Categories
Istanbul

2018 Etika Biomedis JKN

Hasil gambar untuk etika kedokteran

ETIKA  BIOMEDIS  JKN

fx. wikan indrarto*)

Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan (Perdirjampelkes) BPJS Kesehatan No 2, 3, dan 5, juga rujukan ‘on line’, menjadi perdebatan di kalangan para dokter. Pengaturan dengan tujuan efisiensi penggunaan dana BPJS Kesehatan tersebut, dipandang sebagai sebuah bentuk pembatasan atas hak pasien dan dokter, sehingga tidak etis. Apa yang seharusnya dipahami?

Hasil gambar untuk etika kedokteran

Ketiga jaminan tersebut, yaitu layanan katarak, bayi baru lahir, dan rehabilitasi medik merupakan layanan yang memiliki pengeluaran biaya yang cukup besar. Operasi katarak mencapai Rp. 2,6 triliun, bayi baru lahir sehat yang ditagihkan secara terpisah dari paket ibunya sekitar Rp. 1,1 triliun dan layanan fisioterapi pada program rehabilitasi medik mencapai Rp. 960 miliar. Angka itu melebihi kasus katastropik, seperti jantung, gagal ginjal, sehingga ketiga layanan tersebut memiliki batasan baru dalam Perdirjampelkes yang dapat menghasilkan efisiensi mencapai Rp. 360 miliar.

Gambar terkait

Perdirjampelkes dipandang sebaliknya oleh perwakilan Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami) Dr. Johan Arif Martua Maruarar Hutauruk, SpM(K), karena jika operasi katarak dibatasi, maka kualitas pelayanan tindakan dokter akan terganggu. Sekretaris Jenderal Perhimpunan Ahli Obsteri dan Ginekologi Indonesia (POGI) Budi Wiweko mengatakan, Perdirjampelkes sangat kontradiktif dengan upaya mengurangi angka kematian bayi dan ibu. Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aman Pulungan, mempertanyakan Perdirjampelkes karena resiko kematian bayi akan meningkat, dan hak hidup untuk bayi akan berkurang. Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Ilham Oetama Marsis menyoroti pembatasan rehabilitasi medik dan pasien akan mengeluarkan biaya sendiri, untuk membiayai pengobatannya tersebut.

Hasil gambar untuk etika kedokteran

Layanan katarak, bayi baru lahir, dan rehabilitasi medik, juga layanan kedokteran lainnya, berpegang teguh kepada 4 kaidah dasar moral (moral principles), yaitu otonomi, ‘beneficence’, ‘nonmaleficence’ dan ‘justice’. Otonomi berarti setiap tindakan medis haruslah memperoleh persetujuan dari pasien (atau keluarga terdekat, saat pasien tidak dapat memberikan persetujuannya) dan ‘beneficence’ berarti setiap tindakan medis harus ditujukan untuk kebaikan pasien. Sedangkan ‘non maleficence’ berarti setiap tindakan medis harus tidak boleh memperburuk keadaan pasien dan ‘justice’ berarti bahwa sikap atau tindakan medis harus bersifat adil, terutama dilihat dari segi ‘distributive-justice’, yaitu hilangnya ketidaksetaraan dalam masyarakat.

Hasil gambar untuk etika kedokteran

Dilema moral masih mungkin terjadi apabila prinsip otonomi dihadapkan dengan prinsip moral lainnya. Juga apabila prinsip ‘beneficence’ dihadapkan dengan ‘non maleficence’, misalnya apabila keinginan pasien (otonomi) ternyata bertentangan dengan prinsip ‘beneficence’ atau ‘non maleficence’, dan apabila sesuatu tindakan mengandung ‘beneficence’ dan ‘non maleficence’ secara bersamaan seperti pada ‘rule of double effect’. Prinsip doktrin efek ganda adalah kriteria etika yang menganjurkan untuk mengevaluasi dampak tindakan yang sah, misalnya menghilangkan rasa sakit pasien yang sakit parah, yang mungkin juga dapat menyebabkan efek buruk dan wajib dihindari, misalnya kehidupan pasien yang sedikit diperpendek. Contoh pertama efek ganda adalah ‘treatment of homicidal self-defense’ oleh Thomas Aquinas dalam karyanya Summa Theologica (1265–1274).

Hasil gambar untuk etika kedokteran

Langkah pertama dokter adalah menghormati harkat martabat pasien (otonomi), pada kondisi ini pasien maupun keluarganya harus mempunyai otonomi untuk menerima informasi yang relevan tentang penyakitnya. Dokter harus menentukan apakah pasien, keluarga atau kerabat paham tentang kondisi kesehatan terakhir dari pasien. Hal penting berikutnya adalah menentukan kapan tindakan medik untuk pasien sudah berubah dari ‘ordinary’ menjadi ‘extraordinary’.

Hasil gambar untuk etika kedokteran

Tindakan yang ‘ordinary’ (biasa) adalah semua tindakan medis, bedah atau obat-obatan yang menawarkan harapan berupa perbaikan keadaan yang wajar, yang dapat diperoleh atau dilakukan tanpa biaya berlebihan, kesakitan, susah payah atau ketidaknyamanan yang lain. Sedangkan tindakan yang ‘extraordinary’ (luar biasa) adalah semua tindakan medis dengan biaya berlebih, tetapi tidak menawarkan harapan adanya perbaikan keadaan yang wajar. Penentuan mana yang ‘ordinary’ atau ‘extraordinary’ menjadi sangat penting agar para dokter yakin bahwa tindakan profesionalnya tidak melanggar etika. Prinsip ini berasal dari Domingo Bañez (1528-1604), seorang dokter Spanyol terkait amputasi tangan seseorang, agar penyakitnya tidak akan menjalar dan membahayakan hidupnya.

Hasil gambar untuk etika kedokteran

Selain itu, tindakan medis dokter harus ditentukan terlebih dahulu, apakah sebagai bagian dari “care” ataukah “cure”. Apabila merupakan bagian dari “cure” dan dianggap sebagai tindakan medis yang sia-sia, maka dapat dihentikan atau tidak dilakukan. Sebaliknya, apabila dianggap sebagai bagian dari “care”, maka oleh alasan apapun tidak etis apabila dihentikan.

Hasil gambar untuk etika kedokteran

Layanan katarak, bayi baru lahir, dan rehabilitasi medik untuk pasien peserta JKN memang merupakan layanan yang memiliki pengeluaran biaya yang cukup besar. Seandainya ketiganya termasuk ‘care’ dan ‘ordinary’, maka layanan harus diberikan sesuai indikasi medis murni. Sebaliknya, kalau termasuk ‘cure’ tetapi ‘extraordinary’, maka layanan tersebut dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan sama sekali, karena tidak murni ditentukan oleh indikasi medis dan secara etika biomedis dapat dibenarkan.

Apakah kita sudah cerdas?

IDI Wilayah NTB SekianYogyakarta, 4 September 2018

*) Sekretaris IDI Wilayah DIY, dokter spesialis anak, lektor di FK UKDW Yogyakarta, Alumnus S3 UGM, WA: 081227280161, e-mail : fxwikan_indrarto@yahoo.com

By Fx Wikan Indrarto

Dokter Fx Wikan Indrarto

Leave a Reply