wisatawan yang sedang berlibur di Bandung, dan selalu dipadati pengunjung. Daya tarik utama dari Floating Market Lembang adalah terdapat pasar apung yang menjual berbagai jenis makanan, jajanan lokal, hingga souvenir. Uniknya, para pedagang menjajakan dagangan mereka dari atas kapal kecil yang telah disediakan pengelola.

Para joagoan di Gerbang Floating Market di Jl. Grand Hotel No. 33 E, Lembang yang dibuka pada 2012 silam.

Kami justru berniat turun menempuh jalan berliku yang menurun tajam antara Lembang dan Bandung. Sayang sekali, transportasi on line sangat sulit kami dapatkan, baik karena jaringan internet yang kurang kuat, arus lalu lintas yang sangat padat, ataupun para driver online yang gamang mengambil penumpang di areal Lembang. Akhirnya kami memutuskan untuk naik angkot jurusan Lembang ke Stasiun Hall Bandung. Untunglah jalanan yang turun sepi kendaraan, sehingga angkot kami, sebuah Mitsubishi L300 buatan tahun 2009 yang bodinya sudah banyak berkarat, tetap membuat kami sempat terlelap, sebelum kami untuk turun di per3an Gegerkalong.

Menikmati angkot jurusan Lembang ke Stasiun Hall, sebuah Mitsubishi L300 buatan tahun 2009, karena transportasi on line sedang banyak kendala terkait lonjakan pemesan.

Minggu sore, 15 September 2024, kami melanjutkan kegiatan bertiga dengan wisata religi di gereja Katolik Paroki Santo Laurentius Jl. Gegerkalong, Sukasari, Bandung. Pada 1 Maret 1987 dilaksanakan pemberkatan atas gedung gereja ini oleh Uskup Bandung Mgr. Alexander Djajasiswaja. Gereja ini berkapasitas ±500 umat, berbentuk setengah tumpeng, dilengkapi Gua Maria dan kolumbarium, untuk menyimpan abu jenazah umat. Bentuk kolumbariumnya adalah kotak-kotak besi yang ditempelkan di tembok sisi luar gereja, di belakang altar. Gereja ini dipimpin oleh para pastor dari ordo OSC (Ordo Salib Suci).

Hari itu kebetulan sekali tepat dirayakan sebagai Pesta Wajib Santa Helena dari Salib Suci. Santa Helena adalah ibu kandung Kaisar Konstantinus Agung. Helena pada awalnya hanyalah anak dari seorang penjaga penginapan. Ketika masih muda, ia bertemu dengan seorang jenderal Romawi dan mereka menikah. Anak dari perkawinan mereka bernama Konstantinus. Beberapa tahun kemudian, jenderal Romawi tersebut ditunjuk sebagai kaisar sehingga menceraikan Helena dengan alasan politis, yakni supaya bisa mengawini puteri kaisar terdahulu. Helena menjadi orang biasa lagi. Tiga belas tahun kemudian, Konstantinus, anak Helena, menjadi kaisar menggantikan ayahnya. Ia mengharuskan setiap orang Romawi menghormati Helena, sehingga wajah Helena dicetak pada mata uang koin Romawi.

Sebelum mengikuti misa kudus hari Minggu sore di gereja Katolik Paroki Santo Laurentius Bandung, yang diresmikan oleh Uskup Bandung Mgr. Alexander Djajasiswaja 1 Maret 1987.

Ketika Konstantinus mengakui agama katholik di seluruh kekaisaran Romawi, Helena mulai mempelajari ajaran agama katholik dan memutuskan untuk memeluk agamanya. Setelah itu, ia bekerja demi gereja dan menjelajahi kawasan Palestina untuk membangun banyak gereja. Ia terkenal karena keramahannya kepada para tawanan, tentara, dan kaum miskin. Ia wafat pada tahun 330 dalam usia sekitar 80 tahun. Dalam tradisi gereja katholik perdana, St. Helena sering digambarkan memeluk sebuah salib, oleh sebab Helena merupakan orang yang menemukan relikui Salib Sejati (yang dianggap sebagai bagian dari salib Yesus Kristus yang asli) di Yerusalem.

