Categories
Istanbul

2018 Siasat JKN

Hasil gambar untuk jkn adalah

 

SIASAT  JKN

fx. wikan indrarto*)

 

Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) penyelenggaraannya dilaksanakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, sesuai UU No 24 Tahun 2011 tentang BPJS. Defisit dan keterbatasan sumberdaya finansial yang dialami BPJS Kesehatan, menjadi penghalang utama implementasi JKN. Apa yang harus disiasati?

 

Tujuan program JKN adalah tercapainya UHC (Universal Health Coverage), yaitu sebuah kondisi di mana setiap orang dapat menerima layanan kesehatan yang mereka butuhkan, tanpa mengalami kesulitan dalam bidang keuangan. Peserta Program JKN pada 1 Juli 2018 telah mencapai 199.133.927 orang atau 79,6% dari seluruh warga negara Indonesia. Semua peserta JKN dilayani di 27.330 Fasilitas Kesehatan (faskes) provider JKN.  Hasil survei PT. Frontier Consulting Grup di tahun 2017 angka kepuasan peserta JKN mencapai 79,5%, sementara indeks kepuasan faskes secara total 75,7%.

 

Hasil gambar untuk jkn adalah

 

Dengan demikian, program JKN terbukti sudah dirasakan manfaatnya oleh lebih banyak warga, sehingga layak diteruskan. Semua pihak harus menyadari, bahwa penyelesaian masalah harus disiasati oleh masing-masing pihak, demi tercapainya UHC dalam sumberdaya finansial yang terbatas. Terdapat paling tidak 4 pihak yang terlibat dalam proses menuju UHC, yaitu Kemenkes sebagai regulator, dokter dan faskes sebagai pelaksana, BPJS Kesehatan sebagai penjamin biaya, dan pasien peserta JKN sebagai penerima manfaat.

 

Hasil gambar untuk jkn adalah

 

Untuk itu, Kemenkes dan semua jajaran dinas kesehatan di daerah harus bertindak sebagai pembuat aturan yang pro-aktif dan antisipatif, bukan sekedar reaktif. Misalnya dengan mengatur siasat tarif layanan pasien yang tidak harus ‘hospital base rate’. Juga harus menggunakan skema pohon tarif, sehingga tidak akan ada tarif prosedur tindakan medis yang berisfat ‘ranting’, lebih besar nominalnya dibandingkan prosedur lain yang bersifat ‘dahan’. Selain itu, juga mengendalikan lonjakan biaya administratif untuk operasional faskes, misalnya biaya proses akreditasi, pengurusan perpanjangan ijin operasional dan rekredensialing faskes yang tumpang tindih dan semakin mahal.

Kemenkes berperan sentral untuk mencarikan tambahan sumberdaya finansial atau dana untuk menutup defisit dengan berbagai cara. Peluang pendanaan atas terjadinya defisit JKN, perlu disiasati oleh Kemenkes misalnya dari cukai rokok, yang sebenarnya dapat melalui tiga mekanisme. Misalnya melalui penggunaan sebagian dari Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) atau penggunaan sebagian tambahan dana dari reformasi kebijakan cukai rokok, dengan menyederhanakan struktur tarifnya. Selain itu, dapat juga dengan penggunaan sebagian dana cukai rokok yang khusus didedikasikan untuk JKN.

DBHCHT tahun anggaran 2017 ditetapkan sebesar Rp 2,9 T, yang harus dibagikan ke kas provinsi, kabupaten dan kota yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan  (PMK) Nomor 43/PMK.07/2016. Dengan demikian, komitmen politik untuk menutup defisit JKN tahun 2017 sekitar Rp. 9 T dari cukai rokok, ternyata tidak dapat dipenuhi. Hal ini disebabkan karena ekskutor anggaran, yaitu Menkeu dengan PMK Nomor 222/PMK.07/2017 tentang Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau, merasa tidak memiliki payung hukum yang memadai untuk menutup defisit JKN dan perlu disiasati lebih lanjut.

 

Hasil gambar untuk jkn adalah

 

BPJS Kesehatan berperan untuk mengatur siasat pola manfaat layanan kesehatan secara terarah, baik dengan rujukan berjenjang maupun rujuk balik. Para dokter dan tenaga profesional kesehatan berperan untuk siasat melihat kembali (review) pola layanan yang telah dilakukan, terkait aspek prioritas, mutu, dan kompetensi layanan. Para dokter dan faskes perlu mengambil siasat yang lebih terencana baik, dalam menuju UHC.

 

Pada Kode Etik Kedokteran Indonesia (2012), Pasal 8 menegaskan bahwa seorang dokter wajib dalam setiap praktik medisnya, memberikan layanan dengan penghormatan atas martabat manusia. Manusia yang harus dihormati martabatnya oleh dokter seharusnya adalah segenap peserta JKN lainnya, terutama yang kondisi penyakitnya lebih prioritas untuk mendapatkan penjaminan biaya, bukan sekedar kepada seorang pasien yang saat itu sedang dilayani dokter. Selain itu, pada Pasal 21 menegaskan bahwa setiap dokter wajib senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran. Dasar dokter untuk memberikan layanan yang bermutu, terbaik, dan teknologinya terbaru, seharusnya disertai dengan pertimbangan sumberdaya finansial yang tersedia, demi untuk lebih banyak pasien lain yang akan dapat terlayani.

