Categories
Istanbul

2008 SEKEJAP DI THAILAND

SEKEJAP DI THAILAND

fx. wikan indrarto dan b. sari prasetyati*)

Dalam rangka mengikuti ’10th Asian Congress of Pediatric Nephrology (ACPN) 2008′ dengan tema ‘Innovation in Prevention and Therapeutic Strategies’, yang berlangsung pada 28-30 Agustus 2008, kami mengunjungi Thailand. Acara tersebut diadakan di Bangkok Convention Centre at Central World 23rd floor, di Bangkok ibu kota Thailand. Kami menggunakan Garuda Indonesia GA 866, sebuah pesawat Boeing 737 versi 400 yang berangkat pk. 22 dari Jakarta dan sampai di Bangkok pk. 02 dini hari, hari berikutnya. Kami mendarat di Suvarnabhumi International Airport Bangkok yang baru, modern, artistik, dan gagah yang terdiri dari 6 lantai, di tengahnya ada Novotel Transit Hotel dan kantor AOT (official airport) yang tidak kalah artistik. Semua penumpang yang turun dari pesawat dilayani di lantai 2.

 
Bandara
 
100_2923
Saat mendarat Suvarnabhumi International Airport Bangkok, di tengah malam yang dingin (kiri). Bergaya dalam pakaian tradisional Siam dan salam persahabatan mereka (kanan)

Masih dalam perdebatan sampai sekarang, namun banyak ahli meyakini bangsa Thai berasal dari bagian barat laut propinsi Szechuan di daratan Cina, yang bermigrasi sekitar 4.500 tahun yang lalu, dan kemudian mendiami wilayah Thailand sekarang. Dugaan lain berkembang pesat setelah ditemukannya artefak di desa Ban Chiang, kabupaten Nong Han, Propinsi Udon Thani, sebelah timur laut Thailand. Hal ini meliputi bukti matalurgi, arkeologi dan sosiologi yang menunjukkan adanya budaya dan kehidupan sempurna sebagai sebuah awal suatu masyarakat bangsa. Di situlah bangsa Thai diduga berasal, yang kemudian justru bermigrasi pada 3.500 tahun yang lalu ke banyak bagian Asia, termasuk Cina. Masih diperlukan penelitian ilmiah lainnya, untuk membuktikan mana yang sesungguhnya benar, dan hal tersebut tidak dibahas dalam konggres yang kami ikuti.

.

Kata ‘Siam’ adalah sebutan bangsa Thai yang digunakan sejak jaman dahulu sampai pada tahun 1939, dan digunakan lagi antara 1945 sampai 1949. Sejak tanggal 11 Mei 1949 pada saat proklamasi kemerdekaan, namanya diubah menjadi ‘Prathet Thai’ atau ‘Thailand’, sebuah nama yang digunakan sampai sekarang. Kata ‘Thai’ berarti ‘bebas’, sehingga secara harafiah berarti ‘Tanah Kebebasan’. Thailand terletak di jantung Asia Tenggara dengan luas wilayah 513.115 km2 yang terbentang 1.620 km dari utara ke selatan dan 775 km dari timur ke barat. Thailand berbatasan dengan Laos dan sedikit Myanmar di utara, Kamboja di timur, Myanmar di barat dan Malaysia di selatan. Thailand dibagi ke dalam 76 propinsi, dengan kota-kota utamanya adalah Bangkok, Chiangmai, Songkla, Ayutthaya, Chonburi, Nakhon Ratchasima dan Khon Kaen. Bendera Thalaind secara seremonial dikibarkan setiap pagi hari, baik di kota-kota maupun di desa-desa, terdiri dari 5 buah pita mendatar, yaitu merah, putih dan biru. Hal ini melambangkan keharmonisan 3 pilar negara, yang dinamakan ‘trirong’. Hal tersebut diperkenalkan oleh Raja Rama VI (Vajiravudh) pada tahun 1917, yang awalnya disertai gambar gajah putih, sebagai lambang kerajaan. Bangsa Thai sangat menghormati Raja, Ratu dan anggota keluarga kerajaan, serta bendera nasionalnya yang banyak sekali berkibar di seantero negeri, setiap saat, bukan hanya pada bulan tertentu saja. Dengan alasan itu jugalah, kami bertekad mengkoleksi bendera Thailand, mencarinya di setiap toko cindera mata, dan ikut juga ‘mengenangnya’.

 
100_2781
 
Dermaga

Gambar Raja Bhumibol Adulyadid banyak ditemukan di seluruh negeri, Raja yang sangat dihormati rakyatnya

Dermaga ‘River City’ di ujung Jl. Charoen Krung, tempat kami memulai wisata sungai Chao Phraya

Hari pertama setelah sarapan kami menuju ‘River City’ di ujung Jl. Charoen Krung, untuk mencoba naik kapal wisata menjelajah Sungai Chao Phraya. Kami berdua berangkat bersama dengan dr. Pungki dan suami dari Yogya, juga dr. Heru, dr. Mega dan kakaknya dari Semarang. Sebelumnya kami diajak melawan arus dan menyusur sungai Chao Phraya yang lebar sekali, masuk ke anak sungai Klong Kai, melihat pasar terapung, rumah asli masyarakat Thai jaman dahulu, yaitu rumah panggung di tepi sungai, beserta aktivitas harian mereka. Pasar terapung atau dinamakan ‘Damnoen Saduak’, dapat sampai berupa ratusan kapal kayu yang memuat buah, sayur, cindera mata ataupun barang harian lainnya yang lalu lalang di banyak anak sungai dan kanal di sekitar sungai Chao Phraya. Kami juga diajak melihat ikan patin yang disucikan, sehingga dilarang untuk ditangkap dan dimakan oleh masyarakat Thai yang beragama Buddha. Ikan-ikan tersebut berenang-renang disekitar vihara Kanyalanamit yang besar dan diberi makan roti oleh banyak warga dan wisatawan yang berperahu di situ, juga oleh para biksu di wihara tersebut. Oleh karenanya, populasinya sangat banyak dan berukuran besar, bahkan sampai sebesar lengan orang dewasa. Untung ikan itu tidak hanyut sampai di Indonesia, sebab hampir pasti akan ‘musnah’ menjadi ikan bakar yang lezat.

 
100_2802
 
Transaksi

Suasana kapal wisata sungai yang melawan arus deras Sungai Chao Phraya

Transaksi di pasar terapung atau ‘Damnoen Saduak’, kami membeli rambutan

Kami selanjutnya mengunjungi Wat Arunratchamararam (Tample of the Dawn), yaitu sebuah candi milik kerajaan yang dibangun pada saat Dinasti Chakkri berkuasa di ibu kota lama, yaitu Ayutthaya. Pada awalnya dinamakan Wat Makok (the Olive Temple) dan diubah oleh Raja Thaksin menjadi Wat Chaeng saat ibukota berpindah ke Thonburi. Oleh Raja Rama II dikembangkan lebih luas dan disebut Wat Arunratchatharam. Raja Rama IV meneruskan pembangunannya dan menyebut dengan namanya yang sekarang, terdiri dari pagoda (prang) yang indah, berukuran tinggi 66,8 m, lebar 236 m2, dikelilingi oleh pagoda sekitar (satelit), semuanya ditempeli ribuan mosaik porselin yang memantulkan bermacam warna cahaya, bergaya dekorasi Cina dan merupakan ‘landmark’ Thailand. Wat Arun terletak di tepi barat sungai Chao Phraya yang terkenal, terdiri dari 13 bagian, yaitu ruang utama (Borth-Noi), balkon sekitar (Phra Viharn Kot), kapel (Phra Viharn), 4 buah pagoda satelit (chedi), pagoda utama (principal prang), paviliun dekat sungai (Sahassateja Tasakantha) dan gerbang utama. Setelah berfoto-foto dan mengagumi keindahannya, kami mampir ke sisi barat kompleks, yaitu toko souvenir, seperti kaos, gantungan kunci, hiasan dinding dan lain-lain. Yang mengherankan kami, semuanya dalam suasana Indonesia, baik pembelinya, penjualnya, bahkan musiknya dengan lagu-lagu dari Ebiet G. Ade, semuanya berbahasa Indonesia. Sangat banyak wisatawan asal Indonesia dan mereka dikenal sangat royal membelanjakan uangnya di situ. Kami berdua, tidak sama persis dengan mereka.

 
Wat Arun
 
Wat Po

Wat Arunratchamararam (Tample of the Dawn) yang merupakan landmark Thailand, sangat indah di waktu siang, maupun malam

Wat Pho di Jl. Chetuphon dengan patung Buddha raksasa berlapis emas dalam posisi tiduran sepanjang 46 meter dan berat 5 ton.

Setelah puas, kami menyeberangi sungai Chao Phraya dengan taxi air, semacam feri penyeberangan sungai, yang bersih, rapi dan terjadwal. Kami mengunjungi Wat Pho di Jl. Chetuphon, sebuah wihara besar yang di dalamnya terdapat patung Buddha raksasa berlapis emas dalam posisi tiduran sepanjang 46 meter dan berat 5 ton. Setiap pengunjung harus melepaskan alas kakinya dan dipersilakan masuk secara bergiliran, teratur dan kidhmat. Kami diijinkan mengambil foto sepuasnya, baik wajah, tangan maupun sekujur tubuh patung yang berlapis emas kekuningan. Setelah berfoto seperlunya, kami berjalan-jalan sepanjang kompleks untuk mengamati keindahan arsitekturnya, juga bangunan indah penyimpan abu jenazah setelah dikremasi. Masyarakat Buddha memiliki tradisi dengan melakukan kremasi (membakar) dan menyimpan abu jenazah keluarganya di kompleks wihara. Selain itu, setiap hari mereka bersembahayang dan membakar sesaji, menaruh bunga putih dan kuning di tempat pemujaan, dan menghaturkan sembah dengan kedua tangan di dada, saat melewati tempat tersebut. Tradisi ini mengingatkan gaya serupa masyarakat Hindu di Bali.

.

Perjalanan kami lanjutkan kembali ke Central World, tempat konggres untuk mengurus proses registrasi kami semua. Central World terletak di dekat Siam Paragon, sebuah supermal terbesar di seluruh ASEAN. Di lantai dasarnya ada Siam Ocean World, yaitu ‘the world class aquarium’. Di situ ada paket menyelam dengan hiu, yang disebut raja lautan (‘king of the ocean’ atau ‘ragged-tooth sahrks’), ada kegiatan jalan-jalan di dasar laut, pertunjukan memberi makan pinguin dan menonton petualangan dasar lautan dalam bentuk hi-fi 4D.

.

Setelah selesai mengurus registrasi konggres, kami berpisah dengan rombongan, sebab mereka akan kembali ke hotel untuk makan siang. Kami memutuskan untuk kembali naik BTS (kereta layang bergerbong 3) dari Siam Center Station ke Silom Station, lalu berganti BTS yang menuju Hua Lamphong Station. Proses membeli tiket BTS yang bersifat elektrik dan full-computerized, sejatinya telah menjadi sebuah tantangan teknologi bagi kami berdua yang udik dan gaptek (gagap teknologi). Dari situlah kami menjelajah kota tua Bangkok di pinggir sungai Chao Phraya, yang lebar, berair coklat, kadang berombak, penuh enceng gondok yang hanyut untuk keseimbangan ekosistem sungai, tetapi yang sangat membanggakan, sebab tidak ada sampah sama sekali. Berhubung istana raja atau the Royal Grand Palace yang akan kami tuju tutup pada pk. 15, maka kami mengunjungi tempat lain, yaitu banyak vihara atau wat. Pertama adalah Wat Ratchanadda (Loha Prasat), kemudian Wat Benchamabothit (Marble Tample) dan Wat Saket (Golden Mount).

 
BTS
 
Tuktuk

BTS (kereta layang bergerbong 3) yang tepat waktu, canggih dan berkarcis elektrik

Tuk-tuk beroda 3 yang open-air dan lincah menembus kemacetan kota Bangkok

Kami naik tuk-tuk dengan tarif paket 40 Bath ke semua tujuan dan mampir di suatu toko perhiasan batu mulia. Setiap sopir tuk-tuk yang mengantar tamu ke tempat tersebut, akan mendapatkan kupon BBM gratis seharga 20 Bath dari pemilik toko. Sebuah kerja sama antar unsur yang sangat baik dan saling menguntungkan, sehingga sektor pariwisata Thailand telah berhasil menjadi sumber pendapatan negara yang utama. Kami diantar pulang sampai ke stasiun BTS di Rajchathewi, untuk kemudian naik BTS ke Phayathai, yaitu stasiun terdekat dengan hotel kami, Hotel Florida. Hotel kami terletak di Jl. Phaya Thai no 43, Ratchathewi, Bangkok.

.

Pagi berikutnya, setelah acara pembukaan oleh Prof. Dusit Lumlertgul (Thailand) dan sesi ilmiah pertama oleh Prof. David Harris (Australia), kami mengunjungi The Royal Grand Palace. Perjalanan dimulai dengan naik BTS dari stasiun Phayathai menuju Siam, sebuah stasiun BTS penghubung (BTS interchange station). Kemudian berganti BTS menuju Silom. Stasiun Silom merupakan stasiun penghubung dengan subway (MRT interchange station) dengan subway (kereta bawah tanah). Kami berganti naik subway untuk menuju ke stasiun Hua Lumphong. Di stasiun kereta api utama tersebut, kami mencari informasi tentang jadwal kereta ke Ayutthaya dan kota-kota lain yang akan kami kunjungi hari berikutnya. Jadwal kereta terpampang sangat informatif dalam dua huruf, Thai dan latin. Kami lanjutkan perjalanan ke Wat Phra Kaeo (the Royal Grand Palace) di Jl. Maharat dengan taxi-meter, sebuah sedan Corrolla Altis yang warna-warni, bertarif 65 Bath. Untunglah kami naik taxi, sehingga dapat turun persis di depan gerbang pengunjung istana. Wisatawan lain yang berombongan dengan minibus ataupun naik bus pariwisata, diharuskan turun di tempat parkir khusus yang terletak cukup jauh untuk berjalan kaki. Istana ini menyimpan berbagai koleksi bangunan paviliun, candi (chedis) dan stupa emas (golden spires) yang menjadi sebuah masterpiece tersendiri. Dengan tiket masuk 300 Bath, kita dapat melihat keindahan di dalamnya, yaitu tempat doa kerajaan (the Royal Chapel) yang menyimpan patung Permata Buddha (the Emerald Buddha) yang dibuat dari batu mulia. Pulang dari the Royal Grand Palace kami menggunakan taxi-meter pada jalur yang sama, sebab kalau naik tuk-tuk, meskipun lebih murah dengan tarif hanya 40 Bath, kami harus mampir ke toko souvenir untuk mengambil kupon BBM bagi sopirnya. Kami S4 (sungguh sangat sungkan sekali) dengan para penjaga toko, sebab kami pasti tidak akan membeli apapun di situ, maklum kami berdana cekak.

 
Wat Kra
 
Taman Rama

Wat Phra Kaeo (the Royal Grand Palace) di Jl. Maharat yang berstupa emas, sangat indah sekali

Taman Thanon Rama IV yang luas, indah dan dilengkapi dengan patung Raja Mongkutklao yang berdiri gagah

Setelah mencapai Stasiun Silom, kami keluar dari jalur subway (di bawah tanah) untuk menuju Taman Thanon Rama IV yang luas, indah dan dilengkapi dengan patung Raja Mongkutklao yang berdiri gagah dan berfoto sejenak di situ. Kami menyeberang jalan Ratchadamri untuk menuju Central World dengan taxi-meter, sebuah sedan Corrola Altis. Setelah agak tersesat di dalam gedung yang sangat luas, megah, modern, artistik, dan digunakan sebagai supermal Isetan, akhirnya kami menemukan tempat konggresnya, yaitu di lantai 23 gedung paling belakang, terutama atas bimbingan dr. Heru via sms.

.

Selesai mengikuti sesi konggres pagi, yang berjudul ‘Renal Bone Disease’ dan ‘Restoration in Chronic Kidney Disease’, kami berjalan kaki menuju stasiun Chitlom untuk mencapai stasiun Victoria Monument dengan menggunakan BTS bertarif 40 Baht. Kesan umum tentang fasilitas umum di Bangkok adalah bersih, jarang sekali ada anak, kaum wanita lebih banyak, cantik-cantik, dan hampir tidak ada orang yang gemuk, kemungkinan karena semua orang dituntut untuk berjalan kaki ke sana ke mari. Telephone umum coin masih banyak dan berfungsi baik, setiap orang membawa HP (handphone), meskipun jarang-jarang digunakan untuk bicara, apalagi untuk sms, hampir tidak ada yang melakukannya. Kalau seseorang harus berbicara dengan HP di tempat umum, bicaranya sopan, lembut dan sangat pelan agar tidak mengganggu orang lain di sekitarnya, dan dengan diiringi ekspresi wajah yang nyata, sesuai dengan konteks pembicaraan. Sistem dalam telepon seluler di Thailand menggunakan gelombang NMT 900 Mhz, bukan CDMA dan standar GSM internasional. Papan reklame sangat banyak, baik di dalam maupun di luar gedung, tetapi tidak ada satupun iklan rokok, kartu seluler dan pesawat HP, sangat berbeda dengan di tanah air. Toilet umum bersih dan teratur, untuk di luar gedung bertarif 3 Bath. Kendaraan yang melaju di jalanan hampir semuanya mobil ‘made in Japan’ seperti di tanah air, bedanya hanya bentuknya sebagian besar sedan dan ‘double cabin’. Mobil keluarga (MPV) hampir tidak ada, kecuali Toyota Commuter dan Hi-Ace yang digunakan sebagai mobil angkutan penumpang ataupun wisatawan. Beberapa model sedan yang persis dengan mobil di tanah air adalah City, Corolla, Civic, Accord, Lancer, Vios, dan Camry. Ada juga Innova, Fortuner, Avanza, APV, Jazz, yang pada umumnya semua bersih, terawat dan full variasi.

 
Altis
 
Innova

Corolla Altis yang menjadi taxi-meter di Bangkok dan sekitarnya

Toyota Innova yang menjadi taxi-meter di Pattaya dan sekitarnya

Sebagai gambaran tentang angkutan umum di kota Bangkok, di sana beredar taxi-meter, tuk-tuks, bis kota, minibus, BTS dan subway. Sepeda motor sangat jarang, baik di kota besar, maupun di desa-desa, jauh lebih sedikit dibandingkan mobil. Taksi dengan argometer pada umumnya berupa sedan Toyota Corolla Altis atau All New Corolla, bertuliskan taxi-meter, beroperasi 24 jam penuh, dengan tarif duduk 35 Baht dalam 2 km pertama, serta 2 Baht per km lanjutannya. Tuk-tuks atau sejenis bajaj di Jakarta yang full variasi, colorfull, roda 3, open-air, dapat menembus kemacetan jalan raya, dan sangat disarankan untuk digunakan para wisatawan, dalam menjelajah kota secara murah. Bis kota ada yang ber-AC dan ada yang tanpa AC (ekonomi), tarifnya mulai dari 10 Baht tergantung jarak, berwarna biru, oranye, putih, dan hijau sesuai dengan jalurnya. Bis kota yang tanpa AC adalah bis tua yang sebagian disediakan gratis untuk seluruh penumpang, berhenti hanya pada halte khusus, dengan jendela yang selalu terbuka, namun pintu tertutup rapat secara elektrik dan berawak 1 orang, yaitu sopir saja. Minibus yang berwarna pinkish-violet, ber-AC, dan tarifnya sedikit lebih mahal, 10-25 Baht per orang tergantung jarak, pada umumnya berupa Toyota Commuter, berkapasitas 11 penumpang, sangat mudah dijumpai di saentero negeri, tetapi mobil serupa hanya sangat sedikit yang beredar di Indonesia. Semua penumpang duduk, tidak boleh ada yang berdiri. BTS Skytrain atau kereta api yang berjalan di atas jalan layang, memiliki 3 gerbong, berjarak 5 menit setiap kereta, berhenti di setiap stasiun di area yang ramai (major commercial areas). Ada 2 jalur, yaitu dari utara ke selatan, yaitu dari Mo Chit ke On Nut (disebut Sukhumvit Line) dan dari barat ke timur, yaitu dari National Stadium ke Taksin Bridge (disebut Silom Line). Mulai beroperasi pukul 6 pagi sampai tengah malam, bertarif mulai 10-40 Baht, tergantung jarak dengan karcis elektronik yang dapat mencegah manipulasi ataupun korupsi. MRT Bangkok Subway atau kereta bawah tanah yang merupakan moda transportasi paling baru, dimulai dari Hua Lamphong, stasiun utama Bangkok, melalui Jalan Rama IV dan Ratchadaphisek, serta melalui Queen Sirikit National Convention Centre. Kami telah mencoba semuanya dengan sangat antusias dan berkesan sangat dalam.

 
Bis
 
Hi Ace

Bis antar kota di Thailand, tinggi dan gagah.

Semua full-AC dan reclyning seat

Toyota Commuter, berkapasitas 11 penumpang, sangat mudah dijumpai di saentero negeri

Setelah sesi ilmiah siang, yaitu ‘Peritoneal Dialysis’ dan ‘Role of Biomarkers in Renal Failure’, kami pergi dengan BTS ke stasiun Victoria Monument dan kami mencari pangkalan mini bus yang menuju kota Ayutthaya. Setelah bertanya hampir 10 kali dengan bahasa Tarzan, Inggris dan Tuhan, kami berhasil menemukan minibus ke Ayutthaya di sisi timur monumen tersebut, yaitu sebuah Toyota Commuter 2,4 lt bensin, ber-AC, bertarif 165 Bath per orang, kapasitas 11 orang. Kami segera meluncur ke Ayutthaya di jalan yang sekelas jalan tol, meskipun itu sebenarnya jalan biasa. Bagus, halus, lebar, dan terencana. Foto Raja, Ratu dan bendera nasional banyak terpasang di segenap penjuru kota dalam berbagai ekspresi. Hal itu menunjukkan betapa besar cinta rakyat yang mayoritas beragama Buddha, terhadap beliau berdua dan juga kebanggaan rakyat terhadap bendera nasional Thailand. Bahkan, stiker bertuliskan ‘Live Long the King’ banyak tertempel di kaca mobil.

.

Perlu diingatkan bahwa istana kerajaan yang lama terletak di Ayutthaya, yaitu di sebelah hulu Sungai Chao Phraya, yang sekaligus sebagai ibukota kerajaan kuno (Ancient Capital of Siam). Saat ini, Ayuttaya sudah berkembang menjadi salah satu kota besar di Thailand, tetapi tetap menyimpan bukti-bukti kebudayaan lama dalam lebih dari 400 buah bentuk sisa-sisa istana, wihara, makam keluarga kerajaan dan masih banyak bangunan cagar budaya lainnya yang tetap terjaga keberadaannya. Istana Bang Pa-in adalah istana yang memiliki arsitektur paling unik, sebab merupakan gabungan dari tradisi asli Thai, unsur Cina dan Gothic dari Portugis. Kami hanya sempat mengunjungi 3 kompleks yang terkenal, terindah dan terjangkau saja, yaitu Wat Mahathat, Wat Lokayasutharam dan Wat Chaiwatanaram.

 
Buddha
 
Kepala Buddha

Bersemedi di sisi patung Buddha di Wat Mahathat yang merupakan makam kerajaan di Ayutthaya

Patung kepala Buddha (Lord Buddha’s Head) yang dibuat dengan akar pohon beringin di Wat Mahathat

Wat Mahathat adalah makam kerajaan di Ayutthaya yang dibangun oleh Raja Borommarachathirat I di tahun 1374, dan disempurnakan oleh Raja Ramesuan (1388-1395). Saat Raja Songtham (1610-1628) dihancurkan bangsa Khmer. Restorasi dikerjakan oleh Raja Prasatthong (1630-1655). Ditambahkan oleh Raja Borommakot (1732-1758) dan terbakar pada 1767 dengan seluruh kota Ayutthaya. Wat Mahathat merupakan makam Buddha aliran Kamavasi sejak Mahathera Thammakanlayan, yang dibangun oleh Raja Borommarachathirat I. Oleh Raja Rama VI pada masa Rattanakosin 1911 hancur. Pada 1956 diperbaiki oleh Departemen Kebudayaan direstorasi dan barang yang penting saat ini telah disimpan di Chao Sam Phraya National Museum di Bangkok. Makam ini terdiri dari main prang, main vihara, ubosatha (ordination Hall), prang, vihara (hall of worship) and chedi. Di dalamnya terdapat patung kepala Buddha (Lord Buddha’s Head) yang sangat terkenal, sebab dibuat dengan akar pohon beringin. Asal sejarahnya belum jelas, namun diduga dibuat saat Ayutthaya diserang oleh tentara Birma pada tahun 1230, dikalahkan, dihancurkan dan dibangun kembali dengan banyak tanaman baru di dalamnya. Legenda yang beredar dan banyak diyakini mengisahkan adanya pencuri arca yang tidak berhasil, karena terlalu berat, membawa arca curiannya melewati beteng dan ditinggal di bawah pohon, sampai lama kelamaan akar pohon beringin itu menyelimutinya.

.

Kami mengelilingi kota lama Ayutthaya dengan bemo tua, bukan tuk-tuk seperti di Bangkok, yang tetap terawat, bersih dan masih mampu dipacu cepat, dengan tarif resmi 200 Baht/jam/bemo, bukan per penumpang. Kami mengunjungi Wat Lokayasutharam patung Budha berbaring, yang terletak di desa Pratoochai. Patung seperti itu disebut Phra Bhuddhasaiyart, dengan wajah yang tersenyum damai menghadap ke arah timur. Bahannya adalah batu bata dengan semen kuno, panjang 37 m dan tinggi 8 m yang diselimuti kain kuning, kedua lengan saling menindih dan kedua kaki sejajar untuk menggambarkan keharmonisan. Setelah berfoto beberapa kali, kami melanjutkan ke Wat Chaiwatthanaram, sebuah sekolah (monasteries) para biksu Buddha yang dibangun oleh Raja Prasatthong di tahun 1630. Pangeran Damrong Rachanuphap adalah arsitek yang merancangnya persis sama dengan Angkor Wat, sebagai lambang kejayaan raja yang berhasil mengalahkan Kamboja. Candi ini merupakan ‘landmark’ kota Ayutthaya dan memiliki pagoda utama (prang) bergaya Khmer dengan 4 buah pagoda pendamping. Setelah puas berkeliling kota Ayutthaya, kami pulang ke Bangkok dengan menggunakan bis besar, yaitu sebuah Mercedez-Bens OF bermesin belakang, dengan tiket seharga 56 Bath, full AC, dimana sopir dan kondekturnya berseragam rapi seperti pilot pesawat terbang, tetapi kemeja putihnya lengan panjang. Hampir semua bis bercat warna-warni sangat meriah. Pemandangan sepanjang jalan pulang menampakkan kemajuan dan modernisasi Thailand. Jalan yang halus dan lebar, lalu lintas yang teratur, bangunan yang serba besar, dengan tempat parkir yang juga luas, masyarakat yang berbudaya antri, tidak makan dan merokok sembarangan, sehingga lingkungan jadi bersih dan nyaman. Penjual makanan di pinggir jalan sebagian besar menjajakan buah segar keunggulan agrowisata Thailand, sate babi dan sapi, kue tradisional, cumi dan udang berbumbu Thai, dan sari buah yang segar. Tidak ada satupun yang menjual rokok, pulsa ataupun kartu perdana seluler. Tidak ada rumah model rumah keluarga dengan halaman yang luas, berpagar dan asri. Yang nampak hanya apartemen sebagai tempat tinggal di perkotaan dan rumah tanpa pagar di pinggiran kota. Di bawah jalan layang tidak digunakan untuk rumah liar dan di pinggiran kota, dekat terminal bis, terlihat banyak garasi perusahaan bis, bahkan ada yang terletak di bawah jembatan layang, tetapi tidak dipagar, sehingga kelihatan semuanya.

 
Buddha Berbaring
 
Wat Chaiwatanaram

Patung Buddha raksasa berbaring (Phra Bhuddhasaiyart) diselimuti kain kuning di Wat Lokayasutharam, Ayutthaya

Wat Chaiwatthanaram yang dibangun oleh Raja Prasatthong di tahun 1630. yang dirancang persis sama dengan Angkor Wat, di Kamboja

Pada hari terakhir konggres, setelah sesi ilmiah pagi yang berjudul ‘Idiopathic Childhood Nephrosis’ dan ‘Spectrum of Acute Kidney Injury’, kami memutuskan untuk mengunjungi Angkor Wat di Kamboja. Kami harus pergi ke perbatasan Thailand – Kamboja, yaitu kota Aranyaprathet. Dari Mo Chit Bus Station yang besar, kami menggunakan bis HINO RK mesin belakang, ber-AC, dan tiket seharga 470 Baht, melewati Don Mueang International Airport persis di sisi timur jalan yang kami lalui, yang merupakan sebuah bandara sangat bersejarah bagi Garuda Indonesia, karena sebuah pesawatnya pernah dibajak di situ sekitar tahun 1982. Kami melewati kota Sa Kaeo yang cukup besar di jantung negeri Thailand, dan selanjutnya kami menuju ke arah timur, yaitu ke Aranyaprathet, kota perbatasan. Kami sempat beristirahat di sebuah SPBU besar yang dilengkapi toilet, kantin dan minimarket, sehingga kami sempat jalan-jalan di sekitar situ dan mengamati harga BBM di Thailand, yaitu antara 32,4 – 36,4 Bath/liter. Penyelenggara SPBU tidak dimonopoli BUMN Thailand, tetapi bermacam-macam, ada DAN, Shell, Caltex, Petronas, Esso dan ada 2 lainnya yang menggunakan huruf Thai. Kami membeli buah-buahan yang luar biasa mengundang selera, yaitu jambu Bangkok dan semangka segar. Agrowisata di Thailand sangat maju, sebab didukung penuh oleh Raja dan segenap birokrat pemerintahan, sebagaimana terlihat dari banyaknya poster di pinggir jalan yang menggambarkan peran Raja dengan para petani saat panen tiba, meskipun sebenarnya kontur tanahnya berawa-rawa, kering dan kesannya tidak subur. Di banyak tempat tersedia aneka buah kualitas ekspor seperti yang ada di tanah air, dari jambu, nangka, mangga, kelapa, durian, rambutan dan melon. Semuanya dalam ukuran yang besar, dagingnya tebal, rasanya manis, tidak mengenal musim dan dijual juga secara eceran dalam plastik praktis dalam bentuk potongan sekali telan, yang dilengkapi tusukan dari bambu yang kuat, tajam dan bersifat pabrikan.

.

Kami berhasil sampai ke terminal bis di dalam kota Aranyaprathet dalam sekitar 5 jam perjalanan, lalu ganti naik tuk-tuk ke perbatasan Kamboja yang bertarif 65 Bath per orang. Kami naik tuk-tuk bertiga, dengan seorang turis ‘backpacker’ dari Irlandia Utara yang kami kenal di dalam bis. Kami tidak jadi menyeberang, sebab harus mengurus visa di tempat seharga 1.000 Baht per orang. Kami tidak mengira perlunya visa, sebab toh masih sama-sama negara ASEAN. Persediaan Baht kami tidak cukup, mereka tidak mau menerima USD dan ‘money changer’ di sekitar perbatasan tutup karena hari Sabtu, sehingga kami membatalkan niat untuk menyeberang. Sayang sekali, sangat disayangkan bahwa petualangan ke Angkor Wat, sebuah keajaiban dunia abad ke 9 di jantung Kerajaan Kamboja, batal dimulai. Kami hanya ikut tuk-tuk yang mengantar teman kami dari Irlandia itu sampai ke ujung daerah perbatasan dan melihat-lihat situasinya. Kami memutuskan untuk kembali ke Bangkok dan naik bis dari terminal Aranyaprathet yang berangkat sore hari dengan tarif 235 Baht.

 
Bis Laos
 
Kamboja

Bis kami dari Bangkok ke Aranyaprathet, perbatasan Kambija, ngebut dan tetap nyaman.

Di ujung perjalanan, kantor konsulat Kamboja di Aranyaprathet yang tak tertembus visa

Kami sampai Bangkok sudah mulai malam dan turun di terminal bis Mo Chit, melanjutkan petualangan belanja dengan taxi-meter ke Jatucchak atau Chatuchak Weekend Market, sebuah pasar cindera mata dan barang seni yang hanya buka pada akhir minggu. Kami harus menunjukkan tulisan di peta kepada sopir taxi-meter yang tidak dapat berbahasa Inggris sedikitpun, agar paham tujuan kami. Setelah berbelanja barang-barang seni, kami lanjut dengan bis kota ekonomi non AC bertarif 7 Baht untuk menuju stasiun BTS Mo Chit. Di sekitar stasiun, sepanjang jalan dijual beraneka barang kelas pasar kaget, disusun rapi dan dijual oleh orang-orang muda yang energik, sopan dan rapi. Semua penjualnya adalah para wirausahawan muda yang gigih dan layak dicontoh. Kami berlanjut ke Victoria Monument yang sangat ramai karena malam Minggu. Semua yang berjalan-jalan, berjualan, makan maupun bergaya adalah kaum muda yang riang, antusias dan menyenangkan. Tidak nampak kelompok anak atau orang tua dalam kesemrawutan kegiatan tersebut, baik di stasiun, jalan penghubung, maupun Victory Point, tempat janjian dan nongkrong. Kami menikmati menu makan malam mie-sea food goreng dan teh hitam khas Thailand. Sangat lezat, bumbunya nyata, tersaji cepat, dan es batunya tercetak dari pabrik, bukan dipukuli dan terpecah seperti di tanah air, sangat mengenyangkan dan bertarif 98 Baht untuk berdua.

 
Victoria
 
Makan

Victoria Monument yang menjulang ditimpa cahaya lampu, sangat ramai di malam Minggu dan merupakan landmark Bangkok sisi utara

Menu makan malam mie-sea food goreng dan teh hitam khas Thailand, lezat, bumbunya nyata, tersaji cepat, dan es batunya tercetak dari pabrik

Pada hari terakhir, kami mengurus ‘check out’ dari hotel dengan sedikit masalah, berhubung transfer uang dari Jakarta ternyata belum masuk ke rekening hotel, meskipun sudah 3 minggu sebelumnya hal tersebut dilakukan dan kami telah menyerahkan copy transfernya. Dengan wajah memelas di ‘front desk’, bersuara lemah seolah kelaparan saat telephone dengan petugas akuntansi hotel di rumahnya yang sedang libur karena hari Minggu, dan juga mengaku kehabisan bekal, kami diijinkan ‘check out’ dengan hanya meninggalkan alamat dan nomor telephon di tanah air, agar pengurusan ulang transfer dana akomodasi dapat dilakukan. Dengan penuh syukur karena tidak jadi dipaksa badan (disandera), kami naik BTS ke stasiun Ekkamai bertarif 35 Baht. Di sisi tenggara Bangkok kami turun, dilanjutkan dengan naik taxi-meter yang sopirnya tidak bisa berbahasa Inggris sedikitpun, bahkan tidak bisa membaca peta dengan tulisan huruf latin dan simbol terminal bis. Kami kehilangan 100 Baht karena kesialan itu dan diturunkan di sebuah halte bis. Untung ada orang baik yang dapat menjadi penerjemah bagi kami, sehingga sopir taxi-meter yang berikut menjadi paham. Pinggiran timur kota Bangkok yang kami lihat, tetap bersih, teratur dan disiplin. Semua pejalan kaki pasti naik jembatan penyeberangan, tidak ada yang menyeberang sembarangan, meskipun sebenarnya antar jalan tidak dipagar sebagaimana halnya di tanah air.

.

Kami akhirnya menemukan Eastern Bus Terminal di distrik Sukhumvit dengan taxi-meter kedua, bertarif 41 Baht, berfoto sejenak di depan gerbangnya, menitipkan tas bekal (kopor) pakaian dan membeli tiket bis ke Pattaya yang diatur dengan sistem komputer, seharga 128 Baht/orang. Semua bis besar, tinggi, bersih, berpintu resmi hanya sebuah, yaitu di kiri depan saja, untuk masuk keluar penumpang, kondektur, maupun sopir, hampir semua penumpang adalah wisatawan, bis Volvo itu bermesin di belakang, berAC dan berbagasi sangat lapang di bawah ‘cabin’, berkursi 45 buah, full reclyning dengan sandaran kaki dan tempat gelas minum yang praktis, juga dilengkapi pintu darurat di sisi kanan tengah dan dapat dilihat pada www.pattayabus.com. Kami melewati jalan tol layang yang lebar, 3 ruas di setiap sisinya, hampir selama 2 jam dengan kecepatan 80 km/jam, sebuah jalan layang yang sangat panjang sekali. Tahap kedua dilanjutkan dengan sekitar setengah jam perjalanan di jalan biasa, bukan jalan layang, tetapi juga tetap lebar, halus dan teratur sekali.

 
Pattaya
 
Pantai Pattaya

Di gerbang terminal bis Pattaya, saat kami turun dari Bangkok

Pantai Pattaya yang putih, bersih dan nyaman untuk para wisatawan

Pattaya adalah kita wisata, denyutnya sangat terasa, serupa dengan Kuta di Bali sebelum dibom dahulu. Jalan dalam kotanya sangat lebar, paling tidak ada 2 jalur di setiap sisinya, sangat berbeda dengan jalan di Kuta yang sempit, semrawut dan padat. Kami naik tuk-tuk Pattaya, menjelajah kota sebentar, kemudian turun di depan Mike Shopping Mall di bibir pantai berpasir putih dan sangat ramai. Belum banyak taxi-meter di Pattaya, hanya ada tuk-tuk yang berupa mobil ‘double cabin’, umumnya adalah Izusu DMax yang diberi atap, dengan tarif 20 Baht/orang setiap kali turun, sebab untuk saat ini tuk-tuk berjalan tanpa jalur resmi, terserah penumpang mau pergi ke mana. Ternyata di situ juga sudah ada beberapa Toyota Innova yang digunakan sebagai taxi-meter. Kami berjalan-jalan sepanjang pesisir pantai yang berpasir putih dan berombak sangat tenang, melihat para turis berjemur matahari, dipijat punggungnya, pulang menyelam (diving) atau berperahu wisata ke pulau karang di tengah teluk. Kami sempat juga melihat-lihat tempat ‘Regent Marina’ dengan ‘Tiffany’s Show’ dan ‘Alcazar’, melihat gaya PSK yang menjajakan diri secara sangat vulgar, 24 jam penuh. Semua pertunjukan bernuansa sex dan menjadi ciri khas wisata Pattaya.

 
Izusu
 
Pattaya Gerbang

Mobil ‘double cabin’, Izusu DMax yang diberi atap, merupakan tuk-tuk di Pattaya

Gerbang Pattaya di bibir pantai yang ramai oleh wisatawan dari berbagai belahan dunia

Setelah puas makan buah, minum teh hitam Thailand dan berbelanja patung kecil Sang Buddha, kami mengunjungi wihara dengan patung Buddha keemasan yang besar dan di sebelahnya ada klentheng dengan patung Dewi Kwan Im di puncak Bukit Pattaya atau Buddha Hill. Dari situ, kami dapat memandang kedua sisi pantai, dimana Pantai Pattaya terletak di sebelah utara bukit dan Pantai Jomtien terlihat di sebelah selatan bukit. Di sebelah barat terlihat Teluk Siam dan di sebelah timur nampak Pattaya Kart, sirkuit balap yang hingar bingar di sebelah Underwater World. Di samping patung tersebut (Big Buddha Image), tersedia gardu pandang (vontage point) yang dapat digunakan untuk melihat keindahan panoramik seluruh penjuru Pattaya, yaitu di tengah Taman Kerajaan Raja Rama IX (King Rama IX Royal Park).

 
Big Buddha
 
Dewi Kwan Im

Patung Buddha (Big Buddha Image), di gardu pandang (vontage point) Bukit Pattaya

Dewi Kwan Im di Taman Kerajaan Raja Rama IX (King Rama IX Royal Park), dekat gardu pandang

Kami kembali ke terminal bis Pattaya dan membeli tiket pulang. Ternyata ada 3 jalur ke Bangkok, yaitu menuju terminal Mukdahan di barat, Southern di selatan, Morchit di utara dan Eastern di timur kota Bangkok. Kami memilih yang ke Eastern dan tepat 2 jam kami sampai di tujuan. Perjalanan kami lanjutkan dengan berjalan kaki menyeberang jalan menuju Wat That Thong, dekat Ekkamai. Candi itu sangat ramai dengan para pelayat yang berpakaian serba hitam, sebab saat itu sedang ada semuah prosesi kematian. Setelah berfoto sebentar dekat gambar Ratu Sirikit, kami menuju ke bandara dengan menggunakan taxi-meter, bertarif 200Bath. Kami berfoto sebentar di beberapa lokasi, yang menggambarkan kemegahan arsitektur bandara Suvarnabhumi, yang didominasi oleh tiang baja yang melengkung, menyilang dan mendatar, warna silver millenium nan kokoh, beroperasi 24 jam penuh, dan masih sangat ramai di pagi buta sekalipun. Kami segera beristirahat di kursi ruang tunggu ‘check in’, sebab kami 3 jam lebih awal datang, dibanding petugas darat maskapai Garuda Indonesia.

 
Ratu
 
Bandara lagi

Gambar Ratu Sirikit di gerbang Wat That Thong, dekat Ekkamai yang sedang ramai oleh para pelayat dan pejalan kaki.

Arsitektur bandara Suvarnabhumi, yang didominasi oleh tiang baja yang melengkung, menyilang dan mendatar, warna silver millenium nan kokoh,

Kedisiplinan, kerja keras, toleran dan santun, telah mengantar Thailand menjadi salah satu negara yang berkembang cukup pesat, pantas dikunjungi dan tentu saja, layak dicontoh. Dengan bepergian secara mandiri, kami dapat berpetualang, nikmat meski juga berdebar, tetapi berhemat cukup banyak, sebab kami hanya menghabiskan seperempat dari biaya paket wisata yang ditawarkan. Sampai ketemu dalam petualangan selanjutnya.

sekian

di Ruang Tunggu sektor G Suvarnabhumi International Airport,

menjelang tengah malam, Minggu, 31 Agustus 2008

*) pelancong Jawa dengan dana terbatas

By Fx Wikan Indrarto

Dokter Fx Wikan Indrarto

Leave a Reply