Categories
anak COVID-19 Healthy Life sekolah

2021 MASKER DAN ANAK

Alasan Anak di Bawah 2 Tahun Tidak Perlu Pakai Masker | kumparan.com

MASKER DAN  ANAK

fx. wikan indrarto*)

WHO telah mengevaluasi bukti tentang penularan COVID-19 pada anak dan terbatasnya bukti yang tersedia tentang manfaat penggunaan masker wajah oleh anak. Namun demikian, WHO terus menyarankan agar orang tua selalu berkonsultasi dan mematuhi otoritas kesehatan setempat, tentang praktik yang direkomendasikan di daerah mereka, untuk anak. Apa yang menarik?

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2021/02/06/2021-covid-19-pada-anak/

.

Berdasarkan pertimbangan kebutuhan psikososial dan tumbuh kembang anak, WHO dan UNICEF menyarankan anak balita (berusia 5 tahun ke bawah) tidak diwajibkan memakai masker. Hal ini didasarkan pada keselamatan, minat, dan kemampuan anak untuk menggunakan masker secara tepat dengan bantuan minimal. Selain itu, WHO dan UNICEF menyarankan bahwa keputusan untuk mewajibkan penggunaan masker untuk anak yang berusia 6-11 tahun, harus didasarkan pada beberapa faktor terkait, misalnya tingginya tingkat penularan COVID-19 yang meluas di daerah tempat tinggal anak. Selain itu, juga kemampuan anak untuk menggunakan masker secara aman dan tepat, akses mendapatkan masker, serta tersedianya fasilitas pencucian dan penggantian masker di tempat-tempat tertentu, seperti sekolah dan layanan penitipan anak.

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2021/04/18/2021-kesehatan-anak-paska-pandemi-covid-19/

.

Secara umum, anak balita tidak diwajibkan memakai masker. Mungkin ada persyaratan lokal untuk anak balita agar memakai masker, atau kebutuhan khusus di beberapa tempat, seperti secara fisik dekat dengan seseorang yang sakit dan terkonfirmasi COVID-19. Dalam keadaan ini, jika anak mengenakan masker, orang tua atau wali harus berada dalam jarak pandang langsung, untuk mengawasi penggunaan masker yang aman bagi anak.

.

Anak Dibawah 2 Tahun Tidak Dianjurkan Pakai Masker, Begini Cara  Melindunginya Saat Keluar Rumah - Tribunnews.com Mobile

WHO dan UNICEF menyarankan bahwa anak yang telah berusia 12 tahun ke atas, harus memakai masker yang sama seperti orang dewasa. Bahkan hal ini menjadi kewajiban, ketika anak tidak dapat menjamin jarak setidaknya 1 meter dari orang lain, dan ada penularan COVID-19 yang meluas di daerah tersebut.

.

Penggunaan masker untuk anak dari segala usia dengan gangguan perkembangan, difabel atau kondisi kesehatan tertentu lainnya, tidak boleh diwajibkan. Namun demikian, sebaiknya dinilai berdasarkan kasus per kasus oleh orang tua, wali, guru dan atau tenaga medis. Bagaimanapun juga, anak dengan gangguan kognitif atau pernapasan yang parah dengan kesulitan menoleransi masker, seharusnya tidak diwajibkan memakai masker.

.

Anak dengan gangguan kesehatan kronis seperti cystic fibrosis, infeksi HIV, atau kanker harus memakai masker medis. Masker medis memberikan perlindungan kepada anak yang memakai masker dan mencegah penularan COVID-19 ke orang lain. Direkomendasikan untuk siapa saja, termasuk anak, yang memiliki kondisi kesehatan mendasar dan menempatkan mereka pada risiko penyakit serius yang lebih besar.

.

Anak yang secara umum sehat dapat memakai masker non-medis atau kain, tidak harus masker medis. Kewajiban ini berarti mencegah virus ditularkan ke orang lain, jika mereka terinfeksi dan tidak menyadari bahwa mereka terinfeksi. Orang tua harus memastikan masker kain berukuran tepat dan cukup menutupi hidung, mulut, dan dagu anak.

.

Anak harus mengikuti prinsip yang sama seperti orang dewasa untuk memakai masker. Ini termasuk membersihkan tangan setidaknya 20 detik jika menggunakan pembersih tangan berbasis alkohol, atau setidaknya 40 detik jika menggunakan sabun dan air, sebelum memakai masker. Pastikan ukuran masker pas untuk menutupi hidung, mulut, dan dagu. Anak harus diajari cara memakai masker dengan benar, termasuk tidak menyentuh bagian depan masker dan tidak menariknya ke bawah dagu atau ke dalam mulut mereka. Mereka harus menyimpan masker di dalam tas atau wadah, dan tidak berbagi masker dengan orang lain.

.

Setiap anak yang memiliki gejala sugestif COVID-19 harus memakai masker medis, selama mereka dapat mentolerirnya. Anak harus diisolasi, dan nasehat medis harus dicari segera setelah mereka mulai merasa tidak sehat, bahkan jika gejalanya ringan. Anggota keluarga atau pengasuh yang mendekat dalam jarak 1 meter dari anak yang sakit di rumah, juga harus memakai masker. Anggota rumah tangga yang sakit atau dinyatakan positif COVID-19 harus diisolasi dari orang lain semampu mungkin. Jika anak berada dalam jarak 1 meter dari orang sakit di rumah, orang dewasa dan anak harus memakai masker medis selama waktu tersebut.

.

Di daerah di mana ada penularan yang meluas, semua orang dewasa di bawah usia 60 tahun dan yang secara umum sehat harus memakai masker kain, ketika mereka tidak dapat menjamin jarak setidaknya 1 meter dari orang lain. Ini sangat penting bagi orang dewasa yang memiliki kontak dekat dengan anak dan satu sama lain.

.

Anak tidak boleh memakai masker saat berolahraga atau melakukan aktivitas fisik, seperti berlari, melompat, atau bermain di taman bermain, sehingga tidak mengganggu pernapasan mereka. Saat guru mengorganisir kegiatan ini untuk anak, penting untuk mendorong semua protokol kesehatan diterapkan secara ketat, yaitu menjaga jarak setidaknya 1 meter dari orang lain, membatasi jumlah anak yang bermain bersama, menyediakan akses ke fasilitas kebersihan tangan dan mendorong penggunaannya.

.

Dalam konteks COVID-19, beberapa anak mungkin tidak dapat memakai masker karena disabilitas atau situasi tertentu seperti praktek pidato atau baca puisi di sekolah, saat guru perlu melihat mulut mereka. Dalam kasus ini, pelindung wajah (face shields) dapat digunakan sebagai alternatif masker, tetapi tidak memberikan perlindungan yang setara dalam mencegah virus menular ke orang lain. Jika keputusan dibuat untuk menggunakan pelindung wajah (face shields), itu harus menutupi seluruh wajah, menutupi sisi wajah dan meluas ke bawah dagu. Perhatian harus dilakukan saat mengenakannya untuk menghindari cedera yang dapat merusak dan membahayakan mata atau wajah.

.

Selain itu, orang tua wajib berbicara dengan anak sebijak mungkin dalam menjawab pertanyaan mereka. Ada banyak informasi yang membingungkan dan menakutkan, sehingga ciptakan waktu untuk berbicara dan menjawab pertanyaan anak secara benar, tidak hanya tentang masker wajah untuk mengurangi rasa takut anak dan memelihara optimisme.

Sudahkah kita bijak mendampingi anak dari bahaya COVID-19 ?

Sekian

Yogyakarta, 15 Juni 2021

*) Dokter spesialis anak di RS Panti Rapih Yogyakarta, Lektor FK UKDW, Alumnus S3 UGM, WA: 081227280161

Categories
anak Healthy Life sekolah

2021 PELAN DI JALAN

Ini Bahayanya Berkendara Pelan di Lajur Kanan

PELAN   DI   JALAN

fx. wikan indrarto*)

Pekan Keamanan di Jalan Global PBB ke-6 (UN Global Road Safety Week) pada 17-23 Mei 2021, menyoroti manfaat laju kendaraan di perkotaan yang berkecepatan rendah, sebagai jantung setiap komunitas di manapun. Kampanye ini untuk mendorong kebijakan di tingkat nasional dan lokal dalam membatasi kecepatan 30 km/jam di daerah perkotaan, dalam tagar #Love30, guna membangun jalan bagi kehidupan #StreetsforLife. Apa yang menarik?

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2020/02/10/2020-keamanan-di-jalan-raya/

.

Bukti penelitian dari seluruh dunia menunjukkan bahwa laju kendaraan berkecepatan rendah mengurangi risiko cedera serius dan menyelamatkan nyawa, termasuk penelitian terakhir di Tanzania terbukti mengurangi cedera di jalan sebanyak 26%. Di Toronto, Kanada, kecelakaan di jalan raya turun 28% sejak batas kecepatan dikurangi dari 40 menjadi 30 km/jam pada tahun 2015, yang menyebabkan berkurangnya cedera serius dan fatal hingga dua pertiganya. Kolombia di Bogota telah memasukkan zona 30 km/jam dalam paket ‘Speed Management Plan’ yang telah mengurangi kematian lalu lintas sebesar 32%. Penelitian di London menemukan bahwa batas kecepatan yang lebih rendah (dalam hal ini zona 20 mph) dikaitkan dengan pengurangan korban di jalan raya sebesar 42%, sementara di Bristol, penerapan batas kecepatan 20 mph dikaitkan dengan pengurangan 63% dalam cedera fatal. Secara keseluruhan, ada pengurangan korban hingga 6% untuk setiap pengurangan kecepatan 1 mph di jalanan perkotaan dan peningkatan kecepatan rata-rata 1 km/jam menghasilkan risiko kecelakaan 3% lebih tinggi, dengan peningkatan kematian 4 hingga 5%.

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2019/05/10/2019-selamat-di-jalan/

.

Dengan laju kendaraan di atas 30 km/jam, benturan pada pejalan kaki memiliki risiko kematian yang jauh lebih besar. Dalam kecepatan 30 km/jam mobil dapat berhenti segera, sedangkan dalam kecepatan 50 km/jam mobil masih tetap akan melaju, meskipun dilakukan pengereman kuat. Selain itu, kecepatan kendaraan yang lebih tinggi mempersempit penglihatan areal tepi bagi pengendara dan memengaruhi waktu reaksi mereka.

.

Jajak pendapat YouGov global di 11 negara untuk Prakarsa Kesehatan Anak, menemukan bahwa 74% orang mendukung pembatasan kecepatan kendaraan di jalan sekitar sekolah, sehingga memudahkan anak berjalan kaki atau bersepeda ke sekolah dengan lebih aman dan lebih sehat. Dalam survei di Inggris, 70% pengendara setuju bahwa 30 km/jam adalah batas yang tepat untuk laju kendaraan di areal perumahan. Survei di Skotlandia menunjukkan 65% setuju, dan satu dari empat orang berpikir bahwa aturan itu akan membuat mereka lebih cenderung berjalan kaki atau bersepeda, dalam kehidupan sehari-hari mereka.

.

Ada juga manfaat kesehatan yang signifikan dari memperlambat laju lalu lintas, selain mendukung peralihan ke gaya hidup aktif melalui berjalan kaki dan bersepeda. Interaksi sosial yang dilakukan antar orang  di jalan adalah penting untuk membangun komunitas dan kesejahteraan kolektif. Lalu lintas yang lebih lambat juga mengurangi bahaya lain di jalan raya, menekan kebisingan, dan meningkatkan hubungan sosial.

.

Dalam kepadatan lalu lintas di perkotaan, kecepatan tinggi terbukti jarang berdampak pada waktu tempuh perjalanan. Perbedaan waktu tempuh dengan kecepatan maksimum 30 km/jam dengan 50 km/jam di perkotaan adalah minimal. Kemacetan dan waktu yang dihabiskan untuk menunggu di lampu lalu lintas menjadi hijau, seringkali lebih signifikan berpengaruh pada lamanya waktu perjalanan dibandingkan kecepatan kendaraan itu sendiri. Area dengan kendaraan yang bergerak lebih lambat juga berpotensi menghilangkan kebutuhan sinyal lampu lalu lintas, dan menciptakan hubungan yang lebih setara di antara pengguna jalan yang saling mengalah.

.

Sambut New Normal, Dishub Terapkan Protokol Kesehatan di Jalan Raya

Meskipun banyak negara telah mempelopori pendekatan keselamatan jalan raya, tetapi program tersebut lebih efektif diterapkan di negara berpenghasilan tinggi. Pada hal, sebenarnya jalan berkecepatan rendah dapat diterapkan di negara mana pun, terlepas dari tingkat perkembangan atau jumlah kendaraannya. Zona kecepatan maksimal 30 km/jam telah berhasil ditetapkan di lingkungan perkotaan di banyak negara, yang biasanya dimulai di sekitar sekolah, seperti proyek Amend di Tanzania, yang memenangkan hadiah bergengsi ‘Ross Prize for Cities’.

.

Idealnya, jalan raya harus memiliki kekuatan mengatur sendiri (self-enforcing), dirancang sedemikian rupa sehingga memaksa kendaraan untuk melaju dengan kecepatan yang lebih lambat. Ada berbagai cara yang bisa dilakukan, seperti rambu peringatan kecepatan, marka jalan, polisi tidur, pelambat lalu lintas  (traffic calming) lainnya, pepohonan atau taman yang indah di pinggir jalan, dan rute untuk pejalan kaki. Tindakan tersebut dapat berbiaya rendah dan penegakan hukum bagi orang yang tidak patuh adalah masalah sekunder, dan sebaiknya bukan menjadi alasan untuk menetapkan batas kecepatan yang benar.

.

Saat berkecepatan rendah, kendaraan cenderung bergerak lebih lancar, dengan akselerasi yang lebih rendah (yang terkait dengan emisi gas buang pada kendaraan bermesin pembakaran internal) dan hanya sedikit perlambatan (yang dapat menyebabkan keausan ban), yang mengarah ke polusi yang juga lebih rendah. Polisi tidur dapat menyebabkan sedikit peningkatan polusi lokal karena peningkatan akselerasi dan pengereman, tetapi dampaknya rendah.

Sah! Pakai Skuter Listrik di Jalan Raya Denda Rp 250 Ribu

Di Indonesia rata-rata 3 orang meninggal setiap jam akibat kecelakaan di jalan raya. Penyebabnya beberapa hal, yaitu 61% kecelakaan disebabkan oleh faktor manusia yang terkait dengan kemampuan pengemudi, termasuk kecepatan yang tinggi, 9% disebabkan karena faktor kendaraan yang tidak laik jalan, dan 30% disebabkan oleh faktor prasarana dan lingkungan. Program pembatasan kecepatan 30 km/jam di daerah perkotaan, dalam tagar #Love30, guna membangun jalan bagi kehidupan #StreetsforLife, dapat menekan angka kematian karena kecelakaan lalu lintas di jalan raya.  

Selain itu, dengan kecepatan berkendara di jalan yang lebih pelan akan memungkinkan anak dan remaja untuk berjalan kaki atau bersepeda, saat pembelajaran tatap muka di sekolah yang dimulai tahun ini, saat pandemi COVID-19 semakain terkendali.

Apakah kita sudah pelan di jalan?

Sekian

Yogyakarta, 24 Mei 2021

*) Dokter spesialis anak di RS RS Panti Rapih Yogyakarta, Alumnus S3 UGM, Lektor FK UKDW, pengguna sepeda di jalan raya dalam kota, WA: 081227280161,

Categories
anak COVID-19 Healthy Life Pendukung ASI sekolah UHC

2021 Kesehatan Anak Paska Pandemi COVID-19

Anak Sehat, Indonesia Kuat! | Indonesia Baik

KESEHATAN  ANAK  PASKA  PANDEMI  COVID-19

fx. wikan indrarto*)

Dimuat di Harian Nasional KOMPAS hari Senin, 19 April 2021, halaman 7

Selama dua dekade terakhir, epidemiologi kesehatan anak global telah berubah secara signifikan, termasuk dalam kesejahteraan anak. Ketika semua negara berusaha membangun kembali saat pulih dari ganasnya pandemi COVID-19, diperlukan evolusi substansial dalam berbagai program, untuk memenuhi kebutuhan kesehatan anak yang berubah. Apa yang harus berubah?

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2021/03/21/2021-imunitas-anak/

.

Pola kematian dan penyakit pada masa anak berubah secara dramatis. Tren menunjukkan bahwa kematian yang dapat dicegah sekarang tertinggi pada periode bayi baru lahir. Namun demikian, sebnarnya pneumonia, diare dan malaria yang diperparah oleh malnutrisi, masih juga terus berdampak besar pada anak balita. Ini terutama terjadi di antara populasi yang paling terpinggirkan di wilayah Afrika sub-Sahara, di mana populasi anak justru diperkirakan akan tumbuh dalam beberapa dekade mendatang.

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2021/02/06/2021-covid-19-pada-anak/

.

Di beberapa negara kematian pada remaja (15-19 tahun) justru meningkat karena kecelakaan lalu lintas di jalan raya, kekerasan fisik, dan melukai diri sendiri. Peningkatan jumlah anak dan remaja yang masih bertahan hidup, banyak yang dipengaruhi oleh kejadian cedera, gangguan perkembangan, penyakit tidak menular dan kesehatan mental yang buruk. Kelebihan berat badan dan obesitas di kalangan remaja dengan cepat meningkat, sehingga banyak negara menghadapi beban ganda malnutrisi, baik berupa kekurangan maupun kelebihan gizi.

.

Tantangan ini cenderung diperparah oleh pergeseran demografis. Peningkatan jumlah anak yang tinggal di pusat kota pada tahun-tahun mendatang, membatasi kesempatan untuk mendapatkan udara bersih dan beraktivitas fisik, sehingga menyebabkan tekanan serius pada berbagai fasilitas layanan kesehatan di daerah, apabila tanpa intervensi khusus. Kesehatan dan kesejahteraan anak dan remaja harus menjadi pusat upaya untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) pada tahun 2030. Dunia perlu mengubah orientasi program untuk mencapai SDG (reframing child and adolescent health for the SDG era).

.

Kata Dokter, Begini Ciri-ciri Anak Sehat Secara Fisik dan Mental

Negara hanya dapat berkembang dan makmur jika negara berinvestasi untuk anak dan remaja, dan mengoptimalkan dukungan dalam momen penting pembentukan kesehatan anak di masa depan, dengan menggunakan apa yang disebut pendekatan alur kehidupan (lifecourse approach). Dengan pemikiran ini, meningkatkan kesehatan anak tidak boleh lagi hanya dianggap semata-mata sebagai masalah sektor kesehatan. Kebijakan, layanan, dan edukasi harus ditempatkan sebagai bagian dari solusi oleh pemerintah dan masyarakat, untuk mendorong agenda kesehatan anak dan remaja global, regional dan nasional.

.

Hampir satu tahun setelah COVID-19 dinyatakan sebagai pandemi, peningkatan luar biasa terlihat pada pembalikan risiko kelangsungan hidup anak dan remaja. Kerangka Sasaran Pembangunan Berkelanjutan (SDG) yang diadopsi pada tahun 2015, memang telah mencakup pendekatan holistik untuk meningkatkan kesehatan anak dan remaja, tetap masih relevan setelah pandemi COVID-19 berakhir, tetapi perlu penajaman fokus.

.

Kerangka kerja tersebut dahulu disusun berdasarkan tren tingkat makro, sehingga saat ini membutuhkan perubahan besar dalam paradigma tentang kesehatan anak dan remaja. Hal ini memerlukan peralihan dari fokus (shift in thinking) yang sebelumnya hanya tentang kelangsungan hidup anak di bawah 5 tahun, menjadi keterkaitan kesehatan ibu, bayi baru lahir, anak dan remaja, dengan pemahaman tentang bagaimana alur kehidupan manusia, tidak hanya pada masa dini, tetapi harus berlanjut sepanjang kehidupan anak hingga dewasa.

.

Perubahan demografi dan beban penyakit telah memaksa setiap negara harus memperkuat sistem kesehatannya, agar lebih responsif terhadap perubahan kebutuhan anak dan remaja. WHO dan UNICEF telah memulai upaya untuk mengarahkan kembali strategi kesehatan anak, mengalihkan perhatian ke perspektif alur kehidupan (life course perspective), dan menjauh dari fokus eksklusif sebelumnya, yaitu hanya terkait kelangsungan hidup bayi dan anak di bawah 5 tahun.

.

Prinsip pemrograman ulang (redesign) kesehatan anak, berupa program kesehatan anak dan remaja, serta implementasi kebijakannya yang harus mengikuti pendekatan alur kehidupan (life course perspective), yang didasarkan pada data tentang epidemiologi penyakit terbaru. Pemrograman ulang ini termasuk memastikan layanan kesehatan prakonsepsi yang baik, layanan kesehatan ibu hamil, serta intervensi medis yang berkualitas tinggi untuk anak sampai remaja, yang berusia 0 hingga 19 tahun.

.

Program baru harus berdasarkan hak dan adil (rights based and equitable), sehingga intervensi dan layanan medis penting harus disediakan untuk semua anak, di mana pun mereka tinggal. Selain itu, program harus mencakup layanan terpadu yang berpusat pada keluarga, anak, dan remaja, dalam bentuk mempromosikan kesehatan, pertumbuhan, dan kesejahteraan. Implementasinya meliputi pembentukan ketahanan atau imunitas, mencegah pajanan terhadap penyakit dan komplikasi selanjutnya, dan meminimalkan kerentanan atau faktor risiko sakit, dengan mempertimbangkan kebutuhan personal anak dan remaja.

.

Masyarakat dan keluarga harus diberdayakan untuk berpartisipasi dalam perancangan kebijakan pada anak dan remaja, untuk penyediaan layanan kesehatan yang berkualitas, paska pandemi COVID-19.

Sudahkah Anda terlibat membantu?

Sekian

Yogyakarta, 22 Maret 2021

*) Dokter spesialis anak di RS RS Panti Rapih Yogyakarta, Alumnus S3 UGM, Lektor FK UKDW, WA: 081227280161,

Categories
anak COVID-19 Healthy Life sekolah

2021 Cidera dan Kekerasan

Waspada! 5 Jenis Cedera karena Olahraga dan Cara Mengatasinya | Popmama.com

CEDERA  DAN  KEKERASAN

fx. wikan indrarto*)

Laporan UNICEF pada Jumat, 19 Maret 2021 menyebutkan bahwa cidera merenggut nyawa 4,4 juta remaja di seluruh dunia setiap tahun dan merupakan hampir 8% dari semua kematian remaja. Kira-kira 1 dari 3 kematian remaja ini diakibatkan oleh kecelakaan lalu lintas di jalan raya, 1 dari 6 akibat bunuh diri, 1 dari 10 akibat pembunuhan, dan 1 dari 61 akibat perang dan konflik bersenjata. Apa yang mencemaskan?

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2020/08/14/2020-hari-remaja-internasional/

.

Selain kematian dan cedera, paparan terhadap segala bentuk kekerasan, terutama di masa anak, dapat meningkatkan risiko gangguan mental dan keinginan untuk bunuh diri, menjadi perokok, pengguna alkohol dan penyalahgunaan zat terlarang, mengalami penyakit kronis seperti penyakit jantung, diabetes dan kanker, serta masalah sosial seperti kemiskinan, kejahatan dan kekerasan. Karena alasan ini, mencegah cedera dan kekerasan, termasuk dengan memutus siklus kekerasan antargenerasi, sebenarnya lebih dari sekadar menghindari cedera fisik, tetapi juga berkontribusi pada manfaat kesehatan, sosial dan ekonomi yang substansial.

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2020/09/10/2020-kesehatan-seksual-remaja/

.

Cedera dan kekerasan merupakan penyebab utama kematian dan beban penyakit di semua negara, tetapi tidak tersebar merata di seluruh wilayah sebuah negara. Bahkan beberapa remaja lebih rentan daripada yang lain tergantung pada kondisi di mana mereka dilahirkan, tumbuh, sekolah, hidup, dan usia. Usia lebih muda, laki-laki dan status sosial ekonomi rendah semuanya meningkatkan risiko cedera dan menjadi korban atau pelaku kekerasan fisik yang berat. Risiko cedera akibat jatuh meningkat seiring bertambahnya usia.

.

Remaja laki-laki dua kali lebih banyak daripada perempuan yang meninggal setiap tahun akibat cedera dan kekerasan. Di seluruh dunia, sekitar tiga perempat kematian akibat kecelakaan lalu lintas di jalan raya, empat perlima kematian akibat pembunuhan, dan dua pertiga kematian akibat perang dan konflik bersenjata, mengenai remaja laki-laki. Akan tetapi di banyak negara berpenghasilan rendah dan menengah, wanita dan remaja perempuan lebih mungkin untuk mengalami luka bakar dibandingkan pria dan remaja laki-laki.

.

Kemiskinan juga meningkatkan risiko terjadinya cidera dan kekerasan. Sekitar 90% kematian terkait cidera terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Di seluruh dunia, angka kematian akibat cedera lebih tinggi di negara berpenghasilan rendah dibandingkan di negara berpenghasilan tinggi. Bahkan di dalam negara, anak dan remaja dari latar belakang ekonomi yang lebih miskin memiliki tingkat kecelakaan fatal dan non-fatal yang lebih tinggi, daripada sebayanya dari latar belakang ekonomi yang lebih kaya.

Video Perkelahian Siswi SMP Viral di Klungkung, TKP Tak Jauh dari Rumah  Jabatan Bupati & Wabup - Tribun Bali

Faktor risiko dan determinan yang umum untuk semua jenis cedera, meliputi pengaruh alkohol atau penggunaan obat terlarang, pengawasan orang tua yang tidak memadai, dan faktor prediktor kesehatan lainnya. Hal ini mencakup kemiskinan, ketidaksetaraan ekonomi dan gender, pengangguran, kurangnya keamanan di lingkungan perumahan, sekolah, dan jalan. Pada saat layanan RS untuk kondisi trauma dan darurat medis adalah lemah atau karena akses yang tidak adil ke layanan kesehatan, tentu saja dampak dari cedera dan kekerasan dapat memburuk.

.

Cedera dan kekerasan dapat diprediksi dan dicegah. Analisis biaya dan manfaat tindakan pencegahan cedera dan kekerasan, menawarkan efisiensi finansial yang signifikan dan memberikan manfaat yang besar. Ssetiap US $ 1 yang diinvestasikan untuk detektor asap menghemat US $ 65 perawatan luka bakar, penggunaan sabuk pengaman dan helm sepeda motor menghemat US $ 29 biaya layanan medis, dan kunjungan ke rumah oleh petugas kesehatan menghemat US $ 6 untuk biaya medis dan kehilangan produktivitas. Di Bangladesh, mengajarkan anak usia sekolah keterampilan berenang dapat menghemat US $ 3.000 per kematian remaja yang dapat dicegah. Di Eropa dan Amerika Utara, pengurangan 10% dalam pengalaman masa kanak yang merugikan dapat disamakan dengan tabungan tahunan sebesar 3 juta Tahun Hidup dengan Kendala (Disability Adjusted Life Years) atau setara US $ 105 miliar.

.

Layanan medis darurat yang berkualitas bagi para korban cidera dapat mencegah kematian remaja, mengurangi jumlah kecacatan, serta mengatasi dampak fisik, emosional, finansial dan hukum atas cidera atau kekerasan tersebut. Dengan demikian, membentuk sistem organisasi, perencanaan dan akses ke layanan trauma dan kedaruratan, termasuk telekomunikasi dan transportasi ke rumah sakit, perawatan pra-rumah sakit dan di rumah sakit, merupakan strategi penting untuk meminimalkan kematian dan kecacatan remaja, akibat cedera dan kekerasan. Menyediakan rehabilitasi bagi penyandang disabilitas, memastikan mereka memiliki akses ke alat bantu seperti kursi roda, dan menghilangkan hambatan partisipasi sosial dan ekonomi adalah strategi utama untuk memastikan bahwa remaja yang mengalami disabilitas akibat cedera atau kekerasan, dapat terus melanjutan kehidupan dengan penuh semangat dan menyenangkan.

.

Laporan UNICEF pada Jumat, 19 Maret 2021 mengingatkan kita semua, bahwa cidera, kekerasan, dan kematian pada remaja dapat dicegah, dengan memastikan tidak ada seorangpun remaja yang tertinggal (to ensure no one is left behind).

 Sudahkah Anda terlibat membantu?

Sekian

Yogyakarta, 22 Maret 2021

*) Dokter spesialis anak di RS RS Panti Rapih Yogyakarta, Alumnus S3 UGM, Lektor FK UKDW, WA: 081227280161,

Categories
COVID-19 Healthy Life sekolah vaksinasi

2020 Sekolah saat pandemi COVID-19

Ini Syarat Sekolah Boleh Dibuka Lagi di Masa Pandemi | Indonesia.go.id

SEKOLAH  SAAT  PANDEMI  COVID-19

fx. wikan indrarto*)

Banyak negara di seluruh dunia mengambil tindakan pembatasan sosial berskala luas, termasuk penutupan sekolah, untuk mencegah penyebaran virus SARS-CoV-2, yang menyebabkan COVID-19. Bagaimana sebaiknya?

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2020/10/19/2020-covid-19-dan-anak/

.

Beberapa hal dijadikan pertimbangan untuk memulai kegiatan sekolah, termasuk pembukaan, penutupan sementara dan pembukaan kembali serta langkah-langkah yang diperlukan untuk meminimalkan risiko terinfeksi COVID-19, terutama pada anak di bawah usia 18 tahun. Panduan WHO, UNICEF, dan UNESCO telah disusun dengan mempertimbangkan keadilan, implikasi sumber daya, dan kelayakan, demi kesinambungan pendidikan, kesejahteraan, kesehatan, dan keselamatan untuk anak, orang tua atau pengasuh, guru dan staf lain dan lebih luas lagi, komunitas dan masyarakat sekitar.

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2020/10/06/2020-ancaman-covid-19/

.

Keputusan tentang penutupan penuh atau sebagian, juga pembukaan kembali sekolah harus diambil di tingkat pemerintah daerah, berdasarkan tingkat lokal penularan SARS-CoV-2 dan penilaian risiko lokal, serta seberapa besar pembukaan kembali sekolah dapat meningkatkan penularan di komunitas. Penutupan sekolah hanya perlu dipertimbangkan jika tidak ada alternatif lain. COVID-19 menyebabkan beban langsung yang sebenarnya cukup terbatas pada kesehatan anak, hanya sekitar 8,5% dari kasus yang dilaporkan secara global, dan sangat sedikit kematian terkait COVID-19 pada anak. Sebaliknya, penutupan sekolah memiliki dampak negatif yang jelas terhadap kesehatan anak, pendidikan dan perkembangan, pendapatan keluarga dan perekonomian secara keseluruhan. Pemerintah pusat dan daerah harus mempertimbangkan untuk memprioritaskan kesinambungan pendidikan, sementara juga membatasi penularan di masyarakat yang lebih luas.

.

Siswa di China Pakai Topi Social Distancing Saat Kembali Sekolah Usai  Lockdown Akibat Covid-19 - Tribunnews.com Mobile

.

Pihak berwenang dapat mempertimbangkan untuk menutup sekolah sebagai bagian dari PSBB, di wilayah yang mengalami peningkatan jumlah kasus dan cluster yang mencakup sekolah. Tergantung tren dan intensitas  penularan, otoritas lokal dapat mempertimbangkan pendekatan berbasis risiko untuk penutupan sekolah, terutama di daerah dengan tren peningkatan, rawat inap, dan kematian terkait COVID-19. Selain itu, sekolah harus benar-benar mematuhi protokol kesehatan untuk COVID-19.

.

Ketentuan tentang jaga jarak fisik di sekolah dapat diterapkan untuk siswa  di luar ruang kelas setidaknya 1 meter untuk siswa (semua kelompok umur) dan staf sekolah. Di dalam ruang kelas, tindakan sesuai usia berikut dapat dipertimbangkan berdasarkan intensitas penularan SARS-COV-2 setempat.

.

Untuk wilayah dengan transmisi komunitas, tetap pertahankan jarak setidaknya 1 meter antara semua orang. Untuk wilayah dengan transmisi cluster, pendekatan berbasis risiko harus diterapkan untuk menjaga jarak setidaknya 1 meter antar siswa.  Untuk wilayah dengan tidak ada kasus penularan, anak di bawah usia 12 tahun tidak harus selalu menjaga jarak secara fisik. Sebaliknya, anak berusia 12 tahun ke atas harus menjaga jarak setidaknya 1 meter satu sama lain. Saat jaga jarak minimal 1 meter, maka siswa, guru dan staf pendukung sekolah tetap harus memakai masker.

.

Batasi pencampuran kelas dan kelompok usia, untuk semua kegiatan, termasuk program ekstra atau setelah sekolah. Sekolah dengan ruang atau sumber daya terbatas dapat mempertimbangkan pengaturan kelas alternatif, untuk membatasi kontak antar siswa yang berbeda kelas. Misalnya, pengaturan jadwal mulai dan berakhirnya pelajaran pada waktu yang berbeda. Sekolah juga dapat meminimalkan waktu istirahat bersama dengan bergantian kapan dan di mana siswa boleh makan. Selain itu, pertimbangkan untuk menambah jumlah guru atau meminta bantuan tenaga guru sukarela, untuk memungkinkan lebih sedikit siswa per ruang kelas.

.

Hindarkan adanya kerumunan selama waktu sekolah atau penitipan anak, dengan pengaturan jalur masuk dan keluar areal yang jelas, dan pertimbangkan pembatasan untuk orang tua atau pengasuh yang memasuki areal sekolah. Ciptakan kesadaran pada siswa, agar tidak berkumpul dalam kelompok besar atau berdekatan saat dalam antrean, saat meninggalkan sekolah dan di waktu istirahat.

.

Hari Pertama Masuk Sekolah, Mayoritas Belajar Jarak Jauh
.

Anak berusia 5 tahun ke bawah tidak diharuskan memakai masker. Untuk anak antara 6 dan 11 tahun, pendekatan berbasis risiko harus diterapkan pada keputusan untuk menggunakan masker. Pertama, intensitas penularan di daerah tempat anak itu berada dan data terkini tentang risiko infeksi dan penularan pada kelompok usia ini. Kedua, lingkungan sosial dan budaya seperti kepercayaan, adat istiadat, perilaku atau norma sosial yang mempengaruhi masyarakat dan interaksi sosial populasi. Ketiga, kapasitas anak untuk mematuhi aturan penggunaan masker dan ketersediaan pengawasan orang dewasa. Keempat, dampak potensial pemakaian masker pada pembelajaran dan perkembangan psikososial. Kelima, pertimbangkan untuk pengaturan khusus seperti kegiatan olahraga atau untuk anak berkebutuhan khusus atau penyakit yang mendasari.

.

Anak tidak boleh ditolak aksesnya ke pendidikan karena alasan aturan pemakaian masker atau kurangnya ketersediaan masker, terkait sumber daya yang rendah atau tidak tersedia. Penggunaan masker oleh anak dan remaja di sekolah, sebaiknya hanya dianggap sebagai salah satu bagian dari strategi komprehensif untuk membatasi penyebaran COVID-19. Sekolah harus membuat sistem pengelolaan limbah, termasuk pembuangan masker bekas untuk mengurangi risiko penularan melalui masker yang terkontaminasi, yang dibuang di areal sekolah.

.

Pastikan penggunaan ventilasi alami, yaitu membuka jendela ruang kelas untuk meningkatkan pengenceran (dilution) udara dalam ruangan. Jika menggunakan pendingin udara ruangan, sistem tersebut harus diperiksa, dipelihara, dan secara teratur dibersihkan. Untuk penggunaan sistem mekanis pengaturan kelembaban udara, aturlah dengan meningkatkan total suplai aliran udara luar, seperti dengan menggunakan ‘economizer mode’ yang berpotensi setinggi 100%. Pastikan sistem aliran udara luar maksimum selama 2 jam sebelum dan sesudah waktu pembelajaran di kelas.

.

Panduan WHO, UNICEF, dan UNESCO berjudul ‘Considerations for school-related public health measures in the context of COVID-19’, telah diterbitkan pada 14 September 2020. Panduan tersebut disusun dengan mempertimbangkan aspek keadilan, penularan COVID-19, implikasi dan sumber daya, untuk menciptakan dunia yang lebih sehat, lebih aman, lebih adil, dan lebih berkelanjutan bagi pendidikan anak dan generasi mendatang, termasuk di Indonesia.

Sudahkah kita bijak?

Sekian

Yogyakarta, 7 November 2020

*) Dokter spesialis anak di RS Panti Rapih Yogyakarta, Lektor FK UKDW, Alumnus S3 UGM, WA: 081227280161, e-mail : fxwikan_indrarto@yahoo.com

Categories
anak COVID-19 dokter Healthy Life Jalan-jalan sekolah

2019 Bebas Asma saat Lebaran

6 Hal yang Perlu Diperhatikan Orang Tua Ketika Anaknya Punya Asma | Kabar  Tangsel

BEBAS ASMA SAAT LEBARAN
fx. wikan indrarto*)

Hari Raya Idul Fitri atau lebih sering disebut Lebaran, saat ini tidak sekedar hari besar agama saja, tetapi sudah menjadi hari besar segenap ‘keluarga besar’. Pada setiap Lebaran, banyak anggota keluarga akan mudik (pulang kampung) dan berkumpul untuk tidak hanya berdoa bersama, tetapi juga halal bilhalal, kunjung mengunjungi, reuni, rekreasi dan silaturahmi. Selain terjadi pertemuan dengan banyak orang dan perpindahan banyak tempat, pastilah juga terjadi perkenalan dengan banyak menu makanan. Semuanya merupakan hal yang lumrah ada pada saat Lebaran, ditunggu-tunggu dan menggembirakan bagi banyak orang. Apakah hal baik tersebut juga terjadi pada anak asma? Belum tentu.

.

baca juga : https://dokterwikan.wordpress.com/2018/03/08/steroid-pada-serangan-asma/

.

Serangan asma pada anak dapat berupa keluhan klinis batuk hebat, muntah dan sakit perut, nafas bunyi sampai sesak nafas. Serangan tersebut sangat mudah terjadi karena rangsangan alergen (pencetus alergi), aktivitas fisik dan infeksi virus. Alergen dapat berupa inhalan (yang dihirup seperti debu, serbuk atau bau-bauan di sepanjang perjalanan mudik), ingestan (yang ditelan seperti susu, es krim, coklat atau zat pewarna makanan pada hidangan Lebaran) ataupun kontaktan (yang disentuh seperti boneka mainan, kasur kapuk, tumpukan pakaian kotor atau karpet di kamar penginapan). Aktivitas fisik anak yang berlebihan pada saat libur Lebaran, seperti bermain tanpa kenal lelah, tertawa terbahak-bahak, ‘kekeceh’ bermain air di kamar mandi ataupun ‘ciblon’ di kolam renang. Infeksi virus yang menyerang saluran nafas atas seperti pilek atau flu, sangat banyak dialami oleh anggota keluarga dan mudah sekali menular ke anak.

.

baca juga : https://dokterwikan.wordpress.com/2018/10/19/2018-batuk-pada-anak-dalam-era-jkn-2/

.

Semua faktor risiko tersebut sangat mungkin ada pada anak asma saat Lebaran nanti, sehingga orang tua harus melakukan tindakan pencegahannya. Pencegahan terbaik adalah penghindaran faktor risiko tersebut, baik alergen inhalan dan ingestan maupun aktivitas fisik yang berlebihan, sebisa mungkin. Anak harus dijauhkan dari menu makanan, minuman, cemilan ataupun jajanan Lebaran yang dapat mencetuskan serangan asma. Aktivitas fisik yang menggembirakan anak karena kebersamaan dengan saudaranya, sebaiknya dialihkan ke aktivitas ketrampilan otot kecil, bukan kekuatan otot besar. Bermainlah bersama dengan mewarnai atau menggambar, permainan ular tangga, halma, scrable, kartu atau game digital, serta menghindari petak umpet, sepak bola dan lompat tali. Untuk mencegah terjadinya penularan pilek atau flu, anak dianjurkan mendapat imunisasi influenza sebelum berangkat mudik Lebaran. Periksalah ke dokter yang selama ini merawat anak asma dan sampaikan informasi tentang rencana mudik Lebaran keluarga. Dengan demikian, dokter akan merencanakan banyak hal, termasuk edukasi, komunikasi (hot line), imunisasi ataupun farmasi (resep obat asma).

.

baca juga : https://dokterwikan.wordpress.com/2019/02/14/2019-scientific-expert-summit/

.

Bagaimana kalau serangan asma awal terlanjur terjadi saat libur Lebaran? Yang utama adalah pengenalan bentuk serangan asma awal pada anak. Orang tua yang teliti atau anak yang agak besar, biasanya akan mudah mengenali batuk khas yang merupakan tanda awal serangan asma. Pencegahan agar serangan asma awal tidak berlanjut adalah dengan meneruskan obat pengendali asma yang selama ini digunakan, dan menambahkan obat pereda serangan asma secara dini. Pengobatan yang paling dianjurkan adalah menggunakan obat hirupan (nebulaiser atau inhaler dengan spacer), baik obat yang sudah biasa digunakan sendiri, ataupun obat yang baru pertama kali diberikan oleh dokter di rumah sakit terdekat saat liburan. Kalau sudah memiliki obat sendiri, bawalah obat tersebut ke manapun anak pergi dan informasikan semuanya kepada dokter setempat, pada saat memeriksakan anak. Sampaikan tentang riwayat perjalanan klinis asma anak dan pola pengobatan yang selama ini dijalani, agar dokter dapat memilihkan pola pengobatan lanjutan yang sesuai.

.

baca juga : https://dokterwikan.wordpress.com/2018/05/09/2018-simposium-ppok/

.

Selain menambahkan obat perada serangan, orang tua diharapkan juga dapat mengenali pencetus munculnya serangan asma. Pastikan pencetusnya dengan mengingat apa saja yang mungkin, baik alergen inhalan ataupun ingestan, juga aktivitas fisik anak. Penambahan obat dan koreksi segera pencetus asma tersebut, maka serangan asma akan mereda. Serangan yang ringan akan hilang dalam beberapa menit, tetapi serangan yang sedang atau berat sangat mungkin akan mengganggu sebagian atau seluruh rencana liburan lebaran keluarga. Serangan berat jauh lebih baik dirawat di rumah sakit terdekat untuk pemantauan 1-2 hari, selain untuk pengelolaan lengkap (oksigenasi, nutrisi cairan, farmasi dan fisioterapi) juga untuk memutus kontak sama sekali dengan faktor pencetus serangan, meskipun kadangkala orang tua belum tahu apa pencetusnya. Libur lebaran di rumah sakit, akan terasa mengganggu dan membosankan, baik bagi orang tua, keluarga maupun anaknya. Namun demikian, pengalaman ‘buruk’ tersebut dapat digunakan sebagai momentum bersama untuk edukasi mendalam, khususnya bagi anak, agar mengenali dan kemudian menghindari faktor pencetus serangan asmanya. Pengalaman yang memberikan kesan emosional sangat dalam, pada umumnya akan mengendap (retensi) dalam memori anak dalam waktu yang cukup lama, sehingga sangat bermanfaat bagi pengelolaan lengkap asmanya secara jangka panjang.

.

Dengan melakukan semua kegiatan tersebut, maka anak akan bebas serangan asma dan dapat menjalani Lebaran dengan penuh suka cita.

Apakah kita sudah bijak?

Yogyakarta, 2 Juni 2019
*) dokter spesialis anak di RS Panti Rapih Yogyakarta, Letkro FK UKDW Yogyakarta, Alumnus S3 UGM, WA : 081227280161, e-mail : fxwikan_indrarto@yahoo.com