 

Hasil gambar untuk jkn adalah

 

Paradigma profesi dokter haruslah berubah, dari ‘pasien saya’ menjadi ‘pasien kita’, karena layanan harus terintegrasi secara internal dan lintas unit layanan di faskes. Diagnosis haruslah diutamakan dan terapi haruslah yang paling sesuai (diagnosis first and precision medicine). Sekitar 41% hasil pemeriksaan penunjang medis di laboratorium klinik dan radiologi ternyata adalah normal. Hal ini perlu dikaji sebagai salah satu bukti bahwa untuk menegakkan diagnosis pasien, masih banyak dokter yang menggunakan siasat menyingkirkan diagnosis banding, sebuah cara yang kurang efisien, boros biaya dan berpotensi terjadinya fraud (kecurangan yang disengaja).

 

Hasil gambar untuk jkn

 

Sesuai dengan Permenkes 1438/2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran, maka IDI (Ikatan Dokter Indonesia) sebagai Organisasi Profesi harusnya menjadi rujukan bagi Kemenkes untuk menetapkan perubahan standar layanan dokter, yang bukan serta merta harus diartikan sebagai penurunan, karena adanya faktor kondisi eksternal medis. IDI seharusnya menyampaikan hasil kajian ilmiah terpadu, demi terjadinya perubahan standar layanan dokter yang lebih terjangkau, mampu laksana, dan logis.

Istilah Standar Pelayanan Kedokteran sesuai dengan Permenkes 1438/2010, sebaiknya dihindari untuk disesuaikan menjadi Pedoman Pelayanan Kedokteran, misalnya Permenkes Nomor HK.02.02/Menkes/251/2015 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Anestesiologi Dan Terapi Intensif. Perubahan istilah tersebut berimplikasi cukup luas, karena bentuk layanan kedokteran yang tidak sesuai dengan standar akan dapat dikategorikan sebagai hal yang negatif, sub standar dan illegal. Sebaliknya, bentuk layanan kedokteran yang tidak sesuai dengan pedoman, misalnya karena adanya faktor di luar medis, tentu saja masih bersifat netral.

 

Hasil gambar untuk jkn

 

Peserta JKN dapat berperan dengan lebih memahami hakekat penjaminan biaya layanan dan memprioritaskan kegiatan preventif. Selain itu, peserta JKN haruslah diedukasi bahwa pada Pasal 19 ayat 2 UU No 40 Tahun 2004 tentang SJSN, menyebutkan bahwa peserta akan memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan saja. Selain itu, pada Pasal 22 ayat 2 untuk jenis pelayanan yang lain, peserta akan dikenakan urun biaya. Seperti halnya kriteria kegawatan pasien di UGD yang dijamin BPJS Kesehatan, maka kriteria kebutuhan dasar kesehatan juga harus dibahas, disepakati, dan diputuskan bersama. Hal ini dapat mengacu pada Pasal 40 Perpres 12/2013 tentang JKN, dalam ayat (5) menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian kegawatdaruratan dan prosedur penggantian biaya pelayanan gawat darurat, diatur dengan Peraturan BPJS Kesehatan.

 

Hasil gambar untuk gawat darurat

Peserta JKN yang dirawat inap di RS dengan diagnosis sesuai  kriteria kebutuhan dasar kesehatan, maka dipastikan akan mendapat penjamin penuh dari BPJS Kesehatan. Sebaliknya, diagnosis peserta JKN yang tidak memenuhi kriteria kebutuhan dasar kesehatan, maka pasien diwajibkan urun biaya. Berdasarkan UU 40/2004 tentang SJSN pada pasal 22 ayat 3 disebutkan bahwa ketentuan mengenai urun biaya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden (PP). Namun demikian, sampai sekarang PP tersebut belum terbit dan perlu dipercepat dengan usulan oleh kita bersama. Sebaiknya urun biaya adalah sebesar tarif INA CBGs, untuk kelompok diagnosis yang tidak memenuhi kriteria kebutuhan dasar kesehatan. Dengan cara demikian, kendali mutu dan kendali biaya masih tetap dapat dilaksanakan, dengan urun biaya oleh peserta yang juga tetap terkendali oleh sistem yang telah ada.

 

Hasil gambar untuk iur biaya bpjs

 

Menjadi tanggung jawab kita bersama, agar program JKN terus berkelanjutan dan semakin dirasa manfaatnya oleh seluruh warga Indonesia. Untuk itu, dalam keterbatasan sumberdaya finansial seperti sekarang, kita semua wajib bersiasat, agar UHC dapat tercapai sesuai target, yaitu sebelum 1 Januari 2019.

 

Sudahkah kita berpikir cerdas?

Katerdral 1 Sekian

Yogyakarta,  1 Agustus 2018

*) dokter spesialis anak, Ketua IDI Cabang Kota Yogyakarta, Alumnus S3 UGM, Lektor FK UKDW

WA : 081227280161,

By Fx Wikan Indrarto

Dokter Fx Wikan Indrarto

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *