Categories
dokter Healthy Life Jalan-jalan

2017 Menerawang Singkawang dan Menyibak Pontianak

Patung Naga di tengah kota Singkawang, Kalimantan Barat

TERAWANG  SINGKAWANG

fx. wikan indrarto

Perjalanan menerawang dan membayangkan nama legendaris kota Singkawang di Kalimantan Barat, dimulai dengan penerbangan dalam perut  pesawat Xpressair Boeing 737-300 XN830, pada hari Sabtu, 11 Februari 2017. Pesawat terbang tinggi dari Jogjakarta pk. 11.30 dan mendarat di Bandara Internasional Supadio di Pontianak pk. 12.50.

Mendarat dengan selamat di Bandara Internasional Supadio di Pontianak

.

Kombes Pol. dr. Sugeng Krismawanto, SpOT, yang bertugas di RS Bayangkara Polda Kalbar, Pontianak menjemput kami dan menjadi tuan rumah yang luar biasa baik

Perjalanan darat dari Pontianak ke Singkawang sejauh 152 km selama sekitar 3,5 jam, dilakukan dengan mobil perkasa kabin ganda Ford Ranger 4×4 D2 atas kebaikan hati sejawat Kombes dr. Sugeng Krismawanto, SpOT, yang bertugas di RS Bayangkara Polda Kalbar, Pontianak. Selepas bandara, kami mampir sebentar di Tugu Katulistiwa atau Equator Monument yang berada di Jl. Khatulistiwa, Pontianak Utara, Kalimantan Barat. Lokasinya berada sekitar 3 km dari pusat Kota Pontianak, ke arah kota Mempawah.

.

Tugu katulistiwa pertama di Pontianak dibangun tahun 1928 berbentuk tonggak dengan anak panah.

Tugu yang menjadi salah satu ikon wisata Kota Pontianak ini, berawal pada tahun 1941 saat ditemukan laporan Bijdragen tot de geographie dari Chef Van den topographischen dienst in Nederlandsch- Indië : Den 31 sten Maart 1928. Pada awalnya tugu pertama dibangun tahun 1928 berbentuk tonggak dengan anak panah. Pada tahun 1930 disempurnakan, berbentuk tonggak dengan lingkarang dan anak panah, serta tahun 1938 dibangun kembali dengan penyempurnaan oleh opzicter / architech Ir. Silaban. Tugu asli tersebut dapat dilihat pada bagian dalam monumen sekarang. Pada tahun 1990, kembali Tugu Khatulistiwa tersebut direnovasi dengan pembuatan kubah besar untuk melindungi tugu asli, serta pembuatan duplikat tugu dengan ukuran lima kali lebih besar dari tugu yang asli. Peresmiannya dilakukan pada tanggal 21 September 1991.

.

Tugu Katulistiwa di Pontianak pada tahun 1938 dibangun kembali dengan penyempurnaan oleh opzicter / architech Ir. Silaban.

Setelah puas menikmati kegagahan Tugu Khatulistiwa dan membayangkan indahnya belahan bumi bulat karena garis imajiner tersebut, kami melanjutkan perjalanan menuju ke Singkawang. Kami mampir minum teh Prenjak yang bercitarasa khas, lokal dan harum di rest area Sei Pinyuh, kemudian menyusuri jalur jalan cabang trans Kalimantan melewati Kota Mempawah, ibukota Kabupaten Mempawah. Selajutnya cabang jalan trans Kalimantan yang bagus tersebut, menyusuri garis pantai menuju ke Kota Singkawang. Kota yang juga disebut San Keuw Jong ini dikelilingi oleh pegunungan Pasi, Poteng, dan Sakok. Nama Singkawang berasal dari bahasa Hakka, San khew jong yang mengacu pada sebuah kota di bukit dekat laut.

.

Gerbang Kota Singkawang Kalimantan Barat, Bumi Bertuah Gayung Bersambut

Awalnya Singkawang merupakan sebuah desa, bagian dari wilayah kesultanan Sambas. Desa Singkawang digunakan sebagai tempat singgah para pedagang dan penambang emas dari Monterado, di tengah hutan lebat Borneo. Awal kedatangan dan alasan mengapa etnis Tionghoa bermigrasi dari daratan Tiongkok ke Kalimantan Barat dapat ditelusuri di Monterado, sebuah desa kecil di Kabupaten Bengkayang. Inilah sebuah kawasan yang pada tahun 1776 sudah sangat termasyhur dengan kekuatan kongsi pertambangan emasnya milik orang-orang Tionghoa. Sayangnya, jejak peradaban tambang kuno itu kini sudah hancur karena terus-menerus digempur pertambangan emas tradisional.

.

Para penambang dan pedagang yang kebanyakan berasal dari negeri China, sebelum mereka menuju Monterado terlebih dahulu beristirahat di Singkawang, sedangkan para penambang emas di Monterado yang sudah lama di tengah hutan, sering beristirahat di Singkawang untuk melepas kepenatannya. Kemudian Singkawang berkembang sebagai tempat transit pengangkutan hasil tambang emas (serbuk emas). Waktu itu, mereka (orang Tionghoa) menyebut Singkawang dengan kata San Keuw Jong (Bahasa Hakka), mereka berasumsi dari sisi geografis, bahwa Singkawang yang berbatasan langsung dengan laut Natuna serta terdapat pengunungan dan sungai, dimana airnya mengalir dari pegunungan melalui sungai sampai ke muara laut. Kota Singkawang merupakan salah satu pecinan (Chinatown) di Indonesia, karena mayoritas penduduknya adalah orang Hakka (dengan persentase sekitar 42%) dan selebihnya adalah orang Melayu, Dayak, Tio Ciu, Jawa dan pendatang lainnya. Kota Singkawang memiliki wilayah datar dan sebagian besar merupakan dataran rendah antara 50 meter s/d 100 meter di atas permukaan laut.

.

Klenteng Tri Dharma Bumi Raya di Singkawang, Kalimantan Barat

Obsesi perjalanan kami sebenarnya adalah keinginan besar untuk menyaksikan kegiatan Cap Go Meh yang paling terkenal se Indonesia, pada 15 hari setelah Tahun Baru Imlek. Seperti halnya bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia lainnya, perayaan Imlek untuk menyambut tahun baru China merupakan tradisi termegah yang selalu dirayakan seluruh lapisan masyarakat Singkawang setiap tahun. Bagi mereka, perayaan Imlek tidak ada bedanya dengan masyarakat Indonesia lainnya ketika merayakan Idul Fitri atau Natal.

.

Puncak acara Imlek atau Cap Go Meh ini dimaksud untuk menangkal gangguan atau kesialan pada masa mendatang. Pengusiran roh-roh jahat dan peniadaan kesialan dalam Cap Go Meh disimbolkan dalam pertunjukan Tatung di Singkawang, yang tidak ada di daerah lain. Tatung adalah media utama Cap Go Meh. Atraksi Tatung dipenuhi dengan mistik dan menegangkan, karena banyak orang kesurupan dan orang-orang inilah yang disebut Tatung. Upacara pemanggilan tatung dipimpin oleh pendeta yang sengaja mendatangkan roh orang yang sudah meninggal untuk merasuki Tatung. Roh-roh yang dipanggil diyakini sebagai roh-roh baik yang mampu menangkal roh jahat yang hendak mengganggu keharmonisan hidup masyarakat. Roh-roh yang dipanggil untuk dirasukkan ke dalam Tatung diyakini merupakan para tokoh pahlawan dalam legenda Tiongkok, seperti panglima perang, hakim, sastrawan, pangeran, pelacur yang sudah bertobat dan orang suci lainnya. Roh-roh yang dipanggil dapat merasuki siapa saja, tergantung apakah para pemeran Tatung memenuhi syarat dalam tahapan yang ditentukan pendeta. Para Tatung diwajibkan berpuasa selama tiga hari sebelum hari perayaan yang maksudnya agar mereka berada dalam keadaan suci sebelum perayaan.

.

Vihara Tri Dharma Bumi Raya di Pusat Kota Singkawang, Kalimantan Barat

Dalam atraksi Tatung yang sudah dirasuki roh orang meninggal bertingkah aneh, ada yang menginjak-injak sebilah mata pedang atau pisau, ada pula yang menancapkan kawat-kawat baja runcing ke pipi kanan hingga menembus pipi kiri. Anehnya para Tatung itu sedikit pun tidak tergores atau terluka. Beberapa Tatung yang lain dengan lahapnya memakan hewan atau ayam hidup-hidup lalu meminum darahnya yang masih segar dan mentah. Di Singkawang banyak orang Dayak yang juga turut serta menjadi Tatung, mereka terdorong berpartisipasi karena ritual Tatung mirip upacara adat Dayak.

Setelah puas menikmati semua atraksi, kami segera berswafoto di gerbang Vihara Tridharma Bumi Raya, pusat aktivitas Cap Go Meh 2017 di Singkawang, Kalbar, yang sangat banyak pengunjung. Selanjutnya kami menuju ke sebuah  per4an jalan di tengah kota Singkawang, yang dilengkapi dengan icon patung naga emas yang melilit tugu di tengah jalan. Disertai banyak pengunjung lainnya, kami berswafoto di tengah kepadatan arus lalu lintas. Kunjungan kuliner Sintawang yang utama adalah Bakso Sapi Bakmi Ayam 68, yang terkenal sejak 1977 di pusat kota Singkawang, Kalbar. Luar biasa enak, meski saat makan harus berhimpitan dengan para pelahap lainnya, termasuk warga Malaysia, terkait sempitnya ruangan.

Bis Eva, bis antar negara dari Malaysia, tujuan Kuching – Pontianak PP, saat bis diparkir di rest area Sei Pinyuh,

Setelah itu, kami kembali ke kota Pontianak menyusuri cabang jalur jalan trans Kalimantan yang sebelumnya kami lewati. Saat kami kembali minum kopi kental, kami sempat berswafoto dengan bis Eva, bis antar negara dari Malaysia, tujuan Kuching – Pontianak PP, saat bis diparkir di rest area Sei Pinyuh, dekat Mempawah ibukota Kabupaten Kubu Raya, Kalbar. Sabtu, 11 Februari 2017 malam itu kami tidur nyenyak setelah obsesi menerawang Singkawang terwujud. Kamu terkapar dalam dingin malam di pusat kota Pontianak, sebelum mengikuti Simposium Nasional Ikatan Dokter Anak Indonesia (SINAS IDAI) Kalbar 2017.

Mie Bakso Khas Singkawang yang legendaris

MENYIBAK  PONTIANAK

fx. wikan indrarto

Minggu, 12 Februari 2017 kami dibangunkan oleh sinar matahari pagi di kota Pontianak, ibukota provinsi Kalimantan Barat. Kota ini dikenal sebagai Kota Khatulistiwa karena dilalui garis khatulistiwa. Selain itu, Kota Pontianak dilalui oleh Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Kedua sungai itu diabadaikan dalam lambang Kota Pontianak.

Nama Pontianak yang berasal dari bahasa Melayu yang dipercaya ada kaitannya dengan kisah Sultan Syarif Abdurrahman yang sering diganggu oleh hantu Kuntilanak ketika dia menyusuri Sungai Kapuas. Menurut ceritanya, Sultan Syarif Abdurrahman terpaksa melepaskan tembakan meriam untuk mengusir hantu itu sekaligus menandakan di mana meriam itu jatuh, maka di sanalah wilayah kesultanannya didirikan. Peluru meriam itu jatuh di dekat persimpang Sungai Kapuas dan Sungai Landak, yang kini dikenal dengan nama Kampung Beting.

.

Kota Pontianak didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie pada hari Rabu, 23 Oktober 1771 (14 Rajab 1185 H) yang ditandai dengan membuka hutan di persimpangan Sungai Landak, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Kapuas Besar untuk mendirikan balai dan rumah sebagai tempat tinggal. Pada tahun 1778 (1192 H), Syarif Abdurrahman dikukuhkan menjadi Sultan Pontianak. Letak pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinya Masjid Jami’ (kini bernama Masjid Sultan Syarif Abdurrahman) dan Istana Kadariah yang sekarang terletak di Kelurahan Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak Timur. Pada tahun 1778, kolonialis Belanda dari Batavia memasuki Pontianak dengan dipimpin oleh Willem Ardinpola. Belanda saat itu menempati daerah di seberang istana kesultanan yang kini dikenal dengan daerah Tanah Seribu atau Verkendepaal.

Setelah kemerdekaan Indonesia, walikota pertama yang ditetapkan oleh Pemerintah Kerajaan Pontianak adalah Ibu Rohana Muthalib. Ia adalah seorang wanita pertama yang menjadi walikota Pontianak. Penduduk kota Pontianak didominasi etnis Melayu dan Tionghoa. Selain itu terdapat pula etnis Jawa, Madura, Bugis, Dayak, Arab, Sunda, Banjar, Batak, Minangkabau dan lain-lain.

.

Yang menarik perhatian kami, adalah layanan angkutan darat ke luar kota dan luar negeri, yang dilayani di Terminal Batulayang, yaitu bus penumpang antar negara tujuan ke Kuching, Malaysia dan ke Brunei. Bus ini disediakan oleh berbagai penyedia layanan, termasuk DAMRI. Transportasi darat ke Malaysia menjadi mungkin melalui Jalan Lintas Kalimantan. Layanan imigrasi Indonesia-Malaysia dilaksanakan di Entikong, Kabupaten Sanggau.