Setelah selesai mengikuti misa kudus di gereja St. Laurensius Gegerkalong Bandung, kami bertiga segera berpencar memesan trasportasi online berupa motor, bukan mobil karena sering di-cancel terkait kemacetan lalu lintas, untuk bergabung dengan rombongan. Pada Minggu malam 15 September 2024, kami memasuki Private Family Villa, yang terletak di dekat Rumah Sosis di Jl. Setiabudi 384 Bandung, sekitar 8 km dari pusat kota Bandung. Setelah makan malam bersama, acara Gotrah Mangundijarjo atau pertemuan segenap anak, cucu dan cicit Simbah Mangundiharjo diselenggarakan oleh tuan rumah, keluarga Pakde Evaristus Willis Legiono, anak ke 4 Simbah Mangundiharjo.

Keluarga besar almarhum Budhe Surtinah, anak ke 8 Simbah Mangundiharjo yang kompak berkemeja putih dan hitam, dengan generasi pertama Gotrah Mangundiharjo yang masih dapat hadir.

Setelah sesi perkenalan anggota baru dan foto bersama segenap peserta, segera kami larut dalam nostalgia Mangundiharjo. Om Fx Sukirlan, Budhe Evaristus Wilis Legiono, Bulik Nariyah (semuanya generasi pertama) dan mbak Fatimah Subagyo (generasi kedua yang paling senior) duduk di kursi untuk berbagi kenangan, sedangkan kami semua duduk lesehan di depannya. Dengan 13 anak dalam periode revolusi kemerdekaan Indonesia, kedua Simbah Mangundiharjo bekerja keras menghidupi semua anaknya, sampai semuanya berhasil baik menjadi manusia yang membanggakan keluarga.

Suasana pertemuan Gotrah Mangundiharjo 2024

Di situlah prakarsa bapak kami, Heri Sukiman (anak ke 9 Mangundiharjo) dan pakde EW Legiono (anak ke 5 Mangundiharjo) dalam mempertahankan tali ikatan keluarga besar, dalam bentuk pertemuan Gotrah Mangundiharjo setiap tahun, perlu diteruskan. Juga semangat, kerja keras, dan dedikasi tanpa henti orangtua demi kesuksesan anak cucunya layak diapresiasi. ‘Kamulyaning anak soko rekasaning wong tuwo. Kamulyaning wong tuwo, soko nyawang anakke’ atau ‘kesuksesan anak buah dari keprihatinan dan kerja keras orangtua. Kebahagiaan orangtua sekedar melihat keberhasilan anak’. Semboyan tersebut terus kami pertahankan dalam keluarga besar Simbah Mangundiharjo. Malam itu kami terlelap dalam kebahagiaan keluarga besar Simbah Mangundiharjo, di semua kamar pada ke 2 lantai Private Family Villa di Jl. Setiabudi 384 Bandung.

Om Fx Sukirlan, Budhe Evaristus Wilis Legiono, Bulik Nariyah (semuanya generasi pertama) dan mbak Fatimah Subagyo (generasi kedua yang paling senior) duduk di kursi untuk berbagi kenangan, sedangkan kami semua duduk lesehan di depannya.

‘Kamulyaning anak soko rekasaning wong tuwo. Kamulyaning wong tuwo, soko nyawang anakke’ atau ‘kesuksesan anak buah dari keprihatinan dan kerja keras orangtua. Kebahagiaan orangtua sekedar melihat keberhasilan anak’. Semboyan tersebut yang dijelaskan oleh Om Fx Sukirlan terus kami pertahankan dalam keluarga besar Simbah Mangundiharjo.

Generasi pertama Gotrah Mangundiharjo yang kita hormati bersama

Peserta lengkap pada malam hari pertemuan Gotrah Mangundiharjo 2024 di Bandung

Beda-beda gaya, gaya-gaya semua peserta lengkap pada malam hari pertemuan Gotrah Mangundiharjo 2024 di Bandung

Keluarga almarhumah Budhe Dalinah Mulyodiharjo, anak ke 4 Simbah Mangundiharjo

Keluarga almarhumah Pakde Wagiyo Kebumen, anak ke 5 Simbah Mangundiharjo

Keluarga besar almarhumah pakde Evaristus Wilis Legiono, anak ke 6 Simbah Mangundiharjo, sebagai tuan rumah yang hebat untuk acara Gotrah Mangundiharjo 2024 yang sukses luar biasa.

Keluarga almarhumah Budhe Surtinah, anak ke 7 Simbah Mangundiharjo

Keluarga almarhumah Bulik Sutiyah, anak ke 10 Simbah Mangundiharjo

Keluarga Om Fx. Sukirlan, anak ke 11 Simbah Mangundiharjo

Keluarga almrahumah Bulik Daliyah, anak ke 12 Simbah Mangundiharjo

Keluarga Dadiet Sukarno, calon tuan rumah Gotrah mangundiharjo periode selanjutnya, menerima amanah dari Pakde Suyanto, ketua kelas kita bersama

Senin pagi, 17 September 2024 masih ada adik kami (Bulik Nana) dan suaminya (Om Greg) bungsu keluarga Bapak Sukiman, anak ke 9 Simbah Mangundiharjo yang datang bergabung, tentu menambah sukacita dan kegembiraan semua peserta acara gotrah. Meskipun ada beberapa yang sudah pulang duluan, tetapi sarapan dan foto bersama sebelum pamit pulang lebih mengesankan dengan kehadiran William Febuana (pacar dik Larasati, anak bungsu kami), yang datang langsung dari Jepara Jawa Tengah, bermobil sendrian selama 8 jam perjalanan melibas tol Trans Jawa.

Bulik Wara Pradnastuti sebagai dirigen paduan foto bersama peserta Gotrah Mangundiharjo 2024.

Peserta Gotrah Mangundiharjo 2024 di antara Lembang dan Bandung, sebelum pulang ke rumah masing-masing Private Family Villa, yang terletak di dekat Rumah Sosis di Jl. Setiabudi 384 Bandung,

Setelah itu kami berpisah lagi. Rombongan bis mengikuti wisata belanja ke Pasar Baru Bandung. Pasar Baru Bandung yang kini disebut dengan Pasar Baru Trade Center merupakan pasar tertua yang ada di Bandung. Lokasinya terletak di Jalan Otto Iskandardinata No. 152, Kelurahan Kebon Jeruk, Kecamatan Andir, Kota Bandung. Pasar ini telah berdiri pada tahun 1906. Tentu saja pasar ini telah menopang sebagian besar ekonomi masyarakat selama lebih dari 1 abad.

Kami bertiga diantar William Febuana melanjutkan wisata religi dengan mengunjungi Gereja Katedral Bandung, atau Katedral Santo Petrus. Dalam perjalanan ke geraja pagi itu, kami jadi ingat bahwa pada tahun 1806 Raja Louis Napoleon (pangeran Prancis yang menguasai dan menjadi Raja Belanda) mengumumkan undang-undang kebebasan beragama di Negeri Belanda dan jajahannya di seluruh dunia. Gereja Katolik di Nusantara pun dapat berkembang lagi, setelah sebelumnya sempat tertekan hebat oleh dominasi Gereja Protestan yang dianut mayoritas para pimpinan dan warga Belanda. Pada tahun 1807 dibentuklah Prefektur Apostolik Batavia yang meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda.

Awal pengembangan misi dari Batavia ke Cirebon dan Priangan dimulai segera setelah imam-imam Jesuit pertama tiba di Batavia. Tidak terlalu lama sesudah  dibangun jalur kereta api Batavia-Bandung pada tahun 1884, dibangunlah Gereja St. Franciscus Regis di Bandung yang diberkati pada tahun 1895, gereja ini kemudian beralih fungsi menjadi gedung pertemuan sosial, sesudah dibangun Gereja St. Petrus. Gereja pertama di kota Bandung ini sekarang sudah tidak ada lagi, karena sudah menjadi bagian dari gedung Bank Indonesia.

Wisata religi di Katedral Santo Petrus Jalan Merdeka, Bandung

Katedral Santo Petrus terletak di Jalan Merdeka, Babakanciamis, Sumurbandung, Bandung. Bangunan ini dirancang oleh Charles Prosper Wolff Schoemaker dan bergaya arsitektur neo-Gothic akhir. Dilihat dari atas, bentuknya menyerupai salib yang simetris. Katedral Santo Petrus mempunyai luas tanah sebesar 2.385 m² dan luas bangunan sebesar 785 m².

Gereja perdana di Bandung adalah Gereja St. Franciscus Regis yang mulai digunakan pada tanggal 16 Juni 1895. Setelah Bandung memperoleh status gemeente (setingkat kotamadya) pada 1906, diputuskan untuk membangun bangunan gereja baru. Pembangunan gereja yang baru dilaksanakan sepanjang tahun 1921, yaitu katedral yang kami kunjungi pagi itu. Katedral Santo Petrus ini lalu diberkati pada 19 Februari 1922 oleh Mgr. Edmundus Luypen, S.J.

Selanjutnya kami menikmati wisata sejarah dengan mengunjungi Gedung Sate, yang merupakan gedung kantor Gubernur Jawa Barat. Gedung ini memiliki ciri khas berupa ornamen tusuk sate pada menara sentralnya, yang telah lama menjadi penanda Kota Bandung yang ikonik, sehingga tidak saja dikenal masyarakat di Jawa Barat, tetapi juga seluruh Indonesia. Lebih lanjut, model bangunan itu dijadikan pertanda bagi beberapa bangunan dan tanda khusus berbagai kota di Jawa Barat, misalnya bentuk gedung bagian depan Stasiun Kereta Api Tasikmalaya.

Bergaya di depan Gedung Sate yang berwarna putih ini hasil karya Arsitektur Ir. J. Gerber dan Dr. Hendrik Petrus Berlage yang mulai dibangun pada tahun 1920

Gedung Sate yang berwarna putih ini mulai dibangun pada tahun 1920 dan masih berdiri kokoh hingga saat ini. Arsitektur Gedung Sate adalah Ir. J. Gerber yang mengadopsi berbagai masukan dari maestro arsitek Belanda Dr. Hendrik Petrus Berlage, sehingga bernuansakan wajah arsitektur tradisional Nusantara. Banyak kalangan arsitek dan ahli bangunan menyatakan Gedung Sate adalah bangunan monumental yang anggun mempesona dengan gaya arsitektur unik mengarah kepada bentuk gaya arsitektur Indo-Eropa (Indo Europeeschen architectuur stijl), sehingga tidak mustahil bila keanggunan Candi Borobudur ikut mewarnai Gedung Sate. Beberapa pendapat tentang megahnya Gedung Sate di antaranya Cor Pashier dan Jan Wittenberg dua arsitek Belanda, yang mengatakan “langgam arsitektur Gedung Sate adalah gaya hasil eksperimen sang arsitek yang mengarah pada bentuk gaya arsitektur Indo-Eropa”.

Setelah selesai berfoto diantara banyak para pelancong dengan maksud serupa, kami segera menyebrang jalan untuk menikmati suasana lapangan Gasibu yang sarat dengan perjalanan sejarah Kota Bandung. Lapangan Gasibu yang sudah ada sejak zaman Hindia Belanda , semula bernama Wilhelmina Plein atau lapangan Wilhelmina yang diambil dari nama Ratu Belanda. Sekitar tahun 1950-an, nama lapangan ini berganti menjadi Lapangan Diponegoro. Dulunya lapangan ini sering digunakan perkumpulan sepak bola Bandung Utara, sehingga masyarakat akhirnya mengenal lapangan ini sebagai Gasibu (Gabungan Sepak Bola Indonesia Bandung Utara).

Bergaya di gerbang Lapangan Gasibu Bandung, yang semula bernama Wilhelmina Plein atau lapangan Wilhelmina, dengan tulisan Tepasna Jawa Barat (teras Jawa Barat).

Setelah itu, kami segera beranjak untuk melanjutkan wisata religi, bergabung dengan rombongan bis setelah selesai wisata belanja dari Pasar Baru, untuk mengunjungi Masjid Raya Al-Jabbar atau yang lebih dikenal dengan Masjid Terapung Gedebage, Bandung. Pembangunan masjid ini sebesar kurang lebih Rp. 1 triliun dari dana APBD, masjid ini mulai dibangun pada tahun 2017 di atas danau buatan dan baru selesai pada tahun 2020.

Masjid Raya Al Jabbar mulai didesain tahun 2015 oleh Ridwan Kamil sebagai Masjid Raya tingkat Pemerintah Daerah Provinsi. Bangunan utama dirancang dengan luas lantai 99 x 99 m2 sesuai angka Asmaul Husna. Arsitektur Masjid Raya Al Jabbar dirancang dari perpaduan arsitektur modern kontemporer dengan aksentuasi masjid Turki, yang dihiasi seni dekoratif khas Jawa Barat. Bangunan utama masjid tidak memisahkan dinding, atap, dan kubah, melainkan hasil peleburan ketiganya menjadi satu bentuk setengah bola raksasa.

Masjid Raya Al Jabbar di Bandung dirancang dari perpaduan arsitektur modern kontemporer dengan aksentuasi masjid Turki, yang dihiasi seni dekoratif khas Jawa Barat.

Ketiga sisi bangunan masjid dikelilingi sebuah danau besar yang, ibarat cermin, merefleksikan masjid menjadi berbentuk bulat utuh. Pada malam sampai dini hari, kerlip tata cahaya menambah keindahan masjid, yang kami nikmati dan dokumentasikan, sambil berusaha terbangun dari tidur nyenyak di dalam kabin bis. Selain keindahan, danau memiliki fungsi penting lain, yaitu sebagai retensi banjir sekaligus penyimpan air. Semua hal tersebut memang direncanakan dengan sangat seksama. Masjid ini diprakarsai pembangunannya oleh Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan. Peletakan batu pertama masjid ini dilakukan pada tanggal 29 Desember 2017 oleh Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat saat itu, Ahmad Heryawan dan Deddy Mizwar.

Di masa lalu, kawasan Gedebage merupakan sebuah rawa-rawa bekas peninggalan Danau Bandung Purba. Lalu akhir abad ke-19, rawa-rawa ini mulai mengering dan dijadikan area persawahan. Kemudian perusahaan kereta api negara, Staatsspoorwegen membangun jalur kereta api yang menghubungkan Gedebage dan Cicalengka di tengah rawa-rawa ini. Di areal tersebutlah masjid megah yang kami kunjungi pagi itu, dibangun.

Kita juga dapat mengerti bahwa akibat biayanya yang mencapai triliunan, dan sudah terdapatnya sekitar hampir 50.000 masjid di Jawa Barat, kritikan pun ramai datang dari masyarakat yang menganggap dana tersebut akan jauh lebih baik bila dialokasikan untuk pendidikan, menanggulangi kemiskinan, memperbaiki infrastruktur dan gedung-gedung sekolah yang masih banyak yang rusak di provinsi tersebut.

Setelah beristirahat sejenak, tidak sempat ikut sholat dzuhur karena kehabisan waktu perjalanan dari Pasar Baru, rombongan kami segera beranjak pulang ke Jawa Tengah. Setelah sedikit kesulitan mencari Gerbang Tol Ciulenyi dari areal parkir Masjid Al Jabbar Bandung, kami segera makan menu nasi dos yang tetap tanpa sendok lagi, di dalam bis yang melaju kencang memasuki Tol Cisumdawu. Pemandangan terowongan kembar (Twin Tunnel) yang yang merupakan ciri khas tol Cileunyi – Sumedang – Dawuan (Cisumdawu), mampu menarik perhatian kami dan para pengendara yang melintas karena keunikannya.

Sesi foto di rest area 203 tol Cisumdawu, saat kami pulang dari Bandung menuju Weleri.

Keluar dari tol Cisumdawu, kami memutuskan melibas tol Palikanci, dan lanjut ke gerbang tol Weleri Kendal, bukan keluar di Gerbang Tol Pejagan Cirebpn seperti saat kami berangkat. Tujuannya adalah kami akan menikmati dataran tinggi Temanggung, di Kabupaten Temanggung sisi utara terutama Kecamatan Candiroto, yang sangat inspiratif. Bis kami harus berjalan pelan dan penuh kucuran asap hitam knalpotnya, karena jalanan menanjak, menikung dan menanjak lagi, sejak dari Weleri menuju Sukorejo. Kami lanjut menyeberang ke teritorial Kabupaten Temanggung, untuk mengingat bahwa di areal tersebut pada masa pemerintahan Kerajaan Mataram Hindu, kekuasaannya telah melebar sampai di perbatasan Kabupaten Kendal, salah satu di antaranya adalah desa Candiroto. Menurut cerita rakyat lokal pada zaman itu ada seorang yang tidak diketahui asalnya dan mereka membuat sebuah candi di malam hari, kemudian Candi itu diketahui salah satu warga yang sedang menumbuk padi di lesung, sebuah kayu gelondongan yang bercelah. Sebelum sholat subuh warga tersebut mengintai untuk melihat cara membuat Candi, tetapi orang yang membuat Candi tersebut langsung pergi dan kepergian tersebut tidak ada yang tahu sama sekali.

