Categories
Istanbul

2018 Selamat Jalan Suster Dokter

Selamat jalan Suster Dokter

fx. wikan indrarto*)

Berita bahwa Sr. Dr Conchita Cruz, SpSS (83 tahun) meninggal dunia pada hari Kamis, 22 Maret 2018, pukul 16.10 di RSUP Sanglah Denpasar, Bali tersiar sangat cepat ke segenap pihak. Sosok yang sering kita sapa dengan sebutan Suster Dokter, karena sebagai seorang biarawati dalam konggregasi suster Abdi Roh Kudus (SpSS), juga seorang dokter medis tamatan Universitas Santo Thomas Manila, karena beliau sebelumnya adalah warga negara Filipina. Beliau adalah pribadi yang luar biasa dan panutan bagi kita semua, rasanya telah beristirahat dengan kekal bersama Bapa Yang Maha Baik di surga.

Pertemuan kami pertama kali dengan Suster Dokter terjadi pada hari Rabu, 24 Februari 1992 di sebuah siang yang terik. Kami diantar oleh Om Petu (maaf, saya lupa nama lengkapnya), seorang pegawai di kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka, NTT yang menemani kami, sebagai seorang dokter baru CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil) di lingkungan Departemen Kesehatan RI. Sesuai keputusan Dr. Lada (Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan NTT), kami ditempatkan sebagai dokter pemerintah yang diperbantukan di RS St. Elisabeth Lela, sekitar 24 km di selatan Maumere, ibukota Kabuaten Sikka, di Pulau Flores.

Sambutan yang meriah dengan kedua tangan terbuka, senyum lebar dan teriakan kegembiraan, menyambut kami dan memanggil kami sebagai dokter Fransiscus. Maklum saja, semua orang di Flores dengan nama permandian Katolik Santo Fransiscus Xaverius seperti kami, ataupun Santo Fransiscus yang lain, pasti akan disapa dengan panggilan Fransiscus, Frans, atau Franky. Beliau mengungkapkan kegembiraannya, karena direksi RS memohon bantuan tenaga dokter keada pemerintah sudah sejak lama, tetapi belum dapat dikabulkan, dengan alasan tenaga dokter pemerintah masih diperlukan di fasilitas kesehatan milik pemerintah.

Sejak siang itu, kami digembleng sebagai dokter klinisi di RS, sebuah profesi yang kami ragukan sendiri akan berhasil, terkait kompetensi diri yang sangat terbatas. Kami mendapatkan bimbingan langsung oleh Suster Dokter, baik dalam tatalaksana penyakit non bedah, tindakan operatif, maupun pengaturan jadwal jaga dokter, karena di RS tersebut juga sudah ada Dr. Kartono. Dalam ketiga bidang tersebut kami memiliki pengalaman sangat mengesankan tentang pribadi Suster Dokter.

Pada tatalaksana penyakit pasien yang bersifat non bedah, Suster Dokter membimbing kami dalam mengenali pasien TBC aktif, kusta, malaria, diare akut dan resusitasi bayi baru lahir. Semuanya memiliki karakter penyakit yang khusus, sehingga saat pasien masih berdiri di depan pintu ruang praktek saja, Suster Dokter sudah dapat menyusun diagnosis kerja yang sangat jarang meleset, dibandingkan dengan diagnosis akhirnya. Tidak hanya terkait diagnosis penyakit itu saja, tetapi juga menyangkut harapan kesembuhan (prognosis) dan kemungkinan kekambuhan (relaps), yang juga relatif tepat.

Pada bidang tindakan operatif, kami dilibatkan, dimbimbing dan akhirnya dilepaskan untuk melakukan berbagai jenis operasi, dari yang bersifat ringan, menengah dan besar. Operasi ringan pertama adalah pengambilan kuku (nail extraction) sampai benjolan lemak (lipoma exicion) di wajah. Operasi sedang pertama adalah pengambilan usus buntu sederhana (simple appendintomy) sampai koreksi ketedun pada pasien lansia (hernioraphy). Operasi besar pertama adalah sesar terencana (elective caesar) sampai pembukaan perut dan penyambungan usus (laparotomy with end to end anastomosis).

Operasi yang paling mengesankan adalah penyambungan tulang paha (ORIF Femur), sesar darurat (emergency caesar), pengambilan kelenjar gondok dengan anastesi lokal (strumectomy), pengambilan kelenjar prostat (open prostatektomy), pengambilan batu ureter lewat perut (peritoneal uretherotomy), dan pembukaan anus bayi (correction of atresia ani lower side). Semua tindakan operasi tersebut dilakukan oleh Suster Dokter dengan sangat terampil, baik sebagai dokter umum yang setiap 8 bulan mengikuti kursus di Jerman dan Belgia, maupun sebagai mentor bagi kami. Tentu saja, mengajarkan teknis operasi kepada seorang dokter umum yunior seperti kami, pasti memerlukan ketrampilan, semangat dan kesabaran ekstra besar, yang ternyata dimiliki oleh Suster Dokter dengan hampir sempurna. Bukti keberhasilan proses mentoring untuk kami, adalah saat kami sendiri mampu mandiri untuk melakukan hampir semua teknik oparasi yang diajarkan, selain strumectomy dengan anestesi lokal.

Pada aspek manajemen RS, termasuk pengaturan jadwal jaga dokter, Suster Dokter mengajari kami secara bertahap. Aspek pengaturan asuransi pasien, pengelolaan perbekalan obat dan alkes, juga kaderisasi tenaga perawat terampil sesuai unit kerja, semuanya diajarkan dan didiskusikan bersama. Suster Dokter selalu mengijinkan kami untuk pesiar, sebuah istilah untuk menggambarkan aktivitas jalan-jalan pergi ke kota, pada setiap hari libur dan tanggal merah, meskipun kami terjadwal dinas jaga, asalkan Suster Dokter tidak ada tugas keluar RS. Bahkan Suster Dokter cukup sering memintakan ijin bagi kami untuk meminjam mobil dinas RS sebagai sarana jalan-jalan, setelah kami memiliki satu anak.

Yudhistira Yasanusaraharja Indrarto, anak sulung kami yang lahir pada hari Kamis, 22 Januari 1993 di RS St Elisabeth Lela, Maumere dan kami tolong sendiri, diberikan nama permandian Erwin, oleh Suster Dokter. Beliau menyatakan sangat menyesal, karena waktu kelahiran anak kami tiba, beliau sedang bertugas sebagai pejabat biara di Seminari Hokeng, Flores Timur. Rasa sayangnya kepada Yudhi, panggilan anak sulung kami, ditunjukkan dengan banyak hal, termasuk kehendaknya agar Yudhi memanggilnya dengan sebutan Nenek Suster. Kedekatan Yudhi dengan Nenek Suster terakhir terlihat, saat kami sekeluarga bernostalgia ke Flores yang cantik dan menginap di Biara Suster SpSS Ende pada hari Sabtu, 26 Juni 2010. Keduanya terlibat teriakan hebat pada dini hari, saat menonton bersama (nobar) siaran langsung di TV, putaran kedua Final Sepak Bola FIFA Piala Dunia 2010.

Kontak kami terakhir adalah melalui email dengan Suster Dokter, setelah kami bertemu dan berkenalan dengan Sr. Maria Caridad, SSpS, di kapel Pink Sister dan Rumah Retret dan Pusat Pelayanan Konggregasi Roh Kudus (SpSS) di Tagaytay City, sekitar 60 km dari ibukota Filipina, Manila, pada Rabu sore 11 Januari 2012. Selain itu, juga saat kami mampir di Del Pilar Academy di Kota Imus, tidak jauh dari Tagatay City dan mencari Mrs. Tessie Cruz, seorang ipar Sr. Dr. Conchita Cruz, SpSS, yang bekerja di bagian administrasi sekolah tersebut.

Pada saat Suster Dokter menghadap Sang Pencipta, Yudhi sedang menjalankan tugas sebagai dokter baru dalam Program Internship Dokter Indonesia (PIDI) di RS Bhayangkara Polda NTT di Kupang. Selain itu, kami juga sedang mengikuti ‘The 16th Annual World Congress on Pediatrics’, sebuah konggres dokter spesialis anak sedunia di Hilton New York JFK Airport Hotel, 5144-02 135th Avenue, Jamaica, New York 11436 USA. Namun demikian, kami sekeluarga dan kita semua tetap merasa sangat berduka cita secara mendalam, atas kepulangan yang abadi Suster Dokter. Tentu saja, kami sangat menyesal tidak dapat ikut melayat dan menghantarkannya pada pemberhentian terakhir di Biara Suster SpSS di Kewapante, sedikit di luar kota Maumere, Flores NTT.

Marilah kita kenangkan, semua jasa baik Suster Dokter bagi kami pribadi, sekeluarga, maupun kita semua, dengan permohonan agar arwahnya dapat beristirahat dengan tenang, damai, dan kekal di rumah Bapa Sang Pencipta. Selamat jalan Sr. Dr Conchita Cruz, SpSS. Terimakasih atas semua jasa baik Suster Dokter yang telah kami rasakan dan mohon maaf atas kesalahan yang telah kami lakukan waktu itu.

Sekian

Ditulis dalam laju Train 93 milik Amtrax dari Pennsylvania Station di New York, menuju Union Station di Washington, DC di USA pada hari Kamis, 22 Maret 2018 pk. 14.10

*) dokter umum di RS St. Elisabeth Lela, Maumere, Flores, NTT 1992-1995.