Taman Digulis di pusat kota Pontianak, Kalimantan Barat

Begitu pagi itu kami siap, lansung jalan ke Monumen Digulis yang diresmikan oleh Gubernur Kalimantan Barat H. Soedjiman pada 10 November 1987. Pada awalnya berbentuk sebelas tonggak menyerupai bambu runcing yang berwarna kuning polos. Pada tahun 1995, monumen ini dicat ulang dengan warna merah-putih. Monumen ini didirikan sebagai peringatan atas perjuangan 11 (sebelas) tokoh Sarekat Islam di Kalimantan Barat, yang dibuang ke Boven Digoel, Irian Barat karena khawatir pergerakan mereka akan memicu pemberontakan terhadap pemerintah Hindia Belanda di Kalimantan. Tiga dari sebelas tokoh tersebut meninggal pada saat pembuangan di Boven Digoel dan lima di antaranya wafat dalam Peristiwa Mandor. Nama-nama kesebelas tokoh tersebut kini diabadikan juga sebagai nama jalan di Kota Pontianak. Kesebelas pejuang itu antara lain: Achmad Marzuki, asal Pontianak, meninggal karena sakit dan dimakamkan di makam keluarga, Achmad Su’ud bin Bilal Achmad, asal Ngabang, wafat dalam Peristiwa Mandor, dan Gusti Djohan Idrus, asal Ngabang, wafat dalam pembuangan di Boven Digoel. Selain itu, juga Gusti Hamzah, asal Ketapang, wafat dalam Peristiwa Mandor, Gusti Moehammad Situt Machmud, asal gabang, wafat dalam Peristiwa Mandor, Gusti Soeloeng Lelanang, asal Ngabang, wafat dalam Peristiwa Mandor, Jeranding Sari Sawang Amasundin alias Jeranding Abdurrahman, asal Melapi, Kapuas Hulu, meninggal karena sakit di Putussibau,  Haji Rais bin H. Abdurahman, asal Ngabang, wafat dalam Peristiwa Mandor, dan Moehammad Hambal alias Bung Tambal, asal Ngabang, wafat dalam pembuangan di Boven Digoel. Juga Moehammad Sohor, asal Ngabang, wafat dalam pembuangan di Boven Digoel, dan Ya’ Moehammad Sabran, asal Ngabang, meninggal karena sakit.

Setelah puas berswafoto dan menikmati Monumen Digulis yang dilengkapi Taman Terbuka Hijua Digulis, persis di depan gerbang masuk Universitas Tanjung Pura (Untan), kami melanjutkan menyibak Pontianak.

Tujuan kami berikutnya adalah mengikuti misa kudus hari Minggi di Gereja Katedral St. Yusuf Pontianak. Sejarah gereja Katolik pertama sebagai pusat paroki di Pontianak, dimulai pada tahun 1908 oleh Prefek Apostolik Dutch Borneo Mgr. Pacificus Bos, OFMCap, dengan pembelian tanah untuk membangun gereja, pastoran, rumah yatim-piatu, sekolah, pemakaman, dan susteran. Kemudian gereja tersebut diberkati pada 9 Desember 1909, sekaligus berdirinya paroki secara resmi. Menjadi gereja katedral sejak 17 November 1918 seiring dengan ditahbiskannya Mgr. Jan Pacificus Bos, OFMCap menjadi Uskup Tituler Capitolias, merangkap Vikaris Apostolik Dutch Borneo, dan paroki berubah menjadi Paroki Katedral Pontianak.

Katedral Pontianak yang tinggi, megah, menjulang dan artistik

Bangunan gereja tersebut dirubuhkan pada tahun 2011 untuk dibangun gereja baru yang berkapasitas 3.000 orang. Gereja St. Yoseph yang baru, dibangun dengan perpaduan arsitektur Romawi dan Timur Tengah. Ornamen bernuansa Dayak mendominasi eksterior bangunan, dan interiornya didominasi nuansa khas Tionghoa berpadu dengan gaya klasik Eropa. Aarsitek yang merancang eksterior gereja baru, Ir. Ricky, adalah juga arsitek Masjid Raya Singkawang, yang semakin memperkuat kesan Kalbar yang multi etnis, tempat umat berbagai agama hidup berdampingan. Gubernur Kalbar Drs. Cornelis MH meresmikan Gereja Katedral St. Yoseph yang baru pada 19 Desember 2014, walaupun pembangunan belum terselesaikan sepenuhnya, khususnya bagian eksterior dan halaman, agar dapat digunakan untuk Misa Natal 2014.

Gubernur Kalbar Drs. Cornelis MH meresmikan Gereja Katedral St. Yoseph yang penuh ornamen indah pada 19 Desember 2014

Minggu, 12 Februari 2017 kami mengikuti misa kudus konselebrasi oleh 5 orang pastor dan dipimpin oleh Uskup Agung Pontianak Mgr. Agustinus Agus. Kami berdoa sangat khusuk di gereja yang oleh Gubernur Cornelis diklaim bahwa Gereja Katedral Pontianak yang sekarang, adalah bangunan gereja Katolik terbesar di Asia Tenggara.

Gereja Katedral Pontianak Kalimantan Barat sekarang merupakan bangunan gereja Katolik terbesar di Asia Tenggara.

Selanjutnya kami menyibak Pontianak dengan perjalanan ke replika Rumah Betang, rumah panjang adat Dayak yang berada di Jalan Jendral Sutoyo, Pontianak, tepat di sebelah Perpustakaan Daerah dan Kantor Polresta. Letaknya juga tidak jauh dari pusat kota dan hanya berjarak 100 meter dari rumah dinas Gubernur Kalimantan Barat. Rumah Betang sebenarnya merupakan pusat kegiatan dan masyarakat suku Dayak di pedalaman Kalimantan. Rumah ini terbuat dari kayu ulin baik lantai, atap maupun dindingnya. Struktur rumah ini memiliki kayu penyangga di bagian bawah rumah dengan ukuran yang sangat besar, hampir sepelukan lengan orang dewasa. Rumah ini didesign memanjang maka tak jarang banyak yang menyebutnya rumah panjang.

.

Bergaya di tangga replika rumah betang, karena rumah adat yang besar sesungguhnya berada di hulu sungai Kapuas.

Tiang penyangga yang ada di bawah rumah memiliki tinggi sekitar 2 meter, sehingga bisa dilewati tanpa harus menunduk di bawahnya. Bentuk panggung dari rumah ini diadaptasi dari letak rumah betang sesungguhnya yang berada di hulu sungai. Sehingga untuk mengantisipasi keadaan jika air pasang dan menyebabkan banjir. Tak seperti rumah kebanyakkan yang tiap satu rumah diisi satu keluarga, rumah betang ini, jika pada rumah aslinya menjadi rumah tinggal untuk lebih dari satu kepala keluarga, bahkan pada jaman dulu ditempati oleh 60 kepala keluarga. Pembagian tempat tiap keluarga, dibedakan berdasarkan sekat-sekat yang menyerupai kamar di dalam rumah betang ini. Kamar yang dibatasi oleh sekat untuk replika rumah betang ini berjumlah delapan buah kamar.

Selanjutnya kami menyibak Pontianak dengan inti kegiatan, yaitu mengikuti Simposium Nasional Ikatan Dokter Indonesia (Sinas IDAI) di Hotel Golden Tulip Pontianak, Kalbar dengan tema ‘Integrated Management of Sick Children’. Acara seremonial yang dibuka dengan sambutan Gubernur Kalbar ini, menghadirkan para guru besar sebagai pembicara, termasuk Prof. Tina Tan, Prof. Sri Rejeki Syaraswati dan Prof. Hardiono Pusponegoro.

.

Pada sesi dengan topik ‘The Experience in Preventing and Controlling Antibiotic Resistance’, Prof. Tina Tan dari American Academy of Pediatrics (AAP) menjelaskan bahwa meskipun multifaktorial, tetapi penggunaan antibiotik yang tidak tepat pada manusia dan hewan, adalah faktor penyebab tinggal yang terbanyak (single greatest driving factor). Pengembangan strategi yang terbaik untuk mengatasinya meliputi vaksinasi. Selanjutnya pada topik ‘General Principles of Prudent Use of Antibiotics’,  Prof. Sri Rezeki Hadinegoro dari Jakarta menekankan bahwa RS wajib menyediakan panduan penggunaan antibiotik untuk terapi empiris. Dokter wajib melakukan penilaian keberhasilan secara klinis dan laboratoris, dilanjutkan dengan ‘streamlining’ atau ‘de-escalation therapy’. Hal ini untuk mengurangi paparan antibiotik spektrum luas.

Selanjutnya pada topik ‘When Antiviral Drug Needs To Be Given’, dr. DEAH Hapsari, SpA (K) dari Semarang membahas tentang dampak obat antiviral yang juga dapat merusak sel hospes, dimana virus tsb berada. Oleh sebab itu, obat antivirus tidak direkomendasikan pada ‘self limiting disease’ dan penyakit virus tidak berat. Obat antivirus hanya direkomendasikan pada HIV/AIDS, neonatal herpes simpleks, CMV dengan kelainan SSP dan infeksi mononukleosis saja. Pada topik ‘Autisme, ADHD atau keduanya terjadi bersamaan’, Prof. Hardiono Pusponegoro dari Jakarta menekankan bahwa untuk membedakannya, dapat menggunakan AMSE (Autism Mental Status Exam) pada anak ADHD, dengan nilai lebih dari 5 juga mengalami ASD (Autism Spectrum Disorder). AMSE meliputi observasi kontak mata, minat terhadap orang lain, kemampuan menunjuk, bahasa, pragmatik bahasa, perilaku repetitif, preokupasi dan sensitivitas yang tidak wajar.

.

Pada topik ‘Deteksi Dini Gangguan Perkembangan Motorik pada Anak’, Dr. dr. Setyo Handryastuti, SpA (K) dari Jakarta menjelaskan perlunya pemeriksaan lebih cermat pada bayi dengan riwayat prematuritas, asfiksia berat, dan paska infeksi SSP. Pada topik ‘Skor PELOD 2 Sebagai Penanda Disfungsi Organ pada Anak dengan Sepsis’, Dr. dr. Rismala Dewi, SpA (K) dari Jakarta mengingatkan tentang perlunya sistem skoring untuk luaran klinis sepsis, yaitu Pediatric Logostic Organ Dysfunction Score (PELOD). Hal ini karena sistem Surviving Sepsis Campaign (SSC) terlalu sensitif (96,9%), kurang spesifik (58,3%), dan mengakibatkan tingginya resistensi antibiotik. Sebaliknya, PELOD lebih sederhana, mudah dan dapat dilakukan berdasarkan data pemeriksaan pasien pada saat masuk RS saja.

Topik selanjutnya adalah ‘Tata Laksana Cairan dan Elektrolit pada Anak dengan Sakit Kritis’ oleh Dr. Rismala Dewi dari Jakarta menekankan bahwa tata laksana tersebut mempunyai dampak yang cukup besar terhadap lama, berat dan luaran klinis anak sakit kritis. Status cairan seperti hipovolemia dan dehidrasi, serta gangguan kadar glukosa dan elektrolit merupakan tantangan bagi dokter, dalam pengelolaan pasien anak sakit kritis. Pada topik ‘Pemeriksaan Diagnostik dan Tatalaksana Terkini untuk Demam Tifoid’,  oleh dr. Mulya Rahma  Karyanti, SpA (K) dari Jakarta mengingatkan pentingnya Rapid Diagnostik Test (RDT), sebagai pemeriksaan penunjang medis yang tepat dan hasilnya cepat, pada kecurigaan demam tyfoid.  Pemeriksaan tersebut harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan biakan empedu sebagai baju emas demam tifoid. Pemeriksaan Widal satu kali tidak direkomendasikan. Antibiotik kloramfenikol merupakan lini pertama dan seftriakson lini kedua untuk Demam Tifoid.

.

Sinas IDAI Kalbar 2017 hari I ditutup dengan acara ‘wellcome dinner’ di Kartika Hotel & Restaurant, yang berlokasi persis di depan Kantor Walikota Pontianak, di tepi Sungai Kapuas yang lebar, dalam dan berarus tenang. Setelah presentasi oleh Dr. dr. Rini Sekartini, SpA (K) dengan topik ‘Factors Affecting Early Childhood Growth and Development’, tarian kolabirasi etnis China, Dayak dan Melayu, kami menikmati makan malam bersama, di atas kapal dalam ‘Kapuas River Cruise’. Kapal melaju melawan arus sungai sampai melewati Jembatan Kapuas yang gagah menjulang, kemudian berbalik arah sampai Pelabuhan Pelindo dan kembali ke dermaga Kartika. Malam itu kami tidur nyenyak di kamar 301 Hotel Borneo di Jl. Merdeka 428 Pontianak, Kalbar, agar hari berikutnya masih tetap bugar untuk mengikuti Simposium Nasional Ikatan Dokter Anak Indonesia  (Sinas IDAI) 2017 hari kedua.

.

MENYIBAK  PONTIANAK (lanjutan)

fx. wikan indrarto

Senin, 13 Februari 2017 pagi yang cerah, sebelum kami mengikuti Simposium Nasional Ikatan Dokter Anak Indonesia  (Sinas IDAI), kami  sempatkan untuk mengunjungi Istana Kadriah, yang merupakan awal mula sejarah Pontianak. Istana Kadriah Pontianak dibangun pada tahun 1771, bersamaan dengan pembangunan Masjid Abdurrahman. Pendirian istana ini dilakukan setelah selesainya pembukaan daerah baru, yang dinamai Pontianak. Jika dirunut dari awal, kisahnya bermula ketika seorang penyebar agama Islam dari Jawa keturunan Arab, al-Habib Husein meninggalkan kediamannya di Semarang pada tahun 1733, menuju Kerajaan Matan, Kalimantan Barat.

Dalam perkembangannya, kemudian terjadi perselisihan antara Sultan dengan al-Habib Husein. Akhirnya, al-Habib memutuskan untuk meninggalkan Kerajaan Matan, pindah dan bermukim di Kerajaan Mempawah hingga ia meninggal dunia. Setelah al-Habib Husein meninggal dunia, posisinya digantikan oleh anaknya, Syarif Abdurrahman. Akan tetapi, Syarif Abdurrahman kemudian memutuskan pindah dari Mempawah pada tahun 1771, dengan maksud untuk menyebarkan agama Islam. Bersama rombongan yang berjumlah 14 buah perahu, Abdurrahman menyusuri Sungai Kapuas ke arah hulu. Pada 23 Oktober 1771 M, rombongan Abdurrahman sampai di muara persimpangan Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Di daerah yang berbentuk tanjung ini, mereka naik ke darat, menebas hutan belantara untuk dijadikan daerah pemukiman baru yang kemudian dinamakan Pontianak. Di daerah baru tersebut, segera berdiri sebuah kerajaan baru Kerajaan Pontianak. Kemudian dibangun sebuah masjid dan istana untuk sultan. Masjid tersebut adalah Masjid Abdurrahman, dan istananya adalah Istana Kadriah.

Masjid Abdurrahman dan Istana Kadriah dari jaman Kesultanan Pontianak, Kalimantan Barat.

Pada tahun 1952 Kesultanan Pontianak bergabung dengan NKRI dan keberadaan Istana Kadriah tak lebih dari simbol yang tidak memiliki peran apa-apa. Lokasi istana berdekatan dengan Masjid Abdurrahman, hanya beberapa puluh meter. Lokasi yang berdekatan ini menunjukkan bahwa, istana dan masjid merupakan satu kesatuan utuh dalam sistem pemerintahan di Kesultanan Pontianak. Lokasi istana ini berada di Kelurahan Dalam Bugis, Pontianak, di tepi 2 arus sungai besar. Konstruksi Istana Kadriah hampir semuanya dari kayu besi atau kayu ulin, sehingga bisa bertahan lama. Bangunan istana memiliki kolong yang agak tinggi. Konstruksi ini merupakan bagian dari tradisi lokal Kalimantan. Istana ini terdiri dari empat lantai dengan anjungan yang berorientasi ke sungai. Bagian lantai utama berdenah segi empat, dikelilingi oleh serambi. Keberadaan serambi yang mengelilingi ruang lantai utama ini merupakan bagian dari ciri khas bangunan tropis. Serambi tersebut berfungsi sebagai ruang peralihan dari bagian luar ke dalam, dan juga untuk mencegah cahaya matahari ataupun hujan masuk secara langsung ke dalam ruangan. Setelah puas berswafoto di tempat yang sangay bersejar tersebut, selanjutnya kami meneruskan menyibak Pontianak.

Tujauan kami selanjutnya adalah Aloe Vera Center atau Pusat Pengembangan Lidah Buaya. Tanaman lidah buaya tak hanya bermanfaat untuk perawatan dan kesuburan rambut anda. Lidah buaya ternyata juga nikmat disantap sebagai minuman segar yang berkhasiat bagi kesehatan. Tanaman ini relatif mudah ditemui di Pontianak, Kalimantan Barat. Biasanya para petani menjual pelepah lidah buaya dengan harga seribu rupiah perkilogram.

Tidak hanya itu, seorang tabib atau dokter dari zaman Yunani kuno yang bernama Dioscordes, menyebutkan jika salah satu manfaat lidah buaya yakni memiliki khasiat untuk mengobati berbagai macam jenis penyakit. Misalnya radang tenggorokan, bisul, rambut rontok, wasir, dan kulit memar, pecah-pecah serta lecet. Lidah buaya ternyata dapat dijadikan minuman yang sangat nikmat. Caranya relatif mudah. Daun lidah buaya dibelah dan diambil dagingnya kemudian dipotong-potong menjadi kecil-kecil. Untuk menghilangkan lendirnya, lidah buaya dicuci lalu direbus hingga matang agar rasa getirnya hilang. Setelah itu potongan lidah buaya dicampur air gula atau sirup atau es batu. Maka jadilah minuman segar lidah buaya. Setelah melepas dahaga dengan segelas es lidah buaya, kami segera kembali ke arena Sinas IDAI 2017.

Di Hotel Golden Tulip Pontianak, tema simposium adalah ‘Integrated Management of Duck Children’. Pada topik ‘Konsep Baru Sepsis pada Anak’ oleh dr. Antonius Pudjiadi, SpA (K) dari Jakarta menjelaskan bahwa sepsis saat ini masih dianggap sebagai reaksi inflamasi sistemik yang disebabkan oleh infeksi, sejak tahun 1991 (Surviving Sepsis Campaign). Oleh karena pemikiran ini terlalu sensitif dan kurang spesifik, sehingga mengakibatkan penggunaan antibiotik berlebihan. Dengan demikian, seharusnya saat ini diperlukan tambahan bukti disfungai organ tubuh berdasarkan berbagai pemeriksaan klinis. Pada topik ‘Ensefalitis pada Anak’, dr. Iskandar Syarif, SpA (K) dari Padang menjelaskan tentang inflamasi jaringan otak karena infeksi, paska infeksi ataupun autoimun yang cukup sulit didiagnosis. Pemeriksaan PCR cairan otak adalah diagnosis emas untuk ensefalitis. Penggunaan obat imunomodulator sedang diteliti potensiny a, karena terapi baku belum memberikan luaran yang optimal.

Selanjutnya kami mendengarkan presentasi dengan topik ‘Pendekatan Diagnosis dan Tata laksana Kejang Neonatus’ oleh Dr. dr. Setyo Handryastuti, SpA (K), yang menjelaskan bahwa kejang merupakan kedaruratan medis paling sering pada neonatus. Oleh karena gambaran klinisnya samar dan berbeda dengan anak, maka wajib dipastikan tentang adanya kejang tersebut. Etiologinya didasarkan pada riwayat kehamilan dan persalinan. Obat anti kejang yang efektif diberikan secepatnya, pada kejang dengan lebih 3 kali dalam 1 jam atau berlangsung lebih dari 3 menit dan dihentikan setelah kejang terkontrol secara klinis. Setelah itu adalah presentasi denhan topik ‘Antibiotic Use in Children With Febrile Neutropenia’ oleh dr. DEAH Hapsari, SpA (K) yang menjelaskan bahwa kasus demam netropeni sering terjadi pada anak dengan keganasan hematologi yang mendapat kemoterapi. Antibitok harus digunakan setepat mungkin untuk mencegah timbulnya resistensi kuman, karena sebagian besar kejadian demam netropeni, tidak disebabkan oleh infeksi. Kami tidak lagi mengikuti berbagai presentasi berikutnya, karena kami akan melanjutkan menyibak Pontianak.

Tujuan kami selanjutnya adalah Museum Negeri Provinsi Kalimantan Barat di Jl. Jenderal A. Yani, Pontianak, yang dirintis sejak tahun 1974 oleh Kantor Wilayah Depdikbud Provinsi Kalimantan Barat, melalui Proyek Rehabilitasi dan Perluasan Permuseuman Kalimantan Barat. Fungsionalisasinya diresmikan pada tanggal 4 Oktober 1983 oleh Direktur Jenderal Kebudayaan Depdikbud, dan sejak itu Museum Provinsi Kalimantan Barat dibuka untuk umum.

Museum ini menyimpan di antaranya koleksi Geografi dan Geologika berupa peta dan jenis batu-batuan; koleksi biologika, arkeologika, historika, numismatika, dan keramologika berupa tempayan, piring, mangkuk, sendok, dll. yang berasal dari China, Vietnam, Jepang, Eropa, dan keramik lokal Singkawang. Selain menampilkan koleksi yang ada di Ruangan Pameran Tetap I, Museum Provinsi Kalimantan Barat juga menampilkan koleksi replika dan miniatur yang berada di plaza Jangkar kapal dagang asing. Setelah terkagum membayangkan kehebatan bahari nenek moyang, kami melanjutkan proses menyibak Pontianak dengan menyeberangi Sungai Kapuas, sungai terpanjang di seluruh Indonesia dan membelah kota Pontianak.

Rumah makan di pinggir Sungai Kapuas di Pontianak, Kalimantan Barat

Kami menyeberangi Jembatan Kapuas I yang terletak di pusat Kota Pontianak dengan panjang 420 meter dan lebar 6 meter. Jembatan Kapuas I yang melengkung gagah seperti busur panah ini, merupakan penghubung pusat Kota Pontianak dengan beberapa kabupaten lainnya di Kalbar. Jembatan ini dibangun pada tahun 1980 dan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tahun 1982. Jembatan yang dibangun dengan dana Rp 6,06 miliar ini pada awalnya difungsikan sebagai jalan tol yang berarti setiap pengguna jembatan ini dipungut tarif tol. Namun karena jembatan ini dianggap sudah menjadi jalur utama dan tidak ada jalur alternatifnya, pungutan tarif tol dihapus pada pertengahan 1990-an dan jembatan ini bebas dilalui pengendara. Akibat terus meningkatnya volume kendaraan yang melintasi jembatan Kapuas I, maka pemerintah mewujudkan pembangunan jembatan Kapuas II yang berada di Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya. Sempat terjadi peristiwa yang menggemparkan warga Kota Pontianak pada tanggal 30 Agustus 2013, yakni fender tiang utama jembatan Kapuas I ditabrak tongkang pengangkut bauksit, sehingga mengakibatkan bergesarnya sambungan jembatan di bagian tengah sekitar 10 cm. Akibat kejadian itu arus kendaraan terpaksa diblokir dan dialihkan ke jembatan Kapuas II di Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya guna menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan hingga proses pemeriksaan dan perbaikan jembatan selesai.

Menemui dr. Titik Nurwahyuni, SpS, MMR yang pernah menjabat sebagai Direktur RS St. Antonius di Pontianak dan kakak kelas yang baik saat kuliah di FK UGM bersama Kombes Pol. dr. Sugeng Krismawanto, SpOT,

Setelah merasakan sensasi penyeberangan Sungai Kapuas yang membanggakan, kami segera menemui dr. Titik Nurwahyuni, SpS, MMR yang pernah menjabat sebagai Direktur RS St. Antonius di Pontianak dan kakak kelas yang baik saat kuliah di FK UGM. Setelah bernostalgia sebentar, kami segera menumpang Jeep 4×4 Cherokee 4.0 l yang garang menghentak aspal, menuju Bandara Internasional Supadio Pontianak, untuk kembali ke Yogyakarta. Penerbangan dalam perut pesawat Boeing 737-300 xpressair XN 833 yang terbang setinggi 33.000 kaki dari Pontianak, mengantar kami kembali ke Yogyakarta.

RSU Santo Antonius Pontianak Kalimantan Barat yang megah menjulang

Terimakasih kepada handai topan dan semua pihak, terlebih kepada Kombes dr. Sugeng Krismawanto, SpOT yang bertugas di RS Bhayangkara Polda Kalbar, atas semua dukungan, bantuan dan dukungannya. Sampai bertemu dalam petualangan berikutnya.

Sekian

Yogyakarta, 14 Februari 2017

Salam hangat.

Fx. Wikan Indrarto

*) dokter spesialis anak di RS Panti Rapih, Ketua IDI Cabang Kota Yogyakarta dan alumnus S3 UGM, no WA 081227280161.

By Fx Wikan Indrarto

Dokter Fx Wikan Indrarto

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *