Categories
anak COVID-19 Healthy Life resisten obat tuberkulosis

2021 Tuberkulosis pada Anak

MENGENALI TBC PADA ANAK

TB  PADA  ANAK

fx. wikan indrarto*)

Penyakit tuberkulosis (TB) pada anak di bawah usia 15 tahun merupakan masalah kesehatan masyarakat yang sangat penting, karena merupakan penanda adanya proses penularan TB yang baru terjadi. Apa yang sebaiknya dilakukan?

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2021/03/24/2021-hari-tuberkulosis-sedunia/

.

TB disebabkan oleh bakteri yang disebut Mycobacterium tuberculosis. Bakteri TB menyebar dari orang ke orang melalui udara. Bakteri TB dikeluarkan ke udara ketika penderita TB mengalami batuk, bersin, berbicara, atau bernyanyi, sehingga anak di sekitarnya mungkin menghirup bakteri ini dan terinfeksi, dengan dua jenis TB pada anak, yaitu infeksi TB laten dan sakit TB.

.

Pertama, anak dengan infeksi TB laten biasanya diketahui dengan tes Mantoux pada kulit atau tes serologi darah yang menunjukkan adanya infeksi TB. Anak tersebut memiliki bakteri TB di dalam tubuhnya, tetapi bakterinya tidak aktif, sehingga anak tidak sakit dan tidak memiliki gejala klinis. Anak tersebut tidak berbahaya karena tidak dapat menyebarkan bakteri TB ke orang lain. Jika kondisi umum anak menurun, maka bakteri TB dapat menjadi aktif di dalam tubuh dan berkembang biak, sehingga akan mengalami sakit TB.

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2019/01/22/2019-akhiri-tb/

.

Kedua, anak sakit TB setelah terinfeksi bakteri TB, karena anak lebih mungkin mengalami sakit TB dan lebih cepat terjadi sakit daripada orang dewasa. Dibandingkan dengan anak yang sakit TB karena terinfeksi baru, penyakit TB pada orang dewasa biasanya disebabkan oleh infeksi TB masa lalu yang menjadi aktif, ketika sistem kekebalan menjadi lemah, misalnya adanya infeksi HIV atau ko infeksi TB HIV dan diabetes.

.

Tanda dan gejala penyakit TB pada anak antara lain batuk, rasa sakit atau lemah, lesu, dan atau berkurangnya semangat bermain. Juga penurunan berat badan atau gagal tumbuh, demam dan atau mengalami banyak keringat pada malam hari. Gejala penyakit TB di bagian tubuh lain bergantung pada daerah yang terkena. Bayi, anak kecil, dan anak dengan gangguan sistem imun (misalnya, anak dengan HIV) berada pada risiko tertinggi untuk berkembang menjadi bentuk TB yang paling parah seperti meningitis TB atau penyakit TB yang menyebar (disseminated TB disease).

.

Mengenal Kondisi TB Paru pada Anak yang Harus Moms Antisipasi – Good  Doctor | Tips Kesehatan, Chat Dokter, Beli Obat Online

Memastikan diagnosis sakit TB pada anak dengan tes laboratorium klinik adalah tantangan yang tidak mudah. Hal ini karena 2 penyebab utama, yaitu pada anak sulit untuk mengumpulkan spesimen dahak, apalagi pada bayi. Selain itu, tes laboratorium yang digunakan untuk menemukan TB dalam dahak (sputum BTA) cenderung memberikan hasil positif pada anak. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa anak lebih mungkin mengalami sakit TB, meski jumlah bakteri lebih sedikit (paucibacillary).

.

Karena alasan ini, diagnosis penyakit TB pada anak berbeda dengan dewasa, sering dibuat tanpa konfirmasi laboratorium sputum BTA, tetapi berdasarkan kombinasi 4 faktor berikut. Pertama, tanda dan gejala klinis sakit TB. Kedua, tes kulit Mantoux atau tuberkulin atau tes darah serologi TB  (IGRA) positif. Ketiga, foto rontgen dada yang memiliki pola sakit TB berat, dan keempat, riwayat kontak dengan orang dewasa yang mengidap TB menular.

.

Pengujian laboratorium TB pada anak yang biasanya merupakan satu-satunya tanda infeksi TB adalah reaksi positif terhadap tes kulit Mantoux atau tes darah serologi TB. Tes kulit TB adalah aman pada anak, dan lebih sering diterapkan daripada tes darah serologi TB untuk anak di bawah usia 5 tahun, karena lebih praktis dan ekonomis.

.

Semua anak dengan hasil tes kulit Mantoux positif untuk infeksi TB yang disertai gejala klinis TB, atau riwayat kontak dengan pengidap dewasa penyakit TB, harus menjalani evaluasi medis. Evaluasi medis untuk penyakit TB, termasuk rontgen dada dan pemeriksaan fisik untuk menyingkirkan sakit TB, dan harus dilakukan sebelum memulai pengobatan untuk infeksi TB laten. 

.

Anak di atas usia 2 tahun dengan infeksi TB laten dapat diobati dengan obat anti TB (OAT) lini pertama, yaitu isoniazid-rifapentin sekali seminggu selama 12 minggu. Pengobatan alternatif untuk infeksi TB laten pada anak adalah rifampisin harian selama 4 bulan atau isoniazid harian selama 9 bulan. Kedua jenis regimen obat tersebut sama-sama mudah dilaksanakan, namun demikian dokter sebaiknya menawarkan dan meresepkan rejimen pendek yang tentu lebih nyaman, jika memungkinkan. Semua pasien tentu lebih mungkin untuk menyelesaikan rejimen pengobatan yang lebih pendek.

.

Sakit TB pada anak diobati dengan beberapa kombinasi OAT selama 6 sampai 9 bulan. Penting untuk diperhatikan bahwa jika seorang anak berhenti minum obat sebelum selesai, anak tersebut dapat kembali sakit. Jika obat tidak diminum dengan benar, bakteri TB yang masih hidup dapat menjadi resisten terhadap obat tersebut. TB yang resisten terhadap obat lebih sulit dan lebih mahal untuk diobati, dan pengobatan berlangsung lebih lama, bahkan hingga 18 sampai 24 bulan.

.

Momentum Hari TB Sedunia Rabu, 24 Maret 2021 mengingatkan kita bahwa jam terus berdetak (The Clock is Ticking), dan kita hampir kehabisan waktu, untuk mencapai target TB global dalam SDG 2016-2030 dengan semboyan “Find. Treat. All. #EndTB.” Inisiatif ini bertujuan untuk mempercepat pembasmian TB dengan memastikan tidak ada anak yang tertinggal (to ensure no child is left behind).

 Sudahkah Anda terlibat membantu?

Sekian

Yogyakarta, 20 Maret 2021

*) Dokter spesialis anak di RS RS Panti Rapih Yogyakarta, Alumnus S3 UGM, Lektor FK UKDW, WA: 081227280161,

Categories
COVID-19 Healthy Life vaksinasi

2021 Kalahkan Meningitis

Hasil gambar untuk meningitis disebabkan oleh

KALAHKAN  MENINGITIS

fx. wikan indrarto*)

Pada Sesi ke-73 Majelis Kesehatan Dunia Rabu, 13 Januari 2021, diserukan tindakan segera untuk mencegah dan mengalahkan meningitis pada tahun 2030. Peta jalan global ini adalah intervensi pengendalian meningitis terpadu jangka panjang untuk pengurangan kasus dan kematian karena meningitis. Apa yang menarik?

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2020/08/02/2020-bahaya-tanpa-imunisasi/

.

Meskipun upaya pengendalian meningitis cukup berhasil di beberapa wilayah di dunia, meningitis terus menjadi masalah kesehatan masyarakat global yang menyebabkan hingga 5 juta kasus setiap tahun, di seluruh dunia. Beban meningitis bakterial sangat tinggi, menyebabkan 300.000 kematian setiap tahun dan menyisakan satu dari lima orang yang terkena, berupa dampak kesehatan jangka panjang yang menghancurkan, yaitu kecacatan.

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2020/01/02/2020-menurunkan-angka-kematian-anak/

.

Meningitis adalah infeksi serius pada meninges, yaitu selaput tipis yang menutupi otak dan sumsum tulang belakang. Ini adalah penyakit yang menghancurkan harapan hidup dan tetap menjadi tantangan kesehatan masyarakat yang utama. Penyakit ini dapat disebabkan oleh berbagai patogen termasuk bakteri, jamur atau virus, tetapi beban global tertinggi terlihat pada meningitis bakterial.

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2019/05/09/2019-kematian-bayi/

.

Bakteri Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan Neisseria meningitidis adalah bakteri yang paling sering menyebabkan meningitis. N. meningitidis, penyebab meningitis meningokokus, berpotensi menimbulkan epidemi yang luas. Ada 12 serogrup N. meningitidis yang telah teridentifikasi, 6 diantaranya (A, B, C, W, X dan Y) dapat menyebabkan epidemi. Meningitis meningokokus dapat menyerang siapa saja dari segala usia, tetapi terutama menyerang bayi, anak prasekolah, dan remaja. Beban meningitis meningokokus terbesar terjadi di sabuk meningitis, suatu wilayah di sub-Sahara Afrika, yang membentang dari Senegal di barat hingga Ethiopia di timur. 

.

Hasil gambar untuk meningitis disebabkan oleh
.

Bakteri yang menyebabkan meningitis ditularkan dari orang ke orang melalui tetesan cairan pernapasan atau ‘droplet’, sepeti COVID-19. Kontak dekat dan lama – seperti mencium, bersin, batuk, atau tinggal dekat dengan orang yang terinfeksi, memungkinkan proses penyebaran penyakit. Masa inkubasi rata-rata adalah 4 hari, tetapi dapat berkisar antara 2 dan 10 hari.

.

Meskipun demikian, N. meningitidis sebenarnya dapat menyebabkan berbagai macam penyakit, yaitu penyakit meningokokus invasif, termasuk septikemia, artritis, dan meningitis. Demikian pula, bakteri S. pneumoniae dapat menyebabkan penyakit invasif lainnya termasuk otitis dan pneumonia. N. meningitidis hanya menginfeksi manusia dan menyebar melalui aliran darah untuk sampai ke otak. Sebagian besar populasi di sabuk meningitis, antara 5 dan 10%, memiliki bakteri N. meningitidis yang menetap di tenggorokan.

.

Gejala meningitis yang paling umum adalah leher kaku, demam tinggi, sensitif terhadap cahaya, kebingungan, sakit kepala, dan muntah. Meningitis sangat berbahaya, bahkan dengan diagnosis dini dan pengobatan yang memadai sekalipun, 5-10% pasien akan meninggal, biasanya dalam 24-48 jam setelah timbulnya gejala. Meningitis bakterial dapat menyebabkan kerusakan otak, gangguan pendengaran, atau ketidakmampuan belajar pada 10-20% pasien yang berhasil selamat. Bentuk penyakit meningokokus yang lebih jarang, tetapi bahkan lebih parah dan seringkali fatal adalah septikemia meningokokus, yang ditandai dengan bercak kemerahan di kulit atau ruam hemoragik dan kolaps sirkulasi darah yang cepat.

.

Diagnosis awal meningitis meningokokus dapat dilakukan dengan pemeriksaan klinis, diikuti dengan pungsi lumbal yang menunjukkan cairan otak di tulang belakang bernanah. Bakteri kadang-kadang dapat dilihat dalam pemeriksaan mikroskopis pada cairan otak di tulang belakang tersebut. Diagnosis dipastikan dengan menumbuhkan bakteri dari spesimen cairan otak di tulang belakang atau darah. Diagnosis juga dapat didukung oleh tes diagnostik cepat seperti tes aglutinasi antibodi, walaupun tes yang tersedia saat ini memiliki beberapa keterbatasan. Identifikasi serogrup meningokokus dan pengujian kepekaan terhadap antibiotik penting untuk menentukan jenis antibiotika yang diberikan dan tindakan pengendalian lainnya.

.

Penyakit meningokokus berpotensi fatal dan merupakan keadaan darurat medis. Diperlukan pemberian antibiotik yang tepat dan harus dimulai sesegera mungkin, idealnya setelah dilakukan pungsi lumbal. Jika pengobatan dimulai sebelum pungsi lumbal, mungkin sulit untuk menumbuhkan bakteri dari cairan otak di tulang belakang dan memastikan diagnosisnya. Namun demikian, konfirmasi diagnosis tidak boleh menunda pengobatan. Berbagai antibiotik dapat digunakan untuk mengobati meningitis bakterial, termasuk penisilin, ampisilin, dan seftriakson yang tersedia cukup mudah, murah dan tersebar luas, dengan ceftriaxone sebagai obat pilihan utama.

.

Vaksin berlisensi untuk mencegah penyakit meningokokus telah tersedia selama lebih dari 40 tahun. Menactra buatan Sanofi, Trumenba dari Pfizer, dan Menivax buatan PT Biofarma Indonesia adalah contoh vaksin untuk meningitis. Menactra (vaksin meningitis konjugat) diindikasikan untuk imunisasi aktif mencegah penyakit meningokokus invasif yang disebabkan oleh Neisseria meningitidis serogrup A, C, Y, dan W-135. Pada anak-anak usia 9 hingga 23 bulan, Menactra diberikan sebagai seri 2 dosis, dengan interval antar dosis 3 bulan. Sedangkan pada anak usia 2 hingga 55 tahun, diberikan sebagai dosis tunggal. Menivax dapat diberikan 1x (single dose) pada dewasa dan anak usia di atas 2 tahun. Berlaku 2 tahun, sebagai perlindungan jangka pendek terhadap Infeksi Meningococcal Group A, apabila MCV4 (Vaksin Meningitis Konjugat) tidak tersedia.

.

Hasil gambar untuk merk vaksin meningitis

Seiring waktu, telah terjadi peningkatan besar dalam cakupan strain dan ketersediaan vaksin, tetapi hingga saat ini, belum ada vaksin tunggal untuk melawan semua jenis penyakit meningokokus. Vaksin masih bersifat serogrup tertentu dan perlindungan yang diberikan bervariasi dalam durasi, bergantung pada jenis yang digunakan.

.

Rekomendasi WHO, UNICEF dan Gavi (the Global Vaccine Alliance), untuk meneruskan program imunisasi rutin, termasuk untuk melawan meningitis saat pandemi COVID-19, akan mampu mengalahkan meningitis di seluruh dunia, termasuk di wilayah Indonesia.

Sudahkah kita siap?

Sekian

Yogyakarta, 25 Januari 2021

*) Dokter spesialis anak di RS Panti Rapih Yogyakarta, Lektor FK UKDW, Alumnus S3 UGM, WA: 081227280161, e-mail : fxwikan_indrarto@yahoo.com

Categories
Healthy Life

2020 Kematian Anak karena COVID-19

Kematian Anak Akibat COVID-19 Tak Terelakkan | Asumsi

KEMATIAN  ANAK  KARENA  COVID-19

fx. wikan indrarto*)

Pandemi COVID-19 belum juga reda dan penyebaran virus corona masih sangat tinggi. Dengan tingkat kematian sekitar 11 ribu anak dan pernah mencapai 2,5 persen, Indonesia memegang rekor buruk tertinggi di Asia Pasifik. Di Amerika Serikat dengan kasus kematian tertinggi akibat COVID-19, angka kematian pasien terkait COVID-19 untuk warga di bawah 25 tahun adalah 0,15% (data diakses 2 Juli 2020) dan di China, angka kematian pada individu berusia 19 tahun ke bawah hanya 0,1%. Penyebab mortalitas pada anak Indonesia adalah pneumonia atau infeksi pernapasan akut, yang lebih tinggi dibandingkan India, Myanmar dan Pakistan. Apa yang menarik?

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2020/09/26/2020-kematian-anak-terkait-covid-19/

.

Pada awal September 2020 telah terjadi penurunan persentase mortalitas anak Indonesia. Jumlah kematian pasien COVID-19 sebanyak 7.505 orang, 145 (1,9%) di antaranya adalah anak dan remaja berusia kurang dari 18 tahun. Meskipun telah terjadi penurunan persentase, terdapat tiga hal yang menjadi pemicu masih tingginya angka kematian COVID-19 pada anak di Indonesia. 1. Tingkat pemeriksaan rendah 2. Banyak anak memiliki penyakit bawaan dan menderita gizi buruk 3. Penanganan yang terlambat. 

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2020/01/02/2020-menurunkan-angka-kematian-anak/

.

Pertama, tingkat pemeriksaan yang rendah menyebabkan diagnosis COVID-19 menjadi cenderung terlambat. Adanya beberapa kendala yang menghambat pemeriksaan COVID-19, khususnya dalam tracing (pelacakan) adalah adanya resistensi dari masyarakat akibat stigma negatif terhadap penderita COVID-19, termasuk anak. Bersikap jujur dan suportif kepada petugas kesehatan adalah sikap yang penting dalam mensukseskan tingkat pemeriksaan COVID-19, sebagai langkah awal tata laksana yang menyeluruh.

.

baca juga :https://dokterwikan.com/2019/01/17/2019-kematian-anak/

.

Kedua, tentang penyakit bawaan dan gizi buruk. Komorbid atau penyakit penyerta dan penyebab kematian pada anak yang terinfeksi COVID-19 berbeda dengan orang dewasa. Pada orang dewasa, komorbid yang memperparah COVID-19 di antaranya hipertensi, obesitas, diabetes, dan penyakit jantung. Penyebab utama kematian pada anak yang terinfeksi COVID-19 adalah murni karena infeksi virus itu sendiri. Hanya sebagian kecil, sekitar 15 persen, yang disebabkan oleh penyakit penyerta atau komorbiditas. Kondisi yang memperparah COVID-19 pada anak dan menyebabkan peningkatan kematian adalah penyakit jantung bawaan, cerebral palsy, tuberkulosis, dan malnutrisi. Kondisi atau penyakit ini umum dijumpai pada anak Indonesia.

.

Berita Kasus Kematian Anak Terbaru Hari Ini : Anak-anak Indonesia  Terperangkap dalam 'Lingkaran Setan' Saat Pandemi, Gizi Buruk Penyebab  Kematian Covid-19

Derajad kesehatan anak Indonesia belumlah baik. Prevalansi stunting atau kurang gizi kronis di Indonesia yang berkisar di angka 30 persen, juga angka kurang gizi dan malnutrisi parah sebesar 18 persen (data 2018). Malnutrisi pada kelompok anak yang terinfeksi COVID-19, tentu daya tubuh atau imunitas mereka kurang baik, sehingga meningkatkan risiko kematian. 

.

Ketiga, selama pandemi COVID-19, kebanyakan orangtua menjadi ketakutan untuk membawa anak ke rumah sakit. Namun, hal ini justru memperlambat penanganan bila anak ternyata terpapar virus corona dan meningkatkan risiko kematian. Untuk itu, orangtua disarankan segera membawa anak ke rumah sakit, bila anak demam dan memiliki kontak dengan pasien positif corona, atau rumah tinggal berada di zona merah.  Gejala klinis COVID-19 yang umum seperti demam, batuk, pilek, dan kehilangan kemampuan penciuman serta perasa, harus dikenali oleh orangtua dan anak segera dibawa ke dokter atau rumah sakit, demi mendapatkan penanganan lebih lanjut. Infeksi COVID-19 yang lambat ditangani berisiko membuat gejala semakin parah, dan menimbulkan infeksi serius seperti pneumonia dan sepsis.

.

Peran orangtua dan masyarakat untuk menurunkan angka kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortalitas) anak karena COVID-19 perlu terus menerus ditingkatkan, yaitu dengan 3 M. M yang pertama adalah memakai masker. Penelitian WHO menyimpulkan, bahwa penggunaan masker dan menjaga jarak dapat mengurangi risiko penularan COVID-19 hingga 85 persen. WHO merekomendasikan setiap orang untuk selalu memakai masker saat berada di luar rumah, sambil tetap menjaga jarak. Namun demikian, rekomendasi tersebut perlu dikritisi untuk bayi dan anak.

.

Bagi anak di atas dua tahun, orangtua sebaiknya memberikan masker kain tiga lapis yang sesuai dengan ukuran anak. Sebaliknya, untuk anak di bawah dua tahun, orangtua dianjurkan agar tidak memberikan masker, sebab bayi tidak tahu bagaimana mengungkapkan gejala sesak nafas atau kesulitan bernapas, pada saat penggunaan masker. Selain itu, penggunaan masker tentu semakin membuat si kecil sulit mendapatkan oksigen bebas. Jika terpaksa membawa bayi keluar rumah, misalnya untuk imunisasi, orangtua dianjurkan menggunakan penutup pada ‘stroler’, ‘face shield’, dan tetap menjaga jarak, meskipun belum ada aturan yang mengatur tentang ‘face shield’.

.

M yang kedua adalah menjaga jarak. Semampu mungkin anak harus beraktivitas dan bersekolah dari rumah. Kalau memang terpaksa harus sekolah secara langsung, harus dipastikan protokol kesehatannya wajib dijalankankan dengan baik, terutama dalam menjaga jarak aman lebih dari 1 meter antar teman.

M yang ketiga adalah mencuci tangan dengan air mengalir dan sabun. Orangtua dan keluarga haruslah mengajari, mendampingi dan selalu mengingatkan anak agar rajin cuci tangan secara benar.

Selain itu, untuk menjaga imunitas pada anak, anak harus mengonsumsi gizi yang seimbang, meliputi protein, lemak, karbohidrat, dan vitamin C. Vitamin C ini tidak harus dari suplemen, karena suplemen yang beredar di pasaran rata-rata dosis tinggi untuk dewasa, tetapi dapat diperoleh dari buah atau sayuran hijau. Buah itu tidak hanya jeruk, tetapi dapat kiwi, stroberi, pepaya. Orangtua juga diharapkan menyediakan menu makan yang penting untuk anak seperti daging hewani, hati sapi, dan hati ayam. Hati ayam banyak mengandung besi dan zinc yang bermanfaat untuk menjaga kekebalan tubuh. Selain itu, perlu tidur yang cukup, karena tidur dapat menjaga imunitas tubuh anak.

.

Sudahkah kita sebagai orangtua dan warga masyarakat bertindak bijak, dalam rangka menurunkan angka kematian anak karena COVID-19?

Sekian

Yogyakarta, 21 November 2020

*) Dokter spesialis anak di RS Panti Rapih, Lektor di FK UKDW Yogyakarta, Alumnus S3 UGM, Pengurus IDI Cabang Kota Yogyakarta dan IDI Wilayah DIY, WA : 081227280161

Categories
COVID-19 Healthy Life

2020 Sepsis yang Mematikan

Sepsis | El Camino Health

SEPSIS  YANG  MEMATIKAN

fx. wikan indrarto*)

Laporan global pertama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang sepsis, yang dipublikasikan pada Selasa,  8 September 2020 menemukan bahwa sepsis adalah penyebab 1 dari 5 kematian di seluruh dunia. Sepsis membunuh 11 juta orang setiap tahun, terutama anak. Selain itu, upaya untuk mengatasi jutaan kematian dan kecacatan akibat sepsis, telah terhambat oleh kesenjangan yang serius, terutama di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Apa yang harus dilakukan?

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2020/09/26/2020-kematian-anak-terkait-covid-19/

.

Sepsis terjadi sebagai respons tubuh terhadap infeksi. Jika sepsis tidak dikenali secara dini dan ditangani dengan segera, hal itu dapat menyebabkan syok septik, kerusakan organ (multiple organ failure), dan kematian pasien. Pasien COVID-19 parah dan penyakit menular lainnya, berisiko lebih tinggi berkembang dan meninggal akibat sepsis. Bahkan penderita sepsis pun tidak lepas dari bahaya, karena hanya separuh yang akan sembuh total, sisanya akan meninggal dalam periode waktu 1 tahun, atau dibebani oleh kecacatan jangka panjang.

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2020/01/02/2020-menurunkan-angka-kematian-anak/

.

Sepsis secara tidak proporsional memengaruhi populasi yang rentan, terutama bayi baru lahir, wanita hamil, dan pasien dengan sumber daya yang rendah. Sekitar 85% kasus sepsis dan kematian terkait sepsis, terjadi di dalam kondisi tersebut. Hampir separuh dari 49 juta kasus sepsis setiap tahun terjadi pada anak, mengakibatkan 2,9 juta kematian, yang sebagian besar dapat dicegah melalui diagnosis dini dan manajemen klinis yang tepat. Kematian ini seringkali merupakan akibat dari penyakit diare atau pneumonia, yaitu infeksi saluran pernapasan bagian bawah.

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2019/05/09/2019-kematian-bayi/

.

Infeksi dalam bidang kebidanan, termasuk komplikasi setelah aborsi atau infeksi setelah operasi caesar, adalah penyebab kematian pada ibu peringkat ketiga yang paling umum. Secara global, diperkirakan dari setiap 1.000 wanita yang melahirkan, 11 wanita mengalami disfungsi organ parah yang berhubungan dengan infeksi atau kematian. Selain itu, sepsis sering kali disebabkan oleh infeksi yang didapat di RS. Sekitar setengah (49%) dari pasien dengan sepsis di unit perawatan intensif RS, justru tertular infeksi saat dirawat inap di RS. Diperkirakan 27% orang pasien dengan sepsis di bangsal umum RS dan 42% orang pasien di unit perawatan intensif akan meninggal.

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2019/01/17/2019-kematian-anak/

.

Resistensi antimikroba, khususnya terhadap obat antibiotika, merupakan tantangan utama dalam pengobatan sepsis. Hal itu mempersulit pengobatan infeksi, terutama pada infeksi yang berhubungan dengan layanan kesehatan (health-care associated infections). Kita semua haruslah khawatir tren perburukan tersebut akan semakin hebat, karena dipicu oleh penggunaan obat antibiotik yang tidak tepat selama pandemi COVID-19. Bukti menunjukkan bahwa sebenarnya hanya sebagian kecil pasien COVID-19 yang membutuhkan antibiotik untuk mengobati infeksi bakteri. WHO telah mengeluarkan panduan untuk tidak memberikan obat antibiotik sebagai terapi ataupun profilaksis, kepada pasien dengan COVID-19 ringan atau kepada pasien dengan dugaan atau dikonfirmasi COVID-19 sedang, kecuali ada indikasi klinis untuk melakukannya.

.

Lincolnshire leads the way on sepsis | East Midlands Ambulance Service NHS  Trust

Untuk itu, penciptaan sanitasi, kualitas dan ketersediaan air bersih yang lebih baik, serta tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi, seperti kebersihan tangan yang tepat, harus terus menerus dilakukan, karena dapat mencegah sepsis dan menyelamatkan nyawa pasien. Namun demikian, hal ini harus dibarengi dengan upaya diagnosis dini, manajemen klinis yang tepat, dan akses ke obat dan vaksin yang aman dan terjangkau. Intervensi ini dapat mencegah sebanyak 84% kematian bayi baru lahir akibat sepsis.

.

Selain itu, komunitas global perlu memperhatikan beberapa hal penting berikut ini. Pertama, memperbaiki desain penelitian dan pengumpulan data, terutama di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Kedua, meningkatkan advokasi global, pendanaan dan kapasitas penelitian untuk bukti epidemiologi tentang beban sepsis yang sebenarnya. Ketiga, memperbaiki sistem surveilans, mulai dari tingkat perawatan primer, termasuk penggunaan definisi standar sesuai dengan Klasifikasi Penyakit Internasional (ICD-11). Keempat, mengembangkan alat diagnostik yang cepat, terjangkau dan tepat, untuk meningkatkan identifikasi sepsis, pemantauan, pencegahan dan pengobatan. Yang terakhir adalah kelima, melibatkan dan mendidik petugas kesehatan dan masyarakat dengan lebih baik, untuk tidak meremehkan risiko infeksi yang dapat berkembang menjadi sepsis, dan menghindari komplikasi klinis sepsis.

.

Panduan tatalaksana medis yang jelas dan ketat tentang penggunaan obat antibiotik saat pandemi COVID-19 ini, akan membantu berbagai negara dalam menangani COVID-19 secara efektif, dan sekaligus mencegah muncul dan berkembangnya resistensi obat antibiotika dan sepsis yang mematikan.

Sudahkah kita bijak?

Sekian

Yogyakarta, 11 Oktober 2020

*) Dokter spesialis anak di RS Panti Rapih, Lektor di FK UKDW Yogyakarta, Alumnus S3 UGM, WA : 081227280161

Categories
COVID-19 Healthy Life

2020 Kematian anak terkait COVID-19

Kematian Anak Akibat COVID-19 Tak Terelakkan - ASUMSI

KEMATIAN  ANAK  TERKAIT  COVID-19

fx. wikan indrarto*)

Pandemi COVID-19 dapat menghancurkan kemajuan yang telah diperoleh dalam puluhan tahun, menuju ke arah penghapusan kematian anak yang dapat dicegah (preventable child deaths). Dengan jumlah kematian balita yang tercatat terendah sepanjang masa pada tahun 2019, gangguan pada layanan kesehatan untuk anak akibat pandemi COVID-19, mengancam tambahan kematian jutaan nyawa anak. Apa yang mencemaskan?

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2020/09/23/2020-dokter-dan-rs-era-normal-baru/

.

Jumlah kematian balita global turun ke titik terendah dalam sejarah pada tahun 2019, turun menjadi 5,2 juta dari 12,5 juta pada tahun 1990. Data ini dikeluarkan bersama oleh UNICEF, WHO, PBB, dan Bank Dunia. Namun demikian, survei oleh UNICEF dan WHO tahun 2020 mengungkapkan bahwa, pandemi COVID-19 telah mengakibatkan gangguan besar pada layanan kesehatan, yang mengancam untuk membatalkan kemajuan yang telah dicapai dengan susah payah selama puluhan tahun.

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2020/01/02/2020-menurunkan-angka-kematian-anak/

.

Komunitas global telah melangkah jauh dalam menekan angka kematian anak yang dapat dicegah, tetapi pandemi COVID-19 dapat menghentikan langkah tersebut. Saat ini banyak anak kehilangan akses ke layanan medis karena sistem kesehatan terganggu pandemi COVID-19, ibu hamil tidak melahirkan di rumah sakit karena takut terinfeksi, dan mereka mungkin juga akan menjadi korban ganasnya pandemi COVID-19. Tanpa investasi tambahan yang mendesak untuk memperbaiki sistem dan memulai kembali layanan kesehatan yang terganggu, jutaan anak balita, terutama bayi baru lahir, dapat meninggal.

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2019/05/09/2019-kematian-bayi/

.

Selama 30 tahun terakhir, layanan kesehatan untuk mencegah atau mengobati penyebab kematian pada anak, telah berperan besar dalam menyelamatkan jutaan jiwa anak dan mempertahankan kehidupan. Penyebab kematian anak yang dapat dicegah (preventable child deaths) meliputi prematuritas, berat badan lahir rendah, komplikasi saat lahir, sepsis neonatal, pneumonia, diare dan malaria, serta kurang lengkapnya vaksinasi. Sekarang banyak negara di seluruh dunia sedang mengalami gangguan pada layanan kesehatan anak, seperti pemeriksaan kesehatan rutin, vaksinasi dan perawatan prenatal dan pasca melahirkan, karena keterbatasan sumber daya. Selain itu, juga faktor ketidaknyamanan umum dalam menggunakan layanan kesehatan, karena takut tertular COVID-19.

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2019/01/17/2019-kematian-anak/

.

Sebuah survei UNICEF yang dilakukan selama pertengahan tahun 2019 di 77 negara, menemukan bahwa hampir 68 persen negara melaporkan setidaknya beberapa gangguan dalam layanan kesehatan untuk anak, termasuk imunisasi. Selain itu, 63 persen negara melaporkan gangguan dalam pemeriksaan antenatal dan 59 persen dalam perawatan pasca melahirkan. Survei WHO tahun 2020 yang dilakukan pada 105 negara, mengungkapkan bahwa 52 persen negara melaporkan gangguan pada layanan kesehatan untuk anak yang sakit, dan 51 persen dalam layanan untuk penanganan malnutrisi.

.

baca juga : https://dokterwikan.com/2018/11/24/2018-kematian-di-jalan-raya/

.

“Fakta bahwa saat ini lebih banyak anak mampu merayakan ulang tahun pertama mereka daripada waktu mana pun dalam sejarah, adalah tanda nyata dari apa yang dapat dicapai, ketika dunia menempatkan kesehatan dan kesejahteraan sebagai pusat dari prioritas program pembangunan,” kata Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus Direktur Jenderal WHO. Seharusnya kita tidak boleh membiarkan pandemi COVID-19 membalikkan kemajuan luar biasa bagi anak dan generasi masa depan global. Sebaliknya, inilah saatnya untuk menyelamatkan nyawa anak, dan terus berinvestasi dalam pembentukan sistem kesehatan yang lebih kuat, baik, dan tangguh.

.

Ahli Coba Beberkan Alasan Tingginya Tingkat Kematian Anak-Anak Akibat  Covid-19 di Indonesia
.

Berdasarkan data dari berbagai negara yang berpartisipasi dalam survei oleh UNICEF dan WHO, alasan gangguan layanan kesehatan yang paling sering adalah orang tua menghindari fasilitas kesehatan karena takut tertular COVID-19, pembatasan transportasi umum, dan penangguhan atau penutupan layanan dan fasilitas kesehatan. Selain itu, juga lebih sedikit petugas layanan kesehatan karena pengalihan atau ketakutan terinfeksi terkait kekurangan Alat Pelindung Diri (APD) seperti masker dan sarung tangan, juga adanya kesulitan keuangan keluarga. Afghanistan, Bolivia, Kamerun, Republik Afrika Tengah, Libya, Madagaskar, Pakistan, Sudan dan Yaman adalah beberapa negara yang paling terpukul karena pandemi COVID-19.

.

Tujuh dari sembilan negara memiliki angka kematian anak yang tinggi, lebih dari 50 kematian balita per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2019. Di Afghanistan, di mana 1 dari 17 anak meninggal sebelum mencapai usia 5 tahun pada tahun 2019, Kementerian Kesehatan Afganistan melaporkan penurunan yang signifikan dalam kunjungan anak sakit ke fasilitas kesehatan. Alasan yang disebutkan adalah karena takut tertular COVID-19, juga keluarga tidak memprioritaskan perawatan sebelum dan sesudah melahirkan, sehingga menambah risiko yang dihadapi ibu hamil dan bayi baru lahir. Bahkan sebelum pandemi COVID-19, bayi baru lahir di seluruh daratan Afganistan memiliki risiko kematian tertinggi di dunia. Pada tahun 2019 bayi baru lahir meninggal setiap 13 detik. Selain itu, 47 persen dari semua kematian balita terjadi pada periode neonatal, naik dari 40 persen pada tahun 1990. Dengan gangguan parah pada layanan kesehatan esensial, bayi baru lahir memiliki risiko kematian yang jauh lebih tinggi. 

.

Pandemi COVID-19 berdampak buruk pada intervensi kesehatan yang sangat penting bagi kesehatan anak. Diperlukan program nyata untuk memperbaiki ketidakadilan yang sangat besar, agar lebih banyak anak di negara berkembang dapat bertahan hidup dari ancaman kematian yang dapat dicegah (preventable child deaths).

Sudahkah kita bertindak?

Sekian

Yogyakarta, 15 September 2020

*) Dokter spesialis anak di RS Panti Rapih, Lektor di FK UKDW Yogyakarta, Alumnus S3 UGM, WA: 081227280161