Oleh karena Candi yang dibuat itu belum jadi, maka segenap warga sepakat agar Candi tersebut diratakan saja, dan memberi nama desa tersebut Candirata (yang berasal dari kata Candi yang diratakan). Saat ini Kecamatan Candiroto adalah penghasil kopi terbesar di Temanggung. Di kecamatan ini terletak pula Umbul Jumprit, mata air yang disucikan yang airnya diambil untuk upacara keagamaan umat Buddhisme dan Hindu, termasuk untuk acara Hari Raya Waisak di Candi Borobudur

Perjalanan kami di areal dataran tinggi wilayah Kabupaten Temanggung bagian utara tersebut, malam itu penuh kecemasan, karena cadangan solar di tangki bis semakin menipis. Ada 7 SPBU yang kami masuki, tetapi tidak tersedia bio solar untuk bis kami. Pada hal kami masih harus menaklukkan areal ketinggian di sekitar Situs Candi Liyangan, Purbosari, di Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Dalam situs Liyangan terdapat bukti pemukiman dan peradaban manusia kuno nenek moyang manusia Jawa, dimana ditemukan sebuah punden berundak, talut, latar, kayu, area pertanian, tempat peribadatan, dan sisa bekas pembakaran. Situs Candi Liyangan di dekat jalanan menanjak yang kami lalui malam itu, diperkirakan merupakan pemukiman Hindu sebelum abad ke-10 Masehi.

Untunglah kami mampu menaklukan medan terjal dan penuh sejarah tersebut, untuk mencapai Parakan. Kami lanjut ke Wonosobo menurunkan para penumpang dalam dekapan dingin malam menjelang pergantian hari menjadi Selasa, 17 September 2024. Beruntunglah akhirnya bis kami mendapatkan tambahan bio solar di SPBU ke 10 yang kami masuki, dan semua penumpang dapat diturunkan di dekat rumah masing-masing. Akhirnya kami mampu mendarat di rumah Timoho Yogyakarta pada pk. 4 dini hari.

Terimakasih banyak disampaikan kepada segenap pihak, terutama keluarga budhe E. Wilis Legiono sebagai tuan rumah Gotrah Mangundijarjo 2024. Antara Lembang dan Bandung, telah terrangkum persaudaran, kebahagiaan, dan semangat kehidupan bersama segenap keturunan Simbah Mangundiharjo. Sampai ketemu lagi dalam acara serupa tahun berikutnya.

Selasa malam, 17 September 2024

Salam pengalana

-wikan

DAFTAR  ANGGOTA  GOTRAH  MANGUNDIHARJO

  1. Salimah (almarhum) dan Muchdiyat (almarhum)
    2. Rajiman (almarhum)
    3. Walijah (almarhum) dan Harjo Widarso (almarhum)
    3.1. Murtinah (Almarhum)
    3.1.1. Tri
    3.1.2. Dwi
    3.2. Pardilah (Almarhum)
    3.2.1. Eko Prayitno (Almarhum)
    3.2.1.1. Zamzani Prayoga
    3.2.2. Dwi Iriyanto & Puji Astuti
    3.2.2.1. Dimas Megariyanto
    3.2.2.2. Rizky Megariyanti
    3.3. S. Umi (Saumi) (Almarhum) & Muhammad Salim (almarhum)
    3.3.1. Tutik Aminarti & Dwi Haryanto
    3.3.1.1. Andhi Septian Ardiansyah & Zahrotul Lailatis Sa’adah
    3.3.1.1.1. Harjoena Sakhane Boemi
    3.3.2. Budi Supriyatno (Almarhum)
    3.4. Muhimatun (Almarhum) & Darminto (Almarhum)
    3.4.1. Sugi Mintono (Almarhum) & Karomah
    3.4.1.1. Tiara Auliya Mufidah & Arief Hidayat.
    3.4.1.2. Aditya Bima Pradana
    3.4.1.3. Wildan Hafids Kurnia Mintono
    3.4.1.4. Aditya Noval Mintono
    3.4.2. Puji Amanto (Almarhum) & Novi
    3.4.2.1. Dinda Ayu Aprilia Amanto
    3.5. Siti Anisa (Almarhum)
    3.6. Sujarwati (Almarhum)
    3.6.1. Anna Hidayah (Almarhum)
    3.6.2. Riska Ristyadi & Kustianingsih
    3.6.2.1. Zhafira Dewi Aditya
    3.6.2.2. Ahsan Mahendra Aditya
    3.6.3. Silvia Kristanti & Muhlin Musolin
    3.6.3.1. Sabiq Atqia
    3.6.3.2. Siraj Ali Muttaqin
    3.6.3.3. Saiq Atqa Muhammad
    3.7. Subadi-Sumarlin (Almarhum)
    3.7.1. Krisna Murti
    3.7.1.1. Adnan Maulana Ramdhani
    3.7.1.2. Fauzan Adhima & Meydea Pragivtasari
    3.8. Sri Sumartini & Slamet
    3.8.1. Muh. Anjas
    3.9. Sugeng Riyadi & Suratmi
    3.9.1. Rifa Eka Indarti
    3.9.2. Zulfikar Dwi Azizi (Almarhum)
  1. Dalinah Mulyodiharjo (almarhum) dan Suhodo Mulyodiharjo (almarhum).
    4.1. Subagyo (almarhum) dan Siti Fatimah
    4.1.1. Eka Novianto Nugroho & dr. Widiyati Nurhazanah, SpOG
    4.1.1.1. dr. Lysandra Olivia Prasanti Putri
    4.1.2. Iwan Oktavian Wijonarko & Ayu Astra Barleani (Lea)
    4.1.2.1. Ayu Pradnya Paramesti (Anya)
    4.1.2.2. Bagus Arya Paramadarma (Arya)
    4.1.3. Sally Rachmawati & Sastrahadidjaja Soenardi
    4.1.3.1. Laksita Kirana Candraditya Anindyanari
    4.2. Suyono (almarhum)
    4.3. Suyanto & Dewi Ami M
    4.3.1. Husna Kusumawati N & Rahmat Tri Hidayat.
    4.3.1.1. Anindya Sofia H (Nindy)
    4.3.1.2. Raisa Anindita A (Ica)
    4.3.2. Yusuf Utomo P & Istiqomah Wahyu AS
    4.3.2.1. Arfan Abiyasa Putra (Arfan)

5. Wagiyo Harto Suwignyo & Sumarwiyah
5.1. Yumirati Kartina (Yayuk) & Sadali (almarhum)
5.1.1.Dina Milasari & Agus Darmawan
5.1.1.1.Fathimah
5.1.1.2.Ishaq
5.1.1.3.Utsman
5.1.1.4. Halimah
5.1.1.5. Salimah
5.1.1.6. Khalid Abdurrahman.
5.1.2. Devi Indah Aprilia & Iswandi
5.1.2.1. Bayu Jannatun Na’iem
5.1.2.2. Hasan Muhajid
5.1.2.3. Nayla Aulia Rahma
5.1.2.4. Husein Fadhillah
5.1.2.5. Nahla Alesha.
5.1.2.3. Drajat Setyadi Purnama & Siti Mawar Dani
5.1.2.3.1. Zainab.
5.1.2.4. Yuda Pranata Pamungkas & Uswatun Hasanah
5.1.2.4.1. Raihanah Al Adiibah
5.1.2.4.2. Rummanah An Nafisah.
5.2. Pambudi Widodo (Wiwid) & Hastuti Werdiningsih
5.2.1. Shintarini Budiasih & Joko Budi Santoso
5.2.1.1. Yurim Alfarizqia Haflani.
5.2.2. Rindang Mekarsasi
5.3. Hastuti Martiwi (Tuti)
5.4. Sugeng Supoyo (almarhum) & Kunairoh
5.4.1. Tito Septianto
5.4.1.1. Lilo
5.4.1.2. Ima Kurniasih.
5.4.1.3. Riyan Hidayat.
5.5. Budi Haryono & Nanik Mulyani
5.5.1. Angga Afriadi & Nurlailli Mubarokah
5.5.1.1. Alkha (Muhamad Alkhalivi)
5.5.1.2. Jean (Jeans Indira)
5.5.2. Bagas Budi Satria

  1. Evaristus Wilis Legiono (Almarhum) dan Mien Karmini
    6.1. Sarwadi Budi Pramudianto dan Suminah
    6.1.1. Denys Prayoga Novridiazmanto
    6.1.2. Diska Aprian Dwitama
    6.2. Djatiwi Susi Andrini dan Deni Koesriadi
    6.3. Sandi Herimono Prabowo dan Rida Nurwaridah
    6.3.1. Risya Khairunnisa Prabowo
    6.4. Devi Rahardiono dan Santi Susanti
    6.4.1. Alfiana Nafisa Rahardiono
    6.4.2. Nararya Zaidan Rahardiono
    6.4.1. Adhyasta Prawira Rahardiono
    6.5. Desi Sugiarini dan Ajat Sudrajat
    6.5.1. Putri Maharani
    6.5.2. Muhammad Putra Ramadhan
    6.6. Dita Meihasrini dan Cahyadi Erwin Purnama
    6.6.1. Darryl Surya Adriansyah
  2. (Almarhum) Surtinah & Sugiyono (almarhum).
    7.1. Sugiyarto (alm) dan Dede.
    7.1.1. Ruli
    7.1.2. Yeri.
    7.1.3. Tyus
    7.1.4. Rubi.
    7.2. Sugiyarno dan Ratna
    7.2.1. Dewi & Ronald
    Cucu : 5
    7.3. Hartini
    7.4. Toto dan Roiyah
    7.4.1. Alsa R
    7.5. Agung Nugroho dan Siti  M (almarhumah).
    7.5.1. Septiawan BEN.
    7.5.1.1. cucu
    7.5.2. Mahendra Dwi
    7.5.3. Maulana Sarriaji.
    7.6. Endi Sapto P
    7.7. Widi Santoso

8.(almarhum) Sukilah

9.(Almarhum) Heribertus Sukiman & Yustina Nanik Karsini :
9.1.Ig. Toto Ismintarto & Hastari Soekardi.
9.1.1.Paramesti Widyantari.
9.1.2.Prabandana Raditya.
9.2.Fx. Wikan Indrarto & B Sari Prasetyati.
9.2.1.Erwin Yudhistira Yasanusaraharja Indrarto & Yulia Megasari.
9.2.1.1.Joviel Elazar Indrarto.
9.2.2. Karol Bimoseno Kridolaksono Indrarto (& Nyra Malika)
9.2.3. Agatha Larasati Pangarsaningutami Indrarto (& William Febuana)
9.3. Yosephine Wara Pradnastuti & Greg Sengiman.
9.3.1. Kevin Giovani.
9.3.2. Nicholas Valerian.

10.(almarhum) Sutiyah dan (almarhum) Sukarno
10.1.Tavip Sukarno dan Retno siapa
10.1.1.Aditia
10.2.Dadit & siapa
10.3.Dedi & siapa
10.4.Susanto Prabowo & siapa

11.Fx. Sukirlan & Lucia Darwiyati (almarhum)
11.1.Agustinus Purwaka & B Novita K.
11.1.1.Stk. Wiyar Galih O.
11.1.2.Maria Sekar Gayuh O.
11.2. Gregorius Aditomo & C Mukti P.
11.3. Bernardus Tri Santoso & Winda
11.3.1. Fiorenza (Fio) Alethea Alexandreina
11.3.2. Falenxia (Falen) Adrienna Alexandrea

12.(almarhum) Daliyah & (almarhum) Sungkowo Sunyoto
12.1.Bowo
12.2.Hersanti
12.2.1.Kembar 1
12.2.2.Kembar 1
12.3.Nugraheni & Surono
12.3.1.Vito
12.3.2.Siapa
13.Sunariyah & Isaac Huwae
13.1 Antonius Jati priyambodo

By Fx Wikan Indrarto

Dokter Fx Wikan Indrarto

6 replies on “2024 Antara Lembang dan Bandung”

Bukan main.
Sangat sangat mengesankan kisah yang penuh kasih & kebersamaan.

Sangat membuka wawasan untuk tempat-tempat yang dikunjungi.

Terima kasih Dr. Wikan telah berbagi kisah

Leave a